Senin, 19 Juli 2010

Puncak yang membosankan namun bisa jadi menarik tergantung bagaimana kita menyiasatinya

Setelah membaca artikel mengenai Wild West Cowboy Show-nya Taman Safari yang dimuat di harian kompas, gw jadi penasaran dan berniat untuk menonton shownya. Dan setelah ngobrol dan membahasnya bersama Novi yang mengaku udah pernah nonton shownya, dan juga Sita, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk jalan-jalan ke Taman Safari tapi sambil nginep sehari di villa milik Novi di Kota Bunga. Beberapa hari sebelum acara, Novi juga bercerita panjang lebar mengenai villa-nya yang kabarnya indah, masih asri, penuh dengan perumahan bergaya Eropa, Jepang, India, dan sebagainya, dan juga dilengkapi dengan kolam renang, cafe, restoran, mini market, pasar swalayan, mini mall, dan pasar malam ala festival yang meriah dan semarak dengan kembang api. Di sana juga ada kawasan "Little Venice" yang menurut Novi bagus banget dan dipenuhi rumah-rumah dan bangunan bergaya Eropa dengan perahu-perahu yang bisa dinaiki untuk mengarungi danau dan kanal-kanal sempit ala Venesia. Meski sebenernya ga begitu suka dengan kawasan gunung terutama puncak (soalnya meski diclaim sebagai resort pegunungan yang merupakan langganan warga Jakarta yang katanya masih asri, segar, alami, dan belum terjamah manusia ("Brrrrr...! Seger deh di gunung gini, merasakan dinginnya udara pegunungan. Sekali-kali enak juga mengasingkan diri sejenak ke sini dari hiruk-pikuk kota yang udah kayak hutan beton, di tempat yang benar-benar masih asri, alami, dan belum terjamah manusia," kata orang-orang yang hobi pergi ke Puncak), nyatanya kawasan Puncak penuh dengan rumah-rumah perkampungan yang tidak beraturan dan ramai dengan kendaraan bermotor yang memperkeruh dan mencemari udara), tapi mendengar cerita-cerita Novi yang sedemikian heboh dan menarik, akhirnya gw jadi sedikit tertarik. Novi juga meyakinkan bahwa di puncak udah lumayan banyak cafe-cafe modern berteras (seperti Victoria Peak di Hongkong gitu deh) yang terletak di atas tebing menghadap lembah, yang lantai terasnya terbuat dari batu alam, dihiasi air mancur, dan berpayung-payung (emang dasar kita anak kota, kaga nahan liat cafe atau mall). Dan menurutnya, cafe yang paling sesuai dengan bayangan gw sih yang di tepi kolam renang di Kota Bunga. Makanya akhirnya kami semua memutuskan untuk ke sana, dan ini pertama kalinya lho kami pergi menginap setelah saling kenal selama 6 tahun.

Tanggal 17 Juli 2010 siang kami bertiga berangkat bersama Tante Enah dari Arion naik mobil yang dikemudikan Mas Andi. Perjalanan di jalan tol Jagorawi cukup lancar. Setelah keluar tol pun untungnya jalannya masih terlihat lengang, padahal kata Novi biasanya dari situ harusnya udah mulai macet parah. Setelah sekitar 1 kilometer baru deh mulai tersendat. Sepanjang perjalanan di jalan raya Puncak, pemandangannya masih begitu-begitu aja, penuh rumah-rumah tak rapi yang sembarangan dan tak beraturan. Cafe-cafe yang modern juga hampir ga kelihatan, dan sama seperti 7 tahun yang lalu, saung-saung lesehan Sunda masih mendominasi tepian jalan (udah bosen dengan saung-saung Sunda soalnya keluarga kalo ke Gading hobinya makan di restoran lesehan Sunda melulu)... Wow, kalo diingat-ingat udah 7 tahun lho gw ga pernah ke Puncak saking ga berminatnya untuk ke sana. Di samping itu, keluarga memang udah ga bisa diajak ngapa-ngapain lagi karena memang sudah malas ngapa-ngapain dan lebih senang bersantai di rumah sambil mengurus bayi-bayi seakan tidak ada lagi hal menarik lainnya yang bisa dilakukan. Klo lagi hari libur pun, mereka udah ga terpikir untuk mengadakan rencana jalan-jalan sekeluarga ke luar kota, dan tanggal merah lebih sering dihabiskan untuk beres-beres barang di rumah, mencari barang-barang di kamar gw yang dianggap sudah ga bermanfaat untuk segera dibuang (ini yang sangat memalaskan. Lagipula rasanya kurang bermanfaat juga sengaja mencari barang-barang untuk dibuang, hasil ga ada, capek iya). Kalo pergi jalan-jalan sekeluarga di dalam kota juga paling jauh ke Kelapa Gading (dan gw tinggalnya di Pulomas :D), sampe-sampe gw norak dan tercengang pas melihat Kemang pertama kali (aduh). Jalan-jalan sekeluarga ke luar negeri pun sampe gw berumur 17 paling jauh ke Singapore. Akhirnya tahun 2006 ada kemajuan sedikit, berhasil jalan-jalan sekeluarga ke Arab buat umroh dan beberapa bulan kemudian ke Jepang dan Hongkong (sedikit iri dengan keluarga-keluarga lain yang pernah atau bahkan sering berwisata sekeluarga ke Daratan Eropa yang jauh, tapi mudah-mudahan 2011 gw bisa mewujudkan wisata keliling Eropa swadaya bersama teman-teman). Dan kalo pun berhasil pergi ke Bali atau bahkan misalnya Jepang sekalipun, keluarga gw sudah puas dengan mendekam istirahat di kamar hotel sambil ngelamun, ngerokok, dan nonton TV. Biasanya baru keluar kamar kalo ada jemputan atau kalau memang jarak ke tempat tujuannya ga begitu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki (aduh, ini sangat merugikan deh). Itulah sebabnya kadang gw sering ngautis jalan-jalan sendirian, sayang kan kalau umur dan kaki ini ga dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bisa-bisa 20 tahun lagi gw ga bisa jalan-jalan lagi, entah karena udah tua atau karena udah ga ada minat lagi, seperti halnya keluarga gw :D

Ok back to topic, setelah perjalanan 2 jam lebih yang mirip wahana turbulent dan agak membuat mual, akhirnya sampe juga di gerbang Kota Bunga. Perjalanan mobil dari gerbang Kota Bunga ke villanya Novi yang terletak di paling pojok, melewati kolam renang yang dimaksud. Tapi kok kolam renangnya penuh dengan anak-anak kecil ya? Dan cafe di tepi kolam yang dijanjikan Novi kok seperti itu sih? Sama sekali ga seperti yang dibayangkan. Duh... padahal gw membayangkan cafenya yang berpayung-payung itu terletak di atas semacam dermaga kayu atau batu alam yang agak menjorok di atas kolam, dengan para pengunjung cafe yang menikmati santapan dan minuman sambil bercengkerama di bawah payung-payung meja sambil memancarkan senyum yang tulus dengan bahagia. Dan akhirnya Sita yang tadinya sudah sangat bersemangat menyiapkan bikini-bertali terbaiknya langsung merasa ilfil dan membatalkan niatnya untuk berenang. Katanya, ntar bisa-bisa ibu-ibu yang berenang di sana pada komentar "atapilo" atau "masa olo" dan anak-anaknya pada ribut minta dibelikan bikini yang semacam itu, atau bahkan mungkin pada mengerumuni dan menarik baju renangnya sampai kedodoran.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat. Kami memutuskan untuk ke villa. Aduh, tapi gw berfirasat, kayaknya nanti kalo udah sampe villa, bakalan pada kecapean dan jadi males pergi ke mana-mana. Dan bener aja lho, begitu sampe langsung pada males ngapa-ngapain, tapi meski begitu sebelum hari gelap, kami sempat melaksanakan photo session produk Online Boutique-nya Sita di jalan menanjak dekat villa yang bernaungkan pohon-pohon cemara. Photo session sempat terhambat oleh beberapa sepeda motor yang lewat beberapa kali dan juga anak-anak dari kampung sekitar yang kebetulan berjalan melintas (gaunnya rada kebesaran jadi sering melorot). Kami pun kembali ke villa menjelang magrib, dan tiba-tiba hujan deras turun memperkeruh keadaan dan menyurutkan niat orang-orang untuk bepergian. Aduh ini mah sama aja seperti wisata bareng keluarga gw... Hiks. Tapi untunglah sekitar pukul 7 malam, hujan agak mereda. Kami pun berangkat naik mobil menempuh jalan-jalan perumahan yang gelap dan membingungkan. Tujuan pertama kami adalah pasar malam yang masih terletak di dalam komplek Kota Bunga, yang kabarnya begitu ramai, hidup, meriah, dan semarak dengan pesta kembang api dan stand-stand kuliner gorengan atau pangganan. Namun begitu sampai di lokasi yang dimaksud, ternyata beda jauh dengan bayangan gw. Itu hanya tenda yang panjangnya bahkan ga nyampe 10 meter, yang bagian dalamnya diterangi lampu neon putih (bukan kuning jingga apalagi warna-warni!), yang hanya menjual aneka pakaian, tas, dan aksesoris standar yang membosankan. Ga ada stand makanan gorengan apalagi panggangan. Dan bahkan deretan tendanya hanya terletak di sisi sebelah kiri jalan. Jauh lebih meriah dan semarak pasar kaget deket rumah gw dah perasaan, yang rutin diadakan tiap hari Minggu :(

Dengan hati yang hancur berkeping-keping, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mengunjungi tempat-tempat di luar komplek Kota Bunga. Novi sang pemilik villa bahkan ga inget jalan keluar sama sekali, terutama di waktu gelap, sehingga kami tersasar hampir 1 jam di komplek villa yang jalannya membingungkan seperti labirin. Tapi setelah tersasar akhirnya kami berhasil juga menemukan jalan keluar (kayaknya mobil kami sudah menjelajah tiap sudut komplek deh, karena instruksi dan navigasi dari Novi menyebabkan mobil kami menyusuri tiap cabang jalan satu per satu sih :D).

Setelah bebas, kami langsung melesat ke factory outlet Brasco yang terkenal itu. Duh di sini lama banget deh. Ada kali 2 jam di sini. Novi begitu gencar dan sibuk memilih-milih baju yang akan dikenakannya untuk ngantor dan meminta pendapat gw soal baju yang dipilihnya (perasaan belanja baju kerja mulu dah). Aduh gw jadi rada pesimis, ngafenya jadi ga ya? Jangan-jangan setelah pada puas belanja, mereka jadi ngantuk dan males pergi kemana-mana lagi, dan memaksa untuk pulang ke villa aja. Tapi untungnya enggak sih. Usai dari Brasco, kami mencari-cari cafe yang sesuai dengan kriteria gw di sekitaran Puncak Pass. Akhirnya nemu juga yang mendekati kriteria, namanya Restoran Bumi Nini, cabang Restoran Bumi Aki (daaaaang...). Meski berpayung-payung outdoor, lantai di teras cafe ini bukan dari batu alam, dan tidak ada air mancur yang menghiasi. Yang ada hanya teko-teko raksasa di atas tembok teras yang ga begitu jelas fungsinya. Tapi suasananya lumayan hidup dengan adanya beberapa wisatawan Eropa, entah Scandinavia, Iceland, atau Eropa Tengah, yang berpesta dan bersukaria dengan liberal di meja sebelah. Dan selain itu, di sini ada Wi-Fi yang bisa diakses tanpa username dan password lho... lumayan lah buat update status, ngikutin gaya hidup orang-orang jaman sekarang (labil deh :D)

Setelah puas ngafe, kami balik ke villa dan tidur. Tapi sebelum tidur, gw ngelanjutin baca novel "The Golden Road: Hari-hari Bahagia" yang merupakan sekuel dari "The Story Girl", karya Lucy M. Montgomery yang terkenal dengan karya legendarisnya yang berjudul "Anne of Green Gables" itu loh.. Lumayanlah dapet 3 bab.

Besoknya kami semua mengunjungi "Little Venice". Tapi melihat bagian luarnya gw udah bisa nebak sih, pasti tipe-tipe tempat wisata yang kelewat artifisial gitu deh... Yah ga jauh beda dengan ruko-ruko MOI di Kelapa Gading gitu deh, yang dibangun dengan maksud mengikuti gaya bangunan Eropa, namun gagal karena kurang kompleksnya ukiran dan ornamen pada dinding bangunannya, di samping materialnya yang terbuat dari semen yang dicat berwarna-warni secara sembarangan sehingga menyebabkannya lebih terlihat seperti rumah-rumahan Barbie di kota mainan yang membosankan. Kami harus membeli tiket seharga 15ribu rupiah per orang untuk masuk arena Little Venice, dan untuk menyewa perahu atau sepeda air untuk mengarungi danau dan kanalnya, kami harus membayar lagi sebesar 40ribu rupiah per perahu. Perahunya muat untuk 4 orang sih.

Selesai dari sini, kami kembali ke arah Puncak Pass dan menuruni lereng gunung yang masih segar, hijau, asri, alami, dan belum terjamah manusia. Tak lupa mampir di Masjid At-Ta'Awun (Atta-Auum kalo kata Novi) sebentar, bukan buat solat, melainkan sekedar untuk berfoto-foto dan melihat-lihat aliran sungai yang airnya sejuk yang masih segar, alami, jernih, dan bersih banget, yang mengalir membelah undakan-undakan jalan setapak menanjak menuju gedung masjid. Ternyata di bagian tepi masjid juga ada jeram-jeram sungai deras yang berbatu, dan juga beberapa tingkat air terjun alami yang airnya masih jernih dan bersih, yang belum terjamah manusia. Meski begitu, sungai itu ramai dengan wisatawan domestik yang berwisata sekeluarga dan berfoto-foto dengan gembira. Kami juga ikut-ikutan berfoto sejenak. Sita seperti biasa meminta tolong pada orang lain (kali ini pada seorang mas-mas wisatawan lokal) untuk mengambil gambar kami bertiga. Dan mas-mas itu pun balas minta difoto juga oleh Sita. Dan patheticnya, ujung-ujungnya si mas itu tanpa ragu dan tanpa malu sedikitpun meminta pin BB-nya Sita. Dasar mas-mas labil. Alay. Lama-lama Indonesia makin penuh deh dengan orang-orang yang labil. Dengan maksud menolak secara halus, Sita hanya tersenyum simpul menanggapinya. Namun ternyata mas-mas labil itu menganggapnya sebagai tanda setuju dan kembali bertanya, "Jadi, berapa nomer pinnya?" Emang dasar labil.

Usai dari At-Ta'Awun, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil menuruni lereng-lereng pegunungan. Namun sialnya, belum lama mobil kami melaju, di hadapan kami tampak antrian panjang mobil-mobil labil yang berhenti total. Itu artinya kami terjebak macet selama beberapa jam, seperti halnya taksi Silverbird yang juga terjebak mengenaskan di depan kami. Dan kemacetan ini dimanfaatkan oleh beberapa waria untuk menghibur tiap mobil bergantian. Duh.

Akhirnya sekitar pukul setengah 3 sore, kami sampai juga di Taman Safari setelah menempuh perjalanan panjang. Mobil kami beberapa kali diserbu hewan-hewan liar yang menodai jendela mobil dengan air liur mereka. Orang-orang di kendaraan-kendaraan lainnya tampak sangat menikmati memberi binatang-binatang itu makan, namun kami ini kan bukan jenis orang-orang yang "baik hati dan tidak sombong", jadi kami lebih sering mengacuhkan para binatang itu.

Di area hewan ini, Novi sempat bertanya apakah pawang-pawang binatang yang menjaga tiap section itu bekerja seterusnya tiap hari, mengawasi binatang tanpa istirahat. Dan gw menjawab seperti biasa, "Iya dong, kan untuk itu mereka dibayar... Oh, salah ya gue?"

Usai dari area hewan, kami sampai di amusement park-nya. Sangat ramai dengan para wisatawan domestik yang haus akan hiburan, tapi ada juga sih beberapa wisatawan Eropa-nya pas kami mengantri untuk menonton Wild West Cowboy Show. Sebagian besar wanita asingnya mengenakan celana pendek yang akan menyebabkan penduduk lokal berkata "atapilo". Dan saat mengantri dan menunggu pintu dibuka, mereka senang bergoyang saat mendengar alunan musik country ber-banjo dan ber-fiddle yang diputar untuk menguatkan suasana Wild West. Mungkin ingat kampung sendiri kali ye. Dan beberapa wisatawan lokal juga nampaknya ikut-ikutan bergoyang untuk menghibur diri, salah satunya adalah ibu-ibu yang bergoyang tanpa ekspresi namun khusyuk, itung-itung sekalian nidurin bayinya yang lagi digendong.

Pintu pun dibuka dan kami semua menyerbu tempat-tempat duduk yang strategis. Setting panggungnya lumayan. Lantainya berpasir. Shownya juga cukup dramatis, mengharukan, dan menghibur. Memang sih dialog dubbingnya agak kurang jelas dan jalan ceritanya standar, namun banyaknya adegan yang melibatkan acting para binatang yang berhamburan seperti ayam-ayam, burung-burung merpati, tikus, kucing, anjing, dan kambing benar-benar membuat adegan kekacauan di Cowboy Town terasa nyata. Beberapa kali para penjahat memasuki kota dengan menunggangi kuda dengan derap langkah yang dramatis, sambil menembak-nembak ke udara menggunakan senapan asli yang berapi dan meletup keras. Terkadang darah memercik dari tubuh korban yang terkena tembakan peluru. Pemuda-pemuda suku Indian juga memanah dengan busur mereka. Dan yang cukup dahsyat adalah adegan peledakan rumah dengan bahan peledak beneran. Panas dari ledakan besar dan massive itu benar-benar bisa dirasakan penonton. Tak jarang, ledakan mengakibatkan rumah-rumah hancur berkeping-keping. Beberapa kali sebagian tokoh harus terjatuh berdebam ke level tanah dari atap rumah dengan ketinggian setidaknya 10 meter. Seorang tokoh wanita Indian dan tokoh pria juga harus tercebur dan merasakan dinginnya air yang luar biasa. Dan penonton juga tak jarang harus ikut mengalami dampak dari adegan yang berlangsung, seperti misalnya dilempari tikus dan juga kebasahan karena cipratan air. Namun dari keseluruhan show ini, yang paling menimbulkan respect adalah kesungguhan, ketulusan, dan penghayatan para pemainnya dalam memainkan peran mereka. Bayangkan, mereka harus memainkan lakon dengan jalan cerita yang sama setiap harinya, dan bahkan di akhir pekan dan hari libur nasional pun mereka harus bermain dalam show itu dua kali sehari, namun mereka tetap menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh sukacita. Aduh, berarti mereka kapan liburnya ya? Dan menurut Novi, mereka juga bukan sembarang orang yang dicomot dari desa setempat, melainkan mahasiswa jurusan seni pertunjukan dari salah satu universitas negeri ternama di negeri ini. Semoga saja mereka selalu dirahmati, diberkahi, diganjar dengan bayaran yang layak, dan tak lupa diberikan waktu libur yang cukup :)

Selesai menonton show, kami kembali naik mobil untuk pulang ke Jakarta dan juga berencana mampir di sebuah rumah makan sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Kemacetan yang luar biasa kembali membuat perjalanan terasa lengkap. Apalagi tiba-tiba Novi ingin buang air besar dan memohon untuk sesegera mungkin mampir di tempat makan terdekat. Ketika melintas di dekat restoran Pizza Hut, mobil sudah berbelok dan hampir masuk ke area parkir, dan Novi terlihat sedikit lega karena bisa mampir ke toilet, namun tiba-tiba Tante Enah berkata, "Ngapain di Pizza Hut? Kan cuma pizza doang makanannya. Ntar aja di depan, agak jauhan, masih banyak saung-saung lesehan Sunda." Dan mobil pun batal berbelok, melewati Pizza Hut yang indah itu, sementara Novi makin menderita menahan buang air besar yang katanya sudah di ujung tanduk. Arus kendaraan kembali tersendat selama beberapa puluh menit. Ketika melintas di dekat pom bensin, mobil sudah akan berbelok, namun melihat antrian yang begitu panjang di toiletnya, mobil batal berbelok, dan kembali meneruskan perjalanan, sehingga Novi dengan putus asa berkata, "Yaaah, keluar deh..."

Beberapa menit kemudian, kami menemukan rumah makan padang dan mampir untuk mengisi perut, sedangkan Novi langsung melesat secepat kilat ke toilet untuk membuang isi perut.

Setelah puas, kami naik mobil lagi dan akhirnya sampai juga di jalan tol Jagorawi yang terlihat penuh harapan, begitu indah dan berkilau. Memang dasar kita anak kota ya, kaga tahan berlama-lama di kampung :D

Akhirnya kami semua memang sampai di Jakarta dengan selamat, dan baik Sita maupun Novi harus kembali ke alam nyata karena besoknya hari Senin. Sita ada meeting di tempat kerja setiap hari Senin, dan Novi harus kembali menghadapi rekan-rekan kerjanya yang hobi meledek dan menyindir "Iya dong, kan memang untuk itu kita dibayar. Oh salah ya gue?" ketika bertanya apakah tugas yang diamanatkan kepadanya harus diselesaikan hari itu juga; dan "Oh, berarti kamu itu baik hati dan tidak sombong ya?" hanya karena menjalankan perintah atasan dengan sukarela dan menolong rekan kerja lain tanpa diminta.

TAMAT