peta Batam - Bintan
Ini kali kedua saya jalan-jalan
bareng sepupu. Karena kita adalah pemburu authenticity, maka kami memutuskan
untuk pergi melancong ke Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya kota Tanjung Pinang dan Batam. Tujuan kami ke
tempat ini selain untuk mencari authenticity, tak lain tak bukan adalah untuk
memastikan samada budaya dan bahasa mereka memang bercirikan Melayu yang
kental, dan juga untuk memastikan samada keadaan di sana memang mirip-mirip
Singapore dan Malaysia (dalam artian banyak kedai kopi lokal dan kedai kopi
Cina, banyak hawker centre, dan juga populernya Milo sebagai minuman yang
digemari masyarakat lokal).
Kami mengambil penerbangan Lion
Air dengan jadwal pukul 8.25 pagi dan mendarat (dengan sedikit menggerunkan
berhubung landasannya pendek) di Lapangan Terbang Raja Haji Fisabilillah
Tanjung Pinang sekitar satu jam empat puluh lima menit kemudian. Dari bandara kami naik
taksi dengan tambang tetap Rp70.000 (Zona 3) menuju Hotel Sampurna Jaya yang
terletak di pusat bandar Tanjung Pinang. Setelah tiba, kami langsung masuk
kamar (yang terlihat tua dan creepy) untuk meletakkan barang. Setelah siap,
kami kemudian keluar hotel dan berjalan kaki menuju pelabuhan Sri Bintan Pura
yang terletak tidak jauh dari hotel untuk membeli tiket ferry menuju Batam yang
akan digunakan esok hari. Dalam perjalanan, kami membeli otak-otak ikan dan
sotong untuk dimakan selama berjalan (rasanya enak dan pedas, lagi gurih, gak
seperti otak-otak yang di Jakarta).
Setelah berhasil membeli tiket, kami menyempatkan diri untuk mencoba satu dari
sekian banyak kedai kopi yang bertebaran di jalan utama bandar ini, yaitu Jalan
Merdeka yang dipenuhi ruko-ruko authentic. Di kedai kopi yang terletak tepat di
sebelah Kedai Kopi Pagi Sore ini (lupa namanya), kami memesan Roti Prata kosong
dan es teh tarik :D Duh, roti prata dan kuahnya itu, enak dan authentic banget
deh. Rasa karinya benar-benar terasa dan hampir mirip dengan kari di Singapore
dan Malaysia (malah lebih pedas dan spicy), tidak seperti kari-kari palsu encer
yang dijual di Jakarta yang mengembel-embeli diri sebagai makanan authentic
Singapore dan negeri jiran (mungkin rasanya sudah disesuaikan dengan selera
warga Jakarta kali ya, yang kebanyakan gak doyan kari, tapi kan malah jadi
nanggung dan eneg gitu rasanya). Es teh tariknya agak aneh sih. Yaaah,
mudah-mudahan saja kami saat itu memang sedang tidak beruntung...
persimpangan authentic Jalan Merdeka, Jalan Bintan, Jalan Pos
otak-otak khas KepRi
roti prata dengan kuah kari dan es teh tarik
Puas nyobain makanan, kami
berjalan kembali ke hotel melewati Jalan Bintan, sebuah jalan kecil (lorong)
yang lebih authentic lagi. Di ujung jalan, kami berjumpa Masjid Raya Al-Hikmah.
Saya mampir ke masjid untuk jumatan sementara sepupu saya yang wanita kembali
ke hotel untuk beristirahat dan menunggu saya selesai. Oh ya, jamaah yang solat
Jumat ini rata-rata bercakap bahasa Melayu lho (terdengar sama dengan bahasa
Melayu Singapore dan Malaysia)…
bahkan beberapa dari mereka mengenakan baju Melayu. Meski sebagian besar
penduduknya adalah Melayu, entah gimana kami merasa terganggu dengan warga
pendatang (selain warga Tionghoa) dari belahan bumi Nusantara lainnya (no
offense lho), misalnya pendatang dari Minang, tanah Batak, dan Jawa (karena
mereka cukup banyak jumlahnya dan tak cakap bahasa Melayu (yang Jawa ya medok,
yang Minang ya Padang, yang Batak ya Batak), jadi sedikit banyak mengurangi
authenticity kota Tanjung Pinang :p). Di samping itu, bahasa resmi di kota ini adalah bahasa Indonesia, sehingga kosakata yang
digunakan pada pengumuman, iklan, dsb. kebanyakan adalah kosakata bahasa Indonesia.
interior Masjid Raya Al-Hikmah
Usai Jumatan, saya kembali ke
hotel untuk menjemput sepupu saya lalu kami memulai petualangan untuk
menjelajah kota
ini lebih jauh :D Kami menelusuri lorong-lorong authentic di Jalan Pos dan
Jalan Pasar Ikan. Makin ke dalam, makin berasa suasana Chinatown-nya. Di Jalan
Pos kami mampir ke Bintan
Plaza untuk
melihat-lihat. Di persimpangan di penghujung Jalan Pos, kami menemukan Hotel
Tanjungpinang yang nampak sangat tua. Di dekat sini juga terdapat jalan kecil
menuju dermaga Pelantar 1, yang merupakan dermaga untuk naik perahu menuju
perkampungan Senggarang. Dari sini kami berjalan menyusuri Jalan Pasar Ikan
yang authentic dan berbelok di ujung jalan untuk menuju Pelantar 2 yang juga authentic.
Di ujung Jalan Pelantar 2, terdapat dermaga yang authentic yang bahkan
dilengkapi dengan sebuah kuil Cina (cetiya) tepi laut. Dermaga ini juga tampaknya
bila malam tiba akan berubah menjadi sebuah hawker centre tepi laut. Cihuy! So
Singaporean / Malaysian.
interior Bintan Plaza
Jalan Pasar Ikan
Jalan Pelantar 1
kuil tepi laut: Cetiya Bodhi Sasana
Akau Laut Jaya Pelantar 2
Selepas itu kami berjalan ke arah
sebaliknya dan menemukan sebuah kuil tua (Vihara Bahtra Sastra), yang merupakan
salah satu wihara tertua di jantung kota Tanjung
Pinang. Authentic gitu deh. Oh iya, wihara ini
terletak di ujung Jalan Merdeka, yang mana jalan tersebut yang menjelma menjadi
sebuah alun-alun kota (square) dan terminal angkot dengan 3 lane. Di tempat ini kami berjumpa kedai
kopi yang tadi lagi, dan kali ini kami mencoba Kedai Kopi Pagi Sore yang katanya legendaris yang
terletak persis di sebelah kedai kopi itu. Di sini kami memesan menu yang
sama: Roti Prata dan Es Teh Tarik. Roti Pratanya gak seenak yang tadi, terlebih
lagi rasa kuah karinya lebih mirip kuah gulai Padang daripada kari. Ngek! Doesn’t mean
I hate Padangnese food, but we’ve come all this way from Jakarta to seek for the real flavor of Malay
food. Meski begitu, es teh tariknya, woow… juara banget. Rasanya hampir mirip
es teh tarik yang di Malaysia
dan Singapore!
Bisa dibilang kombinasi keduanya lah. Takarannya pas, buihnya tumpah-ruah, dan
yang penting: ada rasa ITU-nya! Setelah puas, kami kembali menuju hotel untuk
beristirahat.
terusan Jalan Pelantar 2
terusan Jalan Pelantar 2
town square
es teh tarik Kedai Kopi Pagi Sore
Menjelang petang, kami berjalan
menuju Ocean Corner, di mana terdapat sebuah pedestrian plaza tepi laut dan
sebuah monumen. Kalau malam tempat ini juga akan berubah menjadi sebuah hawker
centre :D Di sepanjang jalan di tepi laut juga terdapat banyak gerobak yang
menjual jajanan dan juga minuman dingin (es teh tarik, ice Milo,
kopi) yang dilengkapi kursi-kursi yang disusun di pantai. Kami memutuskan untuk
rehat sejenak di sini sambil menengadah menatap langit senja, selonjoran, dan
minum segelas ice Milo. Oh ya, ice Milo-nya yummy banget deh! Dan ada rasa
ITU-nya :p Latar pemandangan yang terhampar di hadapan kami adalah Pulau
Penyengat. Masjid Putih Telur yang merupakan salah satu situs wisata bersejarah
juga tampak jelas di pantai pulau itu. Ketika hari makin gelap, layar-layar
tancap mulai dipasang agar orang dapat menonton acara TV sambil menyantap
makanan ringan dan minum minuman yang menyegarkan.
Ocean Corner
Ice Milo
Pulau Penyengat
layar tancap
Setelah sekian lama beristirahat, kami meneruskan perjalanan
menempuh jalan yang berlumpur menuju Monumen Fisabilillah yang di dasarnya
terdapat pasar malam yang meriah dengan wahana permainan anak yang berwarna-warni.
Tak jauh dari sini, kami juga berjumpa dengan hawker centre lainnya yang cukup
termasyhur yang bernama Melayu
Square. Kami memutuskan untuk mencicipi
makanan-makanan di Melayu Square
ini. Oh ya, begitu duduk di sini, jangan kaget bila semua vendor tiba-tiba berdatangan
dan menyodorkan menu mereka masing-masing. Take your time, bersikap tenang
saja, pilih-pilih dengan santai dan leluasa, kemudian putuskan mau pesan yang mana.
Kami memesan seporsi laksa goreng, seporsi sotong bakar dengan nasi putih, seporsi
roti prata kosong dengan kuah kari, dan tentunya es teh tarik lagi (gak
bosen-bosen). Laksa gorengnya lumayan enak sih, dan mau makan seberapa banyak
pun, tetap gak bikin eneg. Seandainya saja kita bener-bener lagi laper banget,
pastinya nikmat banget deh makan itu. Sotong bakarnya… Gurih, enak, spicy,
bumbunya menyerap sempurna, dan gak alot. Tapi gak selegit cumi tinta yang
dimasak selama 3 jam juga sih. Roti prata kosongnya lumayan, cuma sayang
kuahnya cenderung seperti gulai, bukan kuah kari. Tapi enak sih, gak seperti
prata ‘nanggung’ yang di kedai kopi Pagi Sore tadi. Sepupu saya bahkan
menyatakan bahwa sejauh ini, roti prata ini adalah yang paling disukainya. Dan
es teh tariknya, wow! Yang ini lebih mirip Malaysia gitu deh.
pasar malam
Melayu Square
roti prata, laksa goreng, es teh tarik
sotong bakar
Setelah puas, kami naik angkot
dari Melayu Square menuju Akau Potong Lembu, sebuah hawker centre paling
termasyhur dan paling legendaris di Tanjung Pinang (bahkan di Kepulauan Riau
mungkin). Naik angkot di sini gak perlu bingung. Tinggal tanya pengemudinya
aja, lewat atau nggak. Seandainya nggak lewat pun, biasanya si bapak pengemudi
akan mengiyakan dan akan sengaja menyimpang keluar dari trayek resmi untuk melewati
tempat yang dimaksud, mengingat kawasan inti kota Tanjung Pinang ini memang tidak begitu
luas. Jangan khawatir, karena tambangnya tetap Rp3000 per orang. Hanya perlu
waktu 5 menit, dan kami tiba di mulut lorong yang diapit ruko yang merupakan
jalan masuk menuju Akau Potong Lembu. Begitu kami tiba, wow… Hawker centre ini
memang sangat ramai, authentic, meriah, semarak, riuh, spektakuler, dan
berbagai kata lainnya yang dapat mendeskripsikan tempat ini. Bahkan menurut saya tempat ini jauh lebih meriah daripada hawker centre Jalan Alor di Kuala Lumpur ataupun Lau Pa Sat di Singapore. Meja-meja bundar
lengkap dengan kursi-kursi plastik bertebaran di seluruh penjuru alun-alun yang
diapit kompleks ruko-ruko tua yang authentic. Ratusan warga lokal memenuhi meja
untuk makan besar ataupun ngemil sembari bercengkerama dengan bahagia bersama keluarga,
kerabat, kawan, ataupun rekan mereka. Berpuluh-puluh food stall mengelilingi
alun-alun ini, antara lain sate, lou mie, o luak, mie goreng, mie rebus, nasi
ayam Hainam, aneka seafood, gonggong (siput laut khas Kepulauan Riau), minuman,
dan bahkan dessert berupa pisang goreng keju susu yang yummy banget (setelah
kami selidiki, ternyata karena menggunakan susu krimer kental manis impor
bermerk Dairy Champ)! Sayangnya kami sudah kenyang, sehingga kami hanya dapat
mencoba sebahagian kecil dari sekian banyak makanan yang tersedia di akau ini.
Menurut referensi yang kami peroleh dari internet, gonggong terlezat di akau
ini dijual oleh kakek-kakek tua bungkuk. Kami berkeliling untuk mencari kakek
yang dimaksud dan ketika menemukan orang yang dimaksud, kami mengintai kakek
itu sejenak. Sepupu saya yang sedari tadi memerhatikan seluruh pedagang di
tempat yang luas itu bahkan meyakinkan saya, “Bang, kayaknya memang benar itu
deh, karena cuma dia satu-satunya pedagang yang bungkuk. Dan dia jualan
gonggong. Yang sebelah sana itu kakek-kakek juga tapi gak terlalu bungkuk dan dagangan utamanya gonggong.”
Kami mencoba gonggong (isi 20 buah) dan pisang goreng keju susu yang sangat
yummy tadi itu. Oh ya, gonggong itu baunya agak-agak amis air laut gitu deh
(bayangkan bau air laut di dekat perkampungan nelayan), tapi begitu kami
mencungkil dan mencoba isinya, ternyata rasanya lumayan juga, apalagi bila
dicocol ke sausnya. Bagian yang paling enak itu yang bagian yang lunak dan
slimy-nya (yang justru terlihat menjijikkan), sementara bagian yang kenyal di
dekat kaki berduri dari zat kitin atau entah zat kapur itu, cenderung kenyal
dan sulit digigit seperti halnya getah dan juga cenderung agak amis, seperti
halnya cumi/sotong yang belum masak benar. Begitu disajikan, sedapat mungkin
segera habiskan gonggong ini, karena kalau kelamaan akan berasa amis bila
dimakan. Overall, kami tidak sampai tergolong doyan makanan ini (meski katanya
banyak juga yang ketagihan mau coba makan lagi), tapi setidaknya kami telah
menuntaskan salah satu dari beberapa objectives yang katanya wajib dilakukan di
Tanjung Pinang: makan gonggong.
suasana hawker centre AKAU POTONG LEMBU yang semarak lagi authentic
Gonggong, siput laut khas KepRi
pisang goreng keju susu
Setelah puas menikmati suasana
akau yang sesuatuk itu, kami naik ojek (tambang Rp5000 per ojek) yang mangkal
di mulut lorong akau untuk kembali ke hotel tempat kami menginap. Agak-agak
mengerikan sih, karena begitu kedua ojek yang kami tumpangi meluncur, kok
sepupu saya dibawa melesat ke arah yang berlawanan gitu, memasuki kawasan gang
yang gelap yang diapit-apit ruko, ngebut pula. Mana perempuan, sendirian lagi.
Dan ketika saya nyampe di hotel, belum ada tanda bahwa sepupu saya akan tiba.
Beberapa sepeda motor berlalu di jalan namun tak ada satu pun yang ditumpangi
sepupu saya. Tapi untunglah akhirnya dia tiba setelah beberapa menit, kalo
nggak kan, gila aja, gimana
pertanggungjawabannya ini :P Gak lagi deh naik ojek malem-malem di Tanjung Pinang, daripada diculik. Mana ongkosnya cuma lima rebu lagi, bukankah
tidak menutup kemungkinan si tukang ojeknya akan meminta ‘lebih’.