Di sini, belum-belum saya sudah dihampiri oleh orang tak dikenal. Dia mengaku sebagai polisi turis dan ingin membantu menunjukkan arah menuju hotel ("Don't worry," katanya). Dia kemudian menanyakan nama hotel dan saya hanya menyebut nama Sultan Inn's Hostel dan menunjukkannya di peta (terpaksa, soalnya dia bersikukuh sih). Namun, dia bahkan tampak tak begitu yakin di mana letak hostel saya, namun setelah mengetahui nama jalan tempat hostel saya terletak, dia menjelaskan dan menunjuk ke arah kanan *duh itu mah saya juga tau deh Mas. Lepas dari urusan dengan orang itu, saya melanjutkan berjalan sambil menyeret koper yang menimbulkan bunyi bising (karena tanahnya dilapis pavements) sampai ke ujung Hippodrome. Dari situ saya menerka arah sesuai peta dan berjalan menuruni bukit yang curam. Tak lama akhirnya saya sampai juga di hostel.
Usai cek-in (sempat ditawari paket tur yang mahal oleh resepsionis, dan agak bingung menolaknya. Mana bahasa Inggrisnya kumur-kumur), saya tak bisa langsung masuk kamar karena saat itu baru jam 8 pagi... Matahari bahkan baru terbit 30 menit yang lalu. Dan seperti pada kebanyakan hostel maupun hotel, kamar baru bisa dimasuki pukul 12 siang. Oleh karena itu, saya ditawari untuk sarapan gratis di lantai teratas hostel terlebih dahulu (tumben hostel nyediain sarapan, hehe. Di hari kedatangan lagi :D )
Sarapannya lumayan. Menu utamanya sosis dan kentang-keju-krim. Juga tersedia beberapa jenis roti yang bisa disantap dengan butter atau keju krim. Untuk minuman, tersedia susu, air putih, teh, kopi, dan jus buah entah buah apa. Saya habiskan sekitar satu jam di sini untuk makan dan mencoba fasilitas wifi sekalian menunggu.
Usai sarapan, saya turun dan menitipkan koper agar bisa berjalan-jalan di kawasan sekitar hostel. Tujuan pertama saya adalah Masjid Sultanahmet, yang merupakan objek wisata terdekat dari hostel. Agak bingung mau masuk lewat mana, namun tak lama kemudian saya berjumpa serombongan turis yang sangat 'touristy' asal Tanah Air (so obvious :P) dan saya mengikuti mereka masuk ke masjid ini.
Ternyata interior masjid ini memang sangat indah bak lukisan. Atapnya yang berupa dome dihiasi warna-warna cerah perpaduan Ottoman dan Byzantine *sotoy. Setelah menghabiskan beberapa menit di sini, saya keluar dan mendapati sebuah stand yang dijaga oleh seseorang yang tiap beberapa detik sekali berseru, “Donation!”, meski sebenernya sumbangan untuk masjid ini nggak wajib sih. Karena merasa ribet, saya tidak memberi donasi :p
Tujuan berikutnya adalah Katedral Hagia Sophia yang tersohor dan termasyhur itu. Namun karena tidak menemukan pintu masuknya, saya kelewatan dan tahu-tahu saya sudah tiba di gerbang Istana Topkapi. Sebenarnya istana ini tidak begitu menarik minat saya, namun karena istana ini merupakan salah satu destinasi paling wajib dikunjungi di
Di halaman terluar istana, tepatnya di sebelah kiri saya, ada gedung gereja bersejarah yang bernama Hagia Irini (Cathedral of St Irene), namun tak terlihat satu pun turis yang memberikan perhatian pada bangunan ini, dan memang ternyata menurut print-an panduan wisata Wikitravel yang saya bawa, bangunan ini tidak dibuka untuk umum.
Setelah melewati courtyard pertama, saya harus membeli tiket yang cukup mahal dan melalui pemeriksaan x-ray agar dapat memasuki courtyard kedua. Duh, ternyata tripod dilarang di sini, sehingga tripod saya ditahan dan saya dapat mengambilnya kembali usai ekskursi. Di courtyard kedua, terdapat beberapa ruangan yang masing-masing berupa museum yang menyimpan benda-benda berharga peninggalan Kekaisaran Ottoman. Di sini juga terdapat pintu masuk menuju Harem, yang untuk memasukinya, turis wajib membayar lagi. Bagi saya yang menarik dari courtyard kedua ini hanyalah Imperial Council, sebuah ruangan dengan interior khas Ottoman *sotoy.
Oh ya, rata-rata ruangan museum di
Lanjut ke courtyard ketiga. Seperti halnya courtyard kedua, di sini juga terdapat beberapa ruangan pameran. Di tengah courtyard terdapat Audience Chamber yang juga dikenal sebagai Throne Room. Yang paling menarik dari courtyard ketiga ini adalah ruangan pameran benda-benda warisan Nabi Muhammad. Lafaz ayat-ayat Al-Quran diperdengarkan di ruangan ini, diiringi terjemahan ayat pada layar kaca. Awalnya saya mengira ayat-ayat Quran yang diperdengarkan di ruangan ini merupakan rekaman audio, namun setelah saya berpindah ke segmen lain dari ruangan ini, saya mendapati ada seorang qari di pojok ruangan yang memang membaca Al-Quran secara live. Kebanyakan turis asing maupun lokal tertahan di sini, tertegun mendengarkan ayat Al-Quran sambil menyimak terjemahan Inggris dan Turki-nya yang berganti-ganti di layar kaca.
Di courtyard keempat, seingat saya hanya ada sebuah teras batu yang berlatar belakang panorama spektakuler Selat Bosporus dengan daratan berbukit (semenanjung
Setelah puas dengan istana ini, saya kembali untuk mengambil tripod saya yang tertahan, lalu keluar kompleks istana melalui gerbang lain istana di courtyard pertama. Di sini saya melewati Museum Arkeologi, namun saya mengabaikannya karena menurut saya museum tersebut kurang tinggi prioritasnya. Gerbang samping tersebut ternyata mengantar saya ke kaki lembah dengan jalan mobil yang juga dilalui rel tram. Di sepanjang jalan ini terdapat banyak toko suvenir, restoran, toko kue, dan kantor penukaran uang. Saya memutuskan mendaki trotoar dan menuju Hagia Sophia yang termasyhur.
Lagi-lagi di sini ada pemeriksaan menggunakan x-ray, dan lagi-lagi saya terpaksa menitipkan tripod yang dilarang. Oh ya kalo ga salah di sini hujan lumayan lebat deh, dan payung saya dan sebagian dari saya kebasahan. Terlepas dari semua kesulitan itu, saya memasuki bangunan ini dan menikmati kemegahan dan kesurgawian interiornya. Fitur utama katedral-masjid yang telah beralih fungsi menjadi museum ini adalah kaligrafi Arab: Allah dan Muhammad yang mengapit gambar Yesus. Menurut buku petunjuk yang saya bawa, ada baiknya mengunjungi lantai atas dari bangunan ini melalui ramp yang letaknya agak tersembunyi. Setelah menemukan ramp yang dimaksud, saya mendaki tanjakan menuju lantai atas dan mendapati pameran lukisan dan juga dinding-dinding mosaik Nasrani abad pertengahan yang sangat dilindungi. Blitz dilarang untuk digunakan saat memotret karena dapat merusak dinding mosaik tersebut. Oh ya menurut saya dibandingkan sudut-sudut lain di dalam bangunan bersejarah ini, lantai atas ini merupakan sudut terbaik untuk mengabadikan suasana bagian dalam Hagia Sophia.
Usai dari Hagia Sophia, saya memutuskan kembali ke hostel untuk beristirahat sambil menanti waktu solat Jumat. Eh tapi dalam perjalanan menuju hostel, tiba-tiba cuacanya berubah ekstrim lho. Angin kencang bertiup beriringan dengan hujan yang tipis namun lebat. Suhu mendadak turun. Kaki sudah mulai sakit dan pakaian luar saya kebasahan semua. Walhasil, saya ketiduran dan kebablasan solat Jumatnya. Uhm, kan habis menempuh perjalanan jauh, kecapean, ngantuk, dan lagi di luar hujan angin dingin, dan pakaian belum kering *alasan. Kalo ga salah, saya ketiduran sampe jam 3an deh.
Setelah istirahat sejenak di hostel, saya kembali menjelajah kota Istanbul, melewati Hippodrome (yang sepertinya akan menjadi langganan saya selama di Istanbul) dan singgah sejenak di konter kebab untuk membeli doner ayam (tavuk doner). Kemudian sembari dengan pathetic mengunyah doner yang isinya terus berjatuhan dan mengotori lantai (oh no!), saya menyusuri jalan Divan Yolu yang termasyhur ke arah Beyazit. Kali ini saya bermaksud mengunjungi Grand Bazaar (Capali Carsi) yang termasyhur. Saat itu hujan masih saja turun rintik-rintik. Namun kali ini, semakin lama hujan turun semakin lebat. Saya membuka payung saya dan bisa dibayangkan betapa repot dan susahnya keadaan saat itu. Melangkah cepat sembari membaca peta (yang luntur karena terkena air hujan), menebak arah, mencocokkan keadaan lapangan dengan peta, mencari patokan, beberapa kali menginjak genangan air, berbecek-becek ria, kebasahan, memegang payung yang seringkali berubah terbalik karena angin yang kencang, mencegah payung mengenai orang lain, memegang makanan, mengunyah makanan, menjaga kamera agar tidak terkena air hujan (dan sepertinya mustahil memotret dalam situasi seperti ini), menjaga barang bawaan dari tangan-tangan jahil, dan menghindari gangguan-gangguan dari para calo, pengganggu, penjual, dan trader/greeter cafe yang sepanjang perjalanan saya terus menyapa dan bahkan memaksa turis-turis untuk singgah di cafe mereka. Semua dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Duh, mulai homesick nih :(
Akhirnya karena repot, saya memutuskan untuk menyimpan peta dan mempercayakan semuanya pada naluri navigasi saya. Awalnya saya sempat salah jalan, karena saya berbelok terlalu awal, namun saya terus mencari jalan yang nantinya akan membawa saya ke tujuan. Akhirnya, meski melalui pintu samping (Nurosmaniye Gate), saya memang sampai di Grand Bazaar. Tadinya saya mengira bahwa saya dapat beristirahat dan bersantai sejenak di Grand Bazaar ini: menghangatkan badan sambil berjalan dengan santai dan aman, melirik ke kiri dan kanan, sambil memotret-motret, namun ternyata saya salah besar. Keadaan di sini malah lebih buruk: ramai, penuh sesak oleh arus-laju manusia dari bebagai arah, dan tentunya penuh dengan penjual barang dagangan yang agresif dan sepertinya memiliki radar turis. Bukan tidak mungkin di sini banyak orang bertangan jahil yang memanfaatkan situasi untuk mencopet.
Sebagai gambaran, Grand Bazaar ini memang sangat luaaaas. Ada puluhan lorong labirin yang bersimpangan satu sama lain, dan tiap lorong dipenuhi oleh kios-kios yang menampilkan aneka barang dagangan, mulai dari pernak-pernik kecil sampai permadani. Keseluruhan kompleks pasar yang sangat luas ini tertutup atap, menjadikannya sebagai pasar indoor terbesar di dunia *kalo ga salah ya.... Sangat mudah untuk tersesat di tempat ini. Mengandalkan ingatan, saya berjalan lurus menyusuri jalan/lorong selatan pasar ke arah barat sampai jalan tersebut bertemu dengan jalan utama, yang kemudian membawa saya ke gerbang utara kompleks pasar ini.
Keluar dari pasar, ternyata hujan bertambah parah dan disertai angin musim dingin yang jahat, yang bertiup melewati lorong-lorong sempit di tengah padatnya pemukiman penduduk. Payung saya hancur total dan sudah tidak berbentuk. Seluruh pakaian saya basah. Meski begitu, saya meneruskan berjalan melewati lorong ramai yang diapit pemukiman. Lorong yang bernama Uzuncarsi Caddesi tersebut membawa saya menuruni bukit dan mengarah ke laut (Golden Horn Bay). Setelah beberapa menit (sempat tersesat dan panik), akhirnya saya tiba di sebuah pelataran luas yang terletak di tepian laut, di mana tiupan angin dingin terasa semakin kencang dan jahat. Di seberang laut, samar-samar terlihat daratan semenanjung bukit Galata yang dihiasi menara Galata yang dibangun pada abad pertengahan dan dipenuhi perumahan dan bangunan-bangunan beraneka warna yang seharusnya indah bak lukisan. Di tepi pelataran tersebut terdapat masjid yang sangat besar yang bernama Yeni Camii (masjid baru). Malangnya, saya praktis tidak dapat berbuat apa-apa untuk menikmati dan mengagumi keindahan tempat ini karena badai semakin hebat dan air hujan mengguyur dengan deras sehingga mengaburkan pandangan. Dengan pasrah, saya berjalan melintas pelataran luas tersebut dengan hati-hati.
Tadinya saya berencana untuk menunggu di suatu tempat di sekitar tempat ini karena menurut jadwal, pertunjukan tarian sufi (Whirling Dervishes) dan upacara Sema khas Turki akan dimulai pukul 19.30 di suatu gedung pusat kebudayaan Turki yang letaknya tak jauh dari situ. Dan untuk menonton pertunjukan itu, saya telah membeli tiket seharga 50 Lira (250 ribu rupiah) secara online dari Jakarta tepat sebelum berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta. Namun, keadaan yang dahsyat tersebut ditambah dengan dinginnya udara menyurutkan niat saya untuk menunggu. Saya tak tahu di mana saya dapat berlindung. Satu-satunya tempat yang dapat saya andalkan untuk berlindung hanyalah hostel yang dilengkapi dengan pemanas sehingga hangat.
Dengan penuh perjuangan saya berjalan menuju stasiun pemberhentian tram terdekat (Sirkeci). Di sini upaya saya untuk pulang terhambat karena token saya tersangkut saat dimasukkan ke lubang di pintu palang rintangan. Awalnya saya berpikir mungkin token yang saya miliki memang terlalu ringan dan tidak compatible untuk digunakan di stasiun tram. Namun dugaan saya keliru karena tak lama kemudian seorang pemuda Turki (atau entah turis) yang sepertinya juga terburu-buru hendak naik tram mengecek token saya yang tersangkut kemudian secara ajaib token saya terdorong masuk, dan ting-tong, lampu di pintu palangan rintangan berubah hijau. Kemudian tebak apa yang dia lakukan? Dia berjalan masuk dan melewati palang putar aja gitu, sehingga secara teknis, dia naik tram secara gratis, menggunakan token saya :O Memang sih dia sepertinya memang tidak sengaja dan terburu-buru. Duh. Berterima kasihlah. Setelah kejadian itu, dengan panik saya berusaha merogoh kantong dan mencari token lainnya yang tersisa, yang sangat sulit diambil karena bercampur dengan uang koin (Pelajaran penting: letakkan token dan uang logam secara terpisah!) Akhirnya saya berhasil menemukan token terakhir yang saya miliki dan memberanikan diri memasukkan token itu untuk kedua kalinya. Kali ini saya melakukannya dengan lebih yakin dan bertenaga (pelajaran penting lainnya: masukkan token dengan yakin dan bertenaga). Setelah segala daya dan upaya tersebut, saya berhasil naik tram untuk kembali ke area Sultanahmet. Bisa dipastikan seluruh penumpang tram saat itu dalam keadaan basah dan kedinginan. Lagi-lagi saya harus menyeberangi Hippodrome yang panjang dan luas itu dan menuruni lorong-lorong yang curam untuk mencapai hostel *kaki udah sakit nih. Begitu sampai di kamar, saya tidak membuang waktu lagi dan langsung tidur sejenak. Namun malang tak dapat ditolak, saya kebablasan. Begitu saya terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 19.40 dan rasanya mustahil untuk mengejar acara yang telah dimulai di gedung pertunjukan karena saya juga belum berkemas dan ditambah lagi cuaca di luar masih tidak bersahabat. Sudah tentu tiket saya hangus. Hiks. Bahkan saya tidak makan malam saat itu karena tidak tahu harus makan apa dan di mana.