Jumat, 06 Januari 2012

Akhirnya perjalanan itu terwujud juga ~Turki, Georgia, Azerbaijan~

Jadi, akhirnya rencana perjalanan saya terealisasikan juga. Meski baru tahap awal, bagi saya ini merupakan progres yang cukup signifikan. Untuk pertama kalinya saya berhasil menapakkan kaki di dataran Eropa setelah 23 tahun hidup. Uhm, dibilang Eropa, memang benar Eropa sih, tapi ya.. Eropa pojok gitu deh. haha. Tepatnya, Turki (ini biasa sih, bahkan ada yang bilang ini bukan Eropa), lalu ke Georgia, dan terakhir ke Azerbaijan :))

Rencana ke Eropa ini memang sudah direncanakan sejak 2 tahun lalu, namun sayangnya tidak kunjung terealisasikan. Penantian melewati bulan demi bulan terasa begitu panjang dan 2 tahun pun berlalu begitu saja. Rencana awal perjalanan saya saat dicetuskan adalah pergi beramai-ramai atau minimal berdua dengan salah seorang teman yang mengompori saya untuk jalan-jalan. Kala itu saya belum berpenghasilan, sehingga hambatan utama kala itu adalah dana. Namun, begitu dana sudah mencukupi, teman saya tiba-tiba saja kehilangan niat awalnya, sehingga muncul masalah lainnya yaitu: teman seperjalanan.

Menjelang akhir 2011, saya kebingungan karena mengetahui akan mendapat libur yang cukup panjang, yaitu dari tanggal 22 Desember sampai 3 Januari. Alangkah sayangnya jika saya menghabiskan libur itu tanpa berbuat hal apa pun yang berarti. Bahkan saya sempat memegang filosofi yang agak angkuh, yaitu uang bisa kembali, waktu dan kesempatan tidak. Kemudian mulai terbesit dalam pikiran saya, bahwa saya mungkin bisa merealisasikan sebagian dari obsesi saya untuk jalan-jalan ke Eropa. Seorang diri. Toh saya punya beberapa kenalan / teman online dari Azerbaijan, jadi ga sendiri-sendiri amat. Untuk Georgia, saya bisa cari teman lewat couchsurfing.org. Awalnya saya ragu, namun saya pun mencoba memulai persiapan dari awal, satu demi satu, sedikit demi sedikit, hingga saya sampai pada titik "there's no turning back", yaitu saat membeli tiket PP Jakarta-Istanbul yang harganya mahal. Setelah titik tersulit sudah dilewati, langkah-langkah berikutnya terasa lebih tidak berdosa, misalnya membeli tiket pesawat Istanbul - Tbilisi (Georgia), membeli tiket pesawat Baku (Azerbaijan) - Istanbul, mengurus visa Azerbaijan secara diam-diam (yang harus diurus di negara asal), dan membooking hostel untuk ketiga negara. Visa Turki bisa didapatkan on arrival, sementara visa Georgia menurut berbagai informasi juga bisa diperoleh saat kedatangan (meskipun agak gambling, soalnya jarang ada orang Indonesia ke situ, apalagi paspor saya paspor hijau Indonesia).

Langkah yang paling sulit adalah memohon restu dan izin orang tua. Orang tua merasa khawatir karena saya bepergian seorang diri. Sebenarnya saya ingin meyakinkan mereka bahwa saya punya kenalan di sana, namun saya merasa itu justru kemungkinan besar menjadi bumerang ("Siapa tuh? Ih kan ga kenal, teman dunia maya lagi. Jangan!") Orang tua saya tahu bahwa saya berobsesi untuk ke Georgia dan Azerbaijan yang masih terlibat konflik dengan negara tetangga mereka (meski sudah lumayan damai), dan tentunya orang tua melarang saya mengunjungi negara-negara tersebut. Oleh karena itu saya hanya bilang bahwa saya ke Turki.

Oke, akhirnya hari keberangkatan tiba. Saya diantar ayah saya (yang tak henti-hentinya ngedumel selama perjalanan ke bandara) dan ibu saya yang sebenarnya khawatir, namun lebih sering membela saya. Saya naik Turkish Airlines menuju Istanbul, yang jadwalnya selalu ada setiap hari. Total waktu tempuh perjalanan cukup lama. 14 jam, termasuk transit di Singapura selama 40 menit. Di pesawat saya sempat nonton film Rio (yang ternyata ga bagus-bagus amat), dan menghabiskan sebagian besar waktu untuk tidur. Subuh-subuh pengen defekesyen pula. Awalnya mau ditahan aja, namun saya berpikir, ini akan sangat menyiksa. Lalu saya meyakinkan diri saya bahwa saya harus bisa mengatasi masalah dalam segala situasi, apalagi saat traveling. Ya sudah, mumpung sepi, ke WC lah. Siapkan tisu basah. Untung di lavatory ada air mengalir. Jadi ya.. Lumayan bisa bersih.

Tiba di bandara Attaturk.. agak sedikit bingung, tapi saya ga boleh bingung. Ikutin aja arus orang-orang, dan tak jauh di sebelah kiri ada counter visa. Ternyata sangat mudah deh. Tinggal kasih paspor dan saya disuruh bayar USD25, dan petugas langsung menempelkan stiker visa di paspor saya. Setelah itu tinggal mengantri untuk pengecekan paspor dan mengambil bagasi di baggage claim. Setelah mengambil barang, saya menyempatkan diri menukar 400USD ke Turkish Lira (yang sangat sulit diperoleh di Jakarta) kemudian keluar tanpa diperiksa oleh petugas bea cukai.

Dari sini saya mencoba naik metro subway menuju hostel di pusat kota. Hostel saya terletak di kawasan Sultanahmet yang termasyhur di kalangan turis :P Turun eskalator, lalu di sana ada mesin otomatis untuk memperoleh token / jeton. Masukin duitnya, tentukan mau beli berapa jeton, lalu tekan tombol accept. Oh ya, jeton ini bisa dipake untuk hampir semua moda transportasi di Istanbul. 1 jeton seharga 2 TL (Rp10.000,-), dan berlaku tarif flat. Jadi kita hanya perlu menghabiskan 2TL untuk bepergian dengan metro/tram, baik jauh maupun dekat dalam jalur yang sama. Namun demikian, butuh jeton baru lainnya apabila kita berpindah ke jalur kereta lain (interchange).

Saya naik metro dari bandara sampai stasiun Zeytinburnu. Di stasiun tersebut, saya turun dan berpindah ke jalur tram menuju kawasan Sultanahmet. Hari benar-benar masih gelap. Matahari belum lagi terbit, padahal sudah pukul 7 pagi. Selama perjalanan menuju Sultanahmet, saya melewati kawasan yang dipadati ruko, rumah, dan lorong-lorong sempit yang berbukit. Atmosfer Timur Tengah cukup terasa, meski banyak bagian dari kota lebih mirip Eropa. Saya juga melewati sebuah tembok kuno yang besar dan megah, yang sepertinya dibangun pada era Byzantium untuk membatasi kota Konstantinopel. Pemandangan serupa terus berlanjut sampai saya tiba di stasiun Sultanahmet.

Dari stasiun Sultanahmet, saya berjalan menyeret-nyeret koper saya sambil menggendong ransel (backpacker gadungan, hahaha), menyusuri trotoar dan, tak lama kemudian, sebuah square terbuka yang sangat luas. Alun-alun ini dihiasi oleh sederetan tiang batu yang bernama obelisk. Saya mengenali tempat ini sebagai Hippodrome, peninggalan era Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), yang sempat beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran *deskripsi religius :P Tempat ini masih sangat sepi dan matahari nampaknya baru akan terbit. Dari kejauhan di sebelah kiri saya tampak bangunan Hagia Sophia, dan di sebelah kanan saya nampak sebuah masjid besar, yang tak lain adalah Masjid Sultanahmet atau lebih dikenal dengan nama Blue Mosque.

Di sini, belum-belum saya sudah dihampiri oleh orang tak dikenal. Dia mengaku sebagai polisi turis dan ingin membantu menunjukkan arah menuju hotel ("Don't worry," katanya). Dia kemudian menanyakan nama hotel dan saya hanya menyebut nama Sultan Inn's Hostel dan menunjukkannya di peta (terpaksa, soalnya dia bersikukuh sih). Namun, dia bahkan tampak tak begitu yakin di mana letak hostel saya, namun setelah mengetahui nama jalan tempat hostel saya terletak, dia menjelaskan dan menunjuk ke arah kanan *duh itu mah saya juga tau deh Mas. Lepas dari urusan dengan orang itu, saya melanjutkan berjalan sambil menyeret koper yang menimbulkan bunyi bising (karena tanahnya dilapis pavements) sampai ke ujung Hippodrome. Dari situ saya menerka arah sesuai peta dan berjalan menuruni bukit yang curam. Tak lama akhirnya saya sampai juga di hostel.

Usai cek-in (sempat ditawari paket tur yang mahal oleh resepsionis, dan agak bingung menolaknya. Mana bahasa Inggrisnya kumur-kumur), saya tak bisa langsung masuk kamar karena saat itu baru jam 8 pagi... Matahari bahkan baru terbit 30 menit yang lalu. Dan seperti pada kebanyakan hostel maupun hotel, kamar baru bisa dimasuki pukul 12 siang. Oleh karena itu, saya ditawari untuk sarapan gratis di lantai teratas hostel terlebih dahulu (tumben hostel nyediain sarapan, hehe. Di hari kedatangan lagi :D )

Sarapannya lumayan. Menu utamanya sosis dan kentang-keju-krim. Juga tersedia beberapa jenis roti yang bisa disantap dengan butter atau keju krim. Untuk minuman, tersedia susu, air putih, teh, kopi, dan jus buah entah buah apa. Saya habiskan sekitar satu jam di sini untuk makan dan mencoba fasilitas wifi sekalian menunggu.

Usai sarapan, saya turun dan menitipkan koper agar bisa berjalan-jalan di kawasan sekitar hostel. Tujuan pertama saya adalah Masjid Sultanahmet, yang merupakan objek wisata terdekat dari hostel. Agak bingung mau masuk lewat mana, namun tak lama kemudian saya berjumpa serombongan turis yang sangat 'touristy' asal Tanah Air (so obvious :P) dan saya mengikuti mereka masuk ke masjid ini.

Ternyata interior masjid ini memang sangat indah bak lukisan. Atapnya yang berupa dome dihiasi warna-warna cerah perpaduan Ottoman dan Byzantine *sotoy. Setelah menghabiskan beberapa menit di sini, saya keluar dan mendapati sebuah stand yang dijaga oleh seseorang yang tiap beberapa detik sekali berseru, “Donation!”, meski sebenernya sumbangan untuk masjid ini nggak wajib sih. Karena merasa ribet, saya tidak memberi donasi :p

Tujuan berikutnya adalah Katedral Hagia Sophia yang tersohor dan termasyhur itu. Namun karena tidak menemukan pintu masuknya, saya kelewatan dan tahu-tahu saya sudah tiba di gerbang Istana Topkapi. Sebenarnya istana ini tidak begitu menarik minat saya, namun karena istana ini merupakan salah satu destinasi paling wajib dikunjungi di Istanbul, akhirnya saya meluangkan waktu untuk sejenak menjelajahi istana ini.

Di halaman terluar istana, tepatnya di sebelah kiri saya, ada gedung gereja bersejarah yang bernama Hagia Irini (Cathedral of St Irene), namun tak terlihat satu pun turis yang memberikan perhatian pada bangunan ini, dan memang ternyata menurut print-an panduan wisata Wikitravel yang saya bawa, bangunan ini tidak dibuka untuk umum.

Setelah melewati courtyard pertama, saya harus membeli tiket yang cukup mahal dan melalui pemeriksaan x-ray agar dapat memasuki courtyard kedua. Duh, ternyata tripod dilarang di sini, sehingga tripod saya ditahan dan saya dapat mengambilnya kembali usai ekskursi. Di courtyard kedua, terdapat beberapa ruangan yang masing-masing berupa museum yang menyimpan benda-benda berharga peninggalan Kekaisaran Ottoman. Di sini juga terdapat pintu masuk menuju Harem, yang untuk memasukinya, turis wajib membayar lagi. Bagi saya yang menarik dari courtyard kedua ini hanyalah Imperial Council, sebuah ruangan dengan interior khas Ottoman *sotoy.

Oh ya, rata-rata ruangan museum di Istanbul memiliki alur yang jelas bagi pengunjung. Pengunjung masuk ruangan pameran melalui pintu masuk yang bertuliskan giris dan keluar melalui pintu keluar yang bertuliskan cikis. Kedua kosakata bahasa Turki tersebut sangat bermanfaat untuk diingat selama berwisata di Turki dan bahkan Azerbaijan :)

Lanjut ke courtyard ketiga. Seperti halnya courtyard kedua, di sini juga terdapat beberapa ruangan pameran. Di tengah courtyard terdapat Audience Chamber yang juga dikenal sebagai Throne Room. Yang paling menarik dari courtyard ketiga ini adalah ruangan pameran benda-benda warisan Nabi Muhammad. Lafaz ayat-ayat Al-Quran diperdengarkan di ruangan ini, diiringi terjemahan ayat pada layar kaca. Awalnya saya mengira ayat-ayat Quran yang diperdengarkan di ruangan ini merupakan rekaman audio, namun setelah saya berpindah ke segmen lain dari ruangan ini, saya mendapati ada seorang qari di pojok ruangan yang memang membaca Al-Quran secara live. Kebanyakan turis asing maupun lokal tertahan di sini, tertegun mendengarkan ayat Al-Quran sambil menyimak terjemahan Inggris dan Turki-nya yang berganti-ganti di layar kaca.

Di courtyard keempat, seingat saya hanya ada sebuah teras batu yang berlatar belakang panorama spektakuler Selat Bosporus dengan daratan berbukit (semenanjung Asia) yang berhiaskan rumah-rumah dan bangunan yang indah bak lukisan. Sayangnya kala itu cuaca kurang bagus dan udara dipenuhi kabut sehingga pemandangan itu berkurang keindahannya.

Setelah puas dengan istana ini, saya kembali untuk mengambil tripod saya yang tertahan, lalu keluar kompleks istana melalui gerbang lain istana di courtyard pertama. Di sini saya melewati Museum Arkeologi, namun saya mengabaikannya karena menurut saya museum tersebut kurang tinggi prioritasnya. Gerbang samping tersebut ternyata mengantar saya ke kaki lembah dengan jalan mobil yang juga dilalui rel tram. Di sepanjang jalan ini terdapat banyak toko suvenir, restoran, toko kue, dan kantor penukaran uang. Saya memutuskan mendaki trotoar dan menuju Hagia Sophia yang termasyhur.

Lagi-lagi di sini ada pemeriksaan menggunakan x-ray, dan lagi-lagi saya terpaksa menitipkan tripod yang dilarang. Oh ya kalo ga salah di sini hujan lumayan lebat deh, dan payung saya dan sebagian dari saya kebasahan. Terlepas dari semua kesulitan itu, saya memasuki bangunan ini dan menikmati kemegahan dan kesurgawian interiornya. Fitur utama katedral-masjid yang telah beralih fungsi menjadi museum ini adalah kaligrafi Arab: Allah dan Muhammad yang mengapit gambar Yesus. Menurut buku petunjuk yang saya bawa, ada baiknya mengunjungi lantai atas dari bangunan ini melalui ramp yang letaknya agak tersembunyi. Setelah menemukan ramp yang dimaksud, saya mendaki tanjakan menuju lantai atas dan mendapati pameran lukisan dan juga dinding-dinding mosaik Nasrani abad pertengahan yang sangat dilindungi. Blitz dilarang untuk digunakan saat memotret karena dapat merusak dinding mosaik tersebut. Oh ya menurut saya dibandingkan sudut-sudut lain di dalam bangunan bersejarah ini, lantai atas ini merupakan sudut terbaik untuk mengabadikan suasana bagian dalam Hagia Sophia.

Usai dari Hagia Sophia, saya memutuskan kembali ke hostel untuk beristirahat sambil menanti waktu solat Jumat. Eh tapi dalam perjalanan menuju hostel, tiba-tiba cuacanya berubah ekstrim lho. Angin kencang bertiup beriringan dengan hujan yang tipis namun lebat. Suhu mendadak turun. Kaki sudah mulai sakit dan pakaian luar saya kebasahan semua. Walhasil, saya ketiduran dan kebablasan solat Jumatnya. Uhm, kan habis menempuh perjalanan jauh, kecapean, ngantuk, dan lagi di luar hujan angin dingin, dan pakaian belum kering *alasan. Kalo ga salah, saya ketiduran sampe jam 3an deh.

Setelah istirahat sejenak di hostel, saya kembali menjelajah kota Istanbul, melewati Hippodrome (yang sepertinya akan menjadi langganan saya selama di Istanbul) dan singgah sejenak di konter kebab untuk membeli doner ayam (tavuk doner). Kemudian sembari dengan pathetic mengunyah doner yang isinya terus berjatuhan dan mengotori lantai (oh no!), saya menyusuri jalan Divan Yolu yang termasyhur ke arah Beyazit. Kali ini saya bermaksud mengunjungi Grand Bazaar (Capali Carsi) yang termasyhur. Saat itu hujan masih saja turun rintik-rintik. Namun kali ini, semakin lama hujan turun semakin lebat. Saya membuka payung saya dan bisa dibayangkan betapa repot dan susahnya keadaan saat itu. Melangkah cepat sembari membaca peta (yang luntur karena terkena air hujan), menebak arah, mencocokkan keadaan lapangan dengan peta, mencari patokan, beberapa kali menginjak genangan air, berbecek-becek ria, kebasahan, memegang payung yang seringkali berubah terbalik karena angin yang kencang, mencegah payung mengenai orang lain, memegang makanan, mengunyah makanan, menjaga kamera agar tidak terkena air hujan (dan sepertinya mustahil memotret dalam situasi seperti ini), menjaga barang bawaan dari tangan-tangan jahil, dan menghindari gangguan-gangguan dari para calo, pengganggu, penjual, dan trader/greeter cafe yang sepanjang perjalanan saya terus menyapa dan bahkan memaksa turis-turis untuk singgah di cafe mereka. Semua dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Duh, mulai homesick nih :(

Akhirnya karena repot, saya memutuskan untuk menyimpan peta dan mempercayakan semuanya pada naluri navigasi saya. Awalnya saya sempat salah jalan, karena saya berbelok terlalu awal, namun saya terus mencari jalan yang nantinya akan membawa saya ke tujuan. Akhirnya, meski melalui pintu samping (Nurosmaniye Gate), saya memang sampai di Grand Bazaar. Tadinya saya mengira bahwa saya dapat beristirahat dan bersantai sejenak di Grand Bazaar ini: menghangatkan badan sambil berjalan dengan santai dan aman, melirik ke kiri dan kanan, sambil memotret-motret, namun ternyata saya salah besar. Keadaan di sini malah lebih buruk: ramai, penuh sesak oleh arus-laju manusia dari bebagai arah, dan tentunya penuh dengan penjual barang dagangan yang agresif dan sepertinya memiliki radar turis. Bukan tidak mungkin di sini banyak orang bertangan jahil yang memanfaatkan situasi untuk mencopet.

Sebagai gambaran, Grand Bazaar ini memang sangat luaaaas. Ada puluhan lorong labirin yang bersimpangan satu sama lain, dan tiap lorong dipenuhi oleh kios-kios yang menampilkan aneka barang dagangan, mulai dari pernak-pernik kecil sampai permadani. Keseluruhan kompleks pasar yang sangat luas ini tertutup atap, menjadikannya sebagai pasar indoor terbesar di dunia *kalo ga salah ya.... Sangat mudah untuk tersesat di tempat ini. Mengandalkan ingatan, saya berjalan lurus menyusuri jalan/lorong selatan pasar ke arah barat sampai jalan tersebut bertemu dengan jalan utama, yang kemudian membawa saya ke gerbang utara kompleks pasar ini.

Keluar dari pasar, ternyata hujan bertambah parah dan disertai angin musim dingin yang jahat, yang bertiup melewati lorong-lorong sempit di tengah padatnya pemukiman penduduk. Payung saya hancur total dan sudah tidak berbentuk. Seluruh pakaian saya basah. Meski begitu, saya meneruskan berjalan melewati lorong ramai yang diapit pemukiman. Lorong yang bernama Uzuncarsi Caddesi tersebut membawa saya menuruni bukit dan mengarah ke laut (Golden Horn Bay). Setelah beberapa menit (sempat tersesat dan panik), akhirnya saya tiba di sebuah pelataran luas yang terletak di tepian laut, di mana tiupan angin dingin terasa semakin kencang dan jahat. Di seberang laut, samar-samar terlihat daratan semenanjung bukit Galata yang dihiasi menara Galata yang dibangun pada abad pertengahan dan dipenuhi perumahan dan bangunan-bangunan beraneka warna yang seharusnya indah bak lukisan. Di tepi pelataran tersebut terdapat masjid yang sangat besar yang bernama Yeni Camii (masjid baru). Malangnya, saya praktis tidak dapat berbuat apa-apa untuk menikmati dan mengagumi keindahan tempat ini karena badai semakin hebat dan air hujan mengguyur dengan deras sehingga mengaburkan pandangan. Dengan pasrah, saya berjalan melintas pelataran luas tersebut dengan hati-hati.

Tadinya saya berencana untuk menunggu di suatu tempat di sekitar tempat ini karena menurut jadwal, pertunjukan tarian sufi (Whirling Dervishes) dan upacara Sema khas Turki akan dimulai pukul 19.30 di suatu gedung pusat kebudayaan Turki yang letaknya tak jauh dari situ. Dan untuk menonton pertunjukan itu, saya telah membeli tiket seharga 50 Lira (250 ribu rupiah) secara online dari Jakarta tepat sebelum berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta. Namun, keadaan yang dahsyat tersebut ditambah dengan dinginnya udara menyurutkan niat saya untuk menunggu. Saya tak tahu di mana saya dapat berlindung. Satu-satunya tempat yang dapat saya andalkan untuk berlindung hanyalah hostel yang dilengkapi dengan pemanas sehingga hangat.

Dengan penuh perjuangan saya berjalan menuju stasiun pemberhentian tram terdekat (Sirkeci). Di sini upaya saya untuk pulang terhambat karena token saya tersangkut saat dimasukkan ke lubang di pintu palang rintangan. Awalnya saya berpikir mungkin token yang saya miliki memang terlalu ringan dan tidak compatible untuk digunakan di stasiun tram. Namun dugaan saya keliru karena tak lama kemudian seorang pemuda Turki (atau entah turis) yang sepertinya juga terburu-buru hendak naik tram mengecek token saya yang tersangkut kemudian secara ajaib token saya terdorong masuk, dan ting-tong, lampu di pintu palangan rintangan berubah hijau. Kemudian tebak apa yang dia lakukan? Dia berjalan masuk dan melewati palang putar aja gitu, sehingga secara teknis, dia naik tram secara gratis, menggunakan token saya :O Memang sih dia sepertinya memang tidak sengaja dan terburu-buru. Duh. Berterima kasihlah. Setelah kejadian itu, dengan panik saya berusaha merogoh kantong dan mencari token lainnya yang tersisa, yang sangat sulit diambil karena bercampur dengan uang koin (Pelajaran penting: letakkan token dan uang logam secara terpisah!) Akhirnya saya berhasil menemukan token terakhir yang saya miliki dan memberanikan diri memasukkan token itu untuk kedua kalinya. Kali ini saya melakukannya dengan lebih yakin dan bertenaga (pelajaran penting lainnya: masukkan token dengan yakin dan bertenaga). Setelah segala daya dan upaya tersebut, saya berhasil naik tram untuk kembali ke area Sultanahmet. Bisa dipastikan seluruh penumpang tram saat itu dalam keadaan basah dan kedinginan. Lagi-lagi saya harus menyeberangi Hippodrome yang panjang dan luas itu dan menuruni lorong-lorong yang curam untuk mencapai hostel *kaki udah sakit nih. Begitu sampai di kamar, saya tidak membuang waktu lagi dan langsung tidur sejenak. Namun malang tak dapat ditolak, saya kebablasan. Begitu saya terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 19.40 dan rasanya mustahil untuk mengejar acara yang telah dimulai di gedung pertunjukan karena saya juga belum berkemas dan ditambah lagi cuaca di luar masih tidak bersahabat. Sudah tentu tiket saya hangus. Hiks. Bahkan saya tidak makan malam saat itu karena tidak tahu harus makan apa dan di mana.