Sabtu, 21 Juli 2012

Tanjung Pinang Trip ~Perjalanan Mencari Otentisitas~

peta Batam - Bintan

Ini kali kedua saya jalan-jalan bareng sepupu. Karena kita adalah pemburu authenticity, maka kami memutuskan untuk pergi melancong ke Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya kota Tanjung Pinang dan Batam. Tujuan kami ke tempat ini selain untuk mencari authenticity, tak lain tak bukan adalah untuk memastikan samada budaya dan bahasa mereka memang bercirikan Melayu yang kental, dan juga untuk memastikan samada keadaan di sana memang mirip-mirip Singapore dan Malaysia (dalam artian banyak kedai kopi lokal dan kedai kopi Cina, banyak hawker centre, dan juga populernya Milo sebagai minuman yang digemari masyarakat lokal).

Kami mengambil penerbangan Lion Air dengan jadwal pukul 8.25 pagi dan mendarat (dengan sedikit menggerunkan berhubung landasannya pendek) di Lapangan Terbang Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang sekitar satu jam empat puluh lima menit kemudian. Dari bandara kami naik taksi dengan tambang tetap Rp70.000 (Zona 3) menuju Hotel Sampurna Jaya yang terletak di pusat bandar Tanjung Pinang. Setelah tiba, kami langsung masuk kamar (yang terlihat tua dan creepy) untuk meletakkan barang. Setelah siap, kami kemudian keluar hotel dan berjalan kaki menuju pelabuhan Sri Bintan Pura yang terletak tidak jauh dari hotel untuk membeli tiket ferry menuju Batam yang akan digunakan esok hari. Dalam perjalanan, kami membeli otak-otak ikan dan sotong untuk dimakan selama berjalan (rasanya enak dan pedas, lagi gurih, gak seperti otak-otak yang di Jakarta). Setelah berhasil membeli tiket, kami menyempatkan diri untuk mencoba satu dari sekian banyak kedai kopi yang bertebaran di jalan utama bandar ini, yaitu Jalan Merdeka yang dipenuhi ruko-ruko authentic. Di kedai kopi yang terletak tepat di sebelah Kedai Kopi Pagi Sore ini (lupa namanya), kami memesan Roti Prata kosong dan es teh tarik :D Duh, roti prata dan kuahnya itu, enak dan authentic banget deh. Rasa karinya benar-benar terasa dan hampir mirip dengan kari di Singapore dan Malaysia (malah lebih pedas dan spicy), tidak seperti kari-kari palsu encer yang dijual di Jakarta yang mengembel-embeli diri sebagai makanan authentic Singapore dan negeri jiran (mungkin rasanya sudah disesuaikan dengan selera warga Jakarta kali ya, yang kebanyakan gak doyan kari, tapi kan malah jadi nanggung dan eneg gitu rasanya). Es teh tariknya agak aneh sih. Yaaah, mudah-mudahan saja kami saat itu memang sedang tidak beruntung...


persimpangan authentic Jalan Merdeka, Jalan Bintan, Jalan Pos

 
otak-otak khas KepRi


roti prata dengan kuah kari dan es teh tarik

Puas nyobain makanan, kami berjalan kembali ke hotel melewati Jalan Bintan, sebuah jalan kecil (lorong) yang lebih authentic lagi. Di ujung jalan, kami berjumpa Masjid Raya Al-Hikmah. Saya mampir ke masjid untuk jumatan sementara sepupu saya yang wanita kembali ke hotel untuk beristirahat dan menunggu saya selesai. Oh ya, jamaah yang solat Jumat ini rata-rata bercakap bahasa Melayu lho (terdengar sama dengan bahasa Melayu Singapore dan Malaysia)… bahkan beberapa dari mereka mengenakan baju Melayu. Meski sebagian besar penduduknya adalah Melayu, entah gimana kami merasa terganggu dengan warga pendatang (selain warga Tionghoa) dari belahan bumi Nusantara lainnya (no offense lho), misalnya pendatang dari Minang, tanah Batak, dan Jawa (karena mereka cukup banyak jumlahnya dan tak cakap bahasa Melayu (yang Jawa ya medok, yang Minang ya Padang, yang Batak ya Batak), jadi sedikit banyak mengurangi authenticity kota Tanjung Pinang :p). Di samping itu, bahasa resmi di kota ini adalah bahasa Indonesia, sehingga kosakata yang digunakan pada pengumuman, iklan, dsb. kebanyakan adalah kosakata bahasa Indonesia.


interior Masjid Raya Al-Hikmah

Usai Jumatan, saya kembali ke hotel untuk menjemput sepupu saya lalu kami memulai petualangan untuk menjelajah kota ini lebih jauh :D Kami menelusuri lorong-lorong authentic di Jalan Pos dan Jalan Pasar Ikan. Makin ke dalam, makin berasa suasana Chinatown-nya. Di Jalan Pos kami mampir ke Bintan Plaza untuk melihat-lihat. Di persimpangan di penghujung Jalan Pos, kami menemukan Hotel Tanjungpinang yang nampak sangat tua. Di dekat sini juga terdapat jalan kecil menuju dermaga Pelantar 1, yang merupakan dermaga untuk naik perahu menuju perkampungan Senggarang. Dari sini kami berjalan menyusuri Jalan Pasar Ikan yang authentic dan berbelok di ujung jalan untuk menuju Pelantar 2 yang juga authentic. Di ujung Jalan Pelantar 2, terdapat dermaga yang authentic yang bahkan dilengkapi dengan sebuah kuil Cina (cetiya) tepi laut. Dermaga ini juga tampaknya bila malam tiba akan berubah menjadi sebuah hawker centre tepi laut. Cihuy! So Singaporean / Malaysian.

interior Bintan Plaza

Jalan Pasar Ikan

Jalan Pelantar 1

kuil tepi laut: Cetiya Bodhi Sasana


Akau Laut Jaya Pelantar 2

Selepas itu kami berjalan ke arah sebaliknya dan menemukan sebuah kuil tua (Vihara Bahtra Sastra), yang merupakan salah satu wihara tertua di jantung kota Tanjung Pinang. Authentic gitu deh. Oh iya, wihara ini terletak di ujung Jalan Merdeka, yang mana jalan tersebut yang menjelma menjadi sebuah alun-alun kota (square) dan terminal angkot dengan 3 lane. Di tempat ini kami berjumpa kedai kopi yang tadi lagi, dan kali ini kami mencoba Kedai Kopi Pagi Sore yang katanya legendaris yang terletak persis di sebelah kedai kopi itu. Di sini kami memesan menu yang sama: Roti Prata dan Es Teh Tarik. Roti Pratanya gak seenak yang tadi, terlebih lagi rasa kuah karinya lebih mirip kuah gulai Padang daripada kari. Ngek! Doesn’t mean I hate Padangnese food, but we’ve come all this way from Jakarta to seek for the real flavor of Malay food. Meski begitu, es teh tariknya, woow… juara banget. Rasanya hampir mirip es teh tarik yang di Malaysia dan Singapore! Bisa dibilang kombinasi keduanya lah. Takarannya pas, buihnya tumpah-ruah, dan yang penting: ada rasa ITU-nya! Setelah puas, kami kembali menuju hotel untuk beristirahat.

terusan Jalan Pelantar 2


terusan Jalan Pelantar 2

 
town square

 
es teh tarik Kedai Kopi Pagi Sore

Menjelang petang, kami berjalan menuju Ocean Corner, di mana terdapat sebuah pedestrian plaza tepi laut dan sebuah monumen. Kalau malam tempat ini juga akan berubah menjadi sebuah hawker centre :D Di sepanjang jalan di tepi laut juga terdapat banyak gerobak yang menjual jajanan dan juga minuman dingin (es teh tarik, ice Milo, kopi) yang dilengkapi kursi-kursi yang disusun di pantai. Kami memutuskan untuk rehat sejenak di sini sambil menengadah menatap langit senja, selonjoran, dan minum segelas ice Milo. Oh ya, ice Milo-nya yummy banget deh! Dan ada rasa ITU-nya :p Latar pemandangan yang terhampar di hadapan kami adalah Pulau Penyengat. Masjid Putih Telur yang merupakan salah satu situs wisata bersejarah juga tampak jelas di pantai pulau itu. Ketika hari makin gelap, layar-layar tancap mulai dipasang agar orang dapat menonton acara TV sambil menyantap makanan ringan dan minum minuman yang menyegarkan.

Ocean Corner

Ice Milo

 
  
Pulau Penyengat


layar tancap


Setelah sekian lama beristirahat, kami meneruskan perjalanan menempuh jalan yang berlumpur menuju Monumen Fisabilillah yang di dasarnya terdapat pasar malam yang meriah dengan wahana permainan anak yang berwarna-warni. Tak jauh dari sini, kami juga berjumpa dengan hawker centre lainnya yang cukup termasyhur yang bernama Melayu Square. Kami memutuskan untuk mencicipi makanan-makanan di Melayu Square ini. Oh ya, begitu duduk di sini, jangan kaget bila semua vendor tiba-tiba berdatangan dan menyodorkan menu mereka masing-masing. Take your time, bersikap tenang saja, pilih-pilih dengan santai dan leluasa, kemudian putuskan mau pesan yang mana. Kami memesan seporsi laksa goreng, seporsi sotong bakar dengan nasi putih, seporsi roti prata kosong dengan kuah kari, dan tentunya es teh tarik lagi (gak bosen-bosen). Laksa gorengnya lumayan enak sih, dan mau makan seberapa banyak pun, tetap gak bikin eneg. Seandainya saja kita bener-bener lagi laper banget, pastinya nikmat banget deh makan itu. Sotong bakarnya… Gurih, enak, spicy, bumbunya menyerap sempurna, dan gak alot. Tapi gak selegit cumi tinta yang dimasak selama 3 jam juga sih. Roti prata kosongnya lumayan, cuma sayang kuahnya cenderung seperti gulai, bukan kuah kari. Tapi enak sih, gak seperti prata ‘nanggung’ yang di kedai kopi Pagi Sore tadi. Sepupu saya bahkan menyatakan bahwa sejauh ini, roti prata ini adalah yang paling disukainya. Dan es teh tariknya, wow! Yang ini lebih mirip Malaysia gitu deh.

pasar malam


Melayu Square

 
roti prata, laksa goreng, es teh tarik

 
sotong bakar

Setelah puas, kami naik angkot dari Melayu Square menuju Akau Potong Lembu, sebuah hawker centre paling termasyhur dan paling legendaris di Tanjung Pinang (bahkan di Kepulauan Riau mungkin). Naik angkot di sini gak perlu bingung. Tinggal tanya pengemudinya aja, lewat atau nggak. Seandainya nggak lewat pun, biasanya si bapak pengemudi akan mengiyakan dan akan sengaja menyimpang keluar dari trayek resmi untuk melewati tempat yang dimaksud, mengingat kawasan inti kota Tanjung Pinang ini memang tidak begitu luas. Jangan khawatir, karena tambangnya tetap Rp3000 per orang. Hanya perlu waktu 5 menit, dan kami tiba di mulut lorong yang diapit ruko yang merupakan jalan masuk menuju Akau Potong Lembu. Begitu kami tiba, wow… Hawker centre ini memang sangat ramai, authentic, meriah, semarak, riuh, spektakuler, dan berbagai kata lainnya yang dapat mendeskripsikan tempat ini. Bahkan menurut saya tempat ini jauh lebih meriah daripada hawker centre Jalan Alor di Kuala Lumpur ataupun Lau Pa Sat di Singapore. Meja-meja bundar lengkap dengan kursi-kursi plastik bertebaran di seluruh penjuru alun-alun yang diapit kompleks ruko-ruko tua yang authentic. Ratusan warga lokal memenuhi meja untuk makan besar ataupun ngemil sembari bercengkerama dengan bahagia bersama keluarga, kerabat, kawan, ataupun rekan mereka. Berpuluh-puluh food stall mengelilingi alun-alun ini, antara lain sate, lou mie, o luak, mie goreng, mie rebus, nasi ayam Hainam, aneka seafood, gonggong (siput laut khas Kepulauan Riau), minuman, dan bahkan dessert berupa pisang goreng keju susu yang yummy banget (setelah kami selidiki, ternyata karena menggunakan susu krimer kental manis impor bermerk Dairy Champ)! Sayangnya kami sudah kenyang, sehingga kami hanya dapat mencoba sebahagian kecil dari sekian banyak makanan yang tersedia di akau ini. Menurut referensi yang kami peroleh dari internet, gonggong terlezat di akau ini dijual oleh kakek-kakek tua bungkuk. Kami berkeliling untuk mencari kakek yang dimaksud dan ketika menemukan orang yang dimaksud, kami mengintai kakek itu sejenak. Sepupu saya yang sedari tadi memerhatikan seluruh pedagang di tempat yang luas itu bahkan meyakinkan saya, “Bang, kayaknya memang benar itu deh, karena cuma dia satu-satunya pedagang yang bungkuk. Dan dia jualan gonggong. Yang sebelah sana itu kakek-kakek juga tapi gak terlalu bungkuk dan dagangan utamanya gonggong.” Kami mencoba gonggong (isi 20 buah) dan pisang goreng keju susu yang sangat yummy tadi itu. Oh ya, gonggong itu baunya agak-agak amis air laut gitu deh (bayangkan bau air laut di dekat perkampungan nelayan), tapi begitu kami mencungkil dan mencoba isinya, ternyata rasanya lumayan juga, apalagi bila dicocol ke sausnya. Bagian yang paling enak itu yang bagian yang lunak dan slimy-nya (yang justru terlihat menjijikkan), sementara bagian yang kenyal di dekat kaki berduri dari zat kitin atau entah zat kapur itu, cenderung kenyal dan sulit digigit seperti halnya getah dan juga cenderung agak amis, seperti halnya cumi/sotong yang belum masak benar. Begitu disajikan, sedapat mungkin segera habiskan gonggong ini, karena kalau kelamaan akan berasa amis bila dimakan. Overall, kami tidak sampai tergolong doyan makanan ini (meski katanya banyak juga yang ketagihan mau coba makan lagi), tapi setidaknya kami telah menuntaskan salah satu dari beberapa objectives yang katanya wajib dilakukan di Tanjung Pinang: makan gonggong.

suasana hawker centre AKAU POTONG LEMBU yang semarak lagi authentic

Gonggong, siput laut khas KepRi

pisang goreng keju susu

Setelah puas menikmati suasana akau yang sesuatuk itu, kami naik ojek (tambang Rp5000 per ojek) yang mangkal di mulut lorong akau untuk kembali ke hotel tempat kami menginap. Agak-agak mengerikan sih, karena begitu kedua ojek yang kami tumpangi meluncur, kok sepupu saya dibawa melesat ke arah yang berlawanan gitu, memasuki kawasan gang yang gelap yang diapit-apit ruko, ngebut pula. Mana perempuan, sendirian lagi. Dan ketika saya nyampe di hotel, belum ada tanda bahwa sepupu saya akan tiba. Beberapa sepeda motor berlalu di jalan namun tak ada satu pun yang ditumpangi sepupu saya. Tapi untunglah akhirnya dia tiba setelah beberapa menit, kalo nggak kan, gila aja, gimana pertanggungjawabannya ini :P Gak lagi deh naik ojek malem-malem di Tanjung Pinang, daripada diculik. Mana ongkosnya cuma lima rebu lagi, bukankah tidak menutup kemungkinan si tukang ojeknya akan meminta ‘lebih’.