Rabu, 28 Agustus 2013

Perlancongan ke Sumatro Part 1 ~Bencoolen / Bangka Hulu / Bengkulu~

Setelah berbagai aktivitas browsing yang backstreet sejak satu bulan sebelumnya, kini tiba saatnya mewujudkan perjalanan solo traveling ke Pulau Sumatro. Kenapa ya di usia saya yang sudah tidak tergolong muda ini, masih aja harus bekstrit-bekstritan? Tanya kenapa. Hahaha... Perjalanan ini sebenarnya tidak bertujuan, jadi ya murni random saja. Meski begitu, ada satu objek yang boleh jadi merupakan highlight dari perjalanan ini, yaitu Danau Kaco yang ajaib yang terletak di Dataran Tinggi Kerinci, Provinsi Jambi.

Saya sudah melakukan berbagai persiapan untuk perjalanan, mulai dari browsing informasi objek-objek wisata dan kuliner, memesan penginapan dan travel antarkota, mengunduh peta, mencari teman / host via media sosial CouchSurfing, membeli peta, sampai membeli buku Lonely Planet yang mahalnya gak kira-kira. Saya bahkan sampai membeli kipas elektrik mainan agar tidak kepanasan dan sebuah tabung plastik bening untuk menyimpan larutan tembakau untuk mengatasi pacet. Nampak touristy dan amatir memang, tapi ya mau gimana. Salah satu alasan saya membeli Lonely Planet adalah karena ada beberapa informasi penting mengenai pedalaman Sumatro yang nampaknya hanya bisa diperoleh dari buku tersebut (di Google ada sih preview halaman bukunya, tapi pas lagi seru-seru baca, tiba-tiba halaman selanjutnya tak ditampilkan).

Pagi itu saya bangun pagi sekali. Kalau tidak salah pukul setengah 5 pagi. Hal penting pertama yang wajib saya lakukan selepas bangun adalah defekesyen, namun apa daya, segala upaya saya untuk defekesyen ternyata gagal total (aduh). Sementara itu, waktu terus berjalan sampai tiba saatnya saya mesti bertolak dari rumah. Orang tua yang saya bekstriti ternyata berbaik hati mengantar ke bandara. Tiba di bandara, saya langsung check in dan bergegas menuju ruang tunggu keberangkatan. Penerbangan saya dijadwalkan pukul 8 pagi, sehingga saya masih punya banyak waktu untuk defekesyen. Defekesyen terbilang cukup sukses, meski bisa jadi belum tuntas. Setelah itu saya melanjutkan duduk-duduk sambil menunggu boarding. Rasanya berdebar-debar deh, bahkan sampai pengen pulang. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, alangkah enaknya kalau pagi-pagi begini tidur-tiduran tanpa beban di kamar di rumah. Belum apa-apa udah homesick, hihihi. Mungkin itu salah satu sindrom solo traveling.

Pesawat mengalami keterlambatan ringan sehingga saya tiba di Bandara Fatmawati-Soekarno Bengkulu agak terlambat dari jadwal yang semestinya. Rupanya terlalu banyak berpikir "Aduh, nanti gimana ya, naik apa, dan mesti kemana" akan membuat panik dan memicu usus untuk berkontraksi sehingga membuat saya ingin defekesyen. Tapi akhirnya saya cukup berhasil menghilangkan pikiran buruk dan mencoba lebih menikmati perjalanan ini.





Gedung terminal bandara ini sangat kecil dan sederhana. Frekuensi jadwal penerbangannya pun rendah. Saya mematung sejenak di area pengambilan bagasi meski saya sama sekali tidak membawa bagasi. Saya mencoba mengikuti jejak orang lain yang bergelagat akan naik angkot namun rupanya semua penumpang dijemput. Sekedar untuk memastikan, saya bertanya pada polisi yang bertugas mengenai nama daerah tempat hotel saya terletak dan juga mengenai warna angkot yang mesti saya naiki. Ternyata hotel itu terletak di daerah Tanah Patah, sementara saya selama ini hanya tahu bahwa hotel tersebut terletak di Jalan Sutoyo. Sebelum berangkat ke Sumatro, saya memesan kamar di hotel tersebut (hotel X-Tra) yang tergolong BARU. Hotel itu saya pilih setelah browsing dan bertanya sana-sini. Rekomendasi hotel murah+bersih yang saya temukan di internet rata-rata hotel tua yang sudah sangat berumur dan berkaca jendela hitam, sehingga saya meragukan validitas rekomendasi tersebut. Pokoknya setelah pengalaman buruk di sebuah hotel yang roach-infested (yang gak murah juga) di Batam, saya menjadi sangat selektif dalam memilih penginapan.

Dari jalan raya di depan bandara, kita bisa naik angkot berwarna putih untuk mendekati pusat kota Bengkulu. Bahkan di dalam wilayah pagar bandara ada yang ngetem satu, jadi saya naik yang ngetem itu saja. Seorang bapak-bapak asal Jakarta yang nampak kebingungan dan tidak tahu apa-apa bahkan ikut-ikutan saya naik angkot tersebut. Angkot ini akan terminate di Terminal Panorama, dan dari situ saya harus melanjutkan dengan angkot berwarna hijau. Di dalam angkot, saya sempat mendengar pembicaraan warga lokal dalam bahasa Melayu Bengkulu yang khas. Bahasa Melayu yang dituturkan itu berakhiran 'o' dan sepertinya banyak menyerap kosakata bahasa Minang, namun tetap saja berbeda jauh dengan bahasa Minang. Pokoknya berasa kayak lagi di Malaysia deh. Oh ya, supir-supir angkot di sini ramah-ramah deh, dan sangat helpful. Enak buat ditanya-tanya. Begitu juga dengan warga setempat. Ngomongnya kadang mungkin agak sulit dimengerti, tapi umumnya penduduk Bengkulu yang saya jumpai terbukti ramah, jenaka, nyantai, tulus, sopan, jinak (eh?), dan tampak bahagia.

Menjelang tengahari, akhirnya saya sampai juga di hotel X-Tra. Ternyata kamarnya sudah available sehingga saya bisa langsung check-in tanpa harus menunggu sampai pukul 2 siang. Saya sempat meminta izin untuk menyurvei kamarnya terlebih dahulu sebelum memilih antara kamar economic dan kamar standard. Kamar standard bagus, bersih, minimalis, dilengkapi TV layar datar, full AC (maksudnya AC utuh), dan kamar mandinya pun di dalam dan simple; sementara kamar economic perabotnya agak usang, dilengkapi TV CRT kuno, ruangannya lebih kecil, dan kamar mandinya terletak di luar tepatnya di hujung koridor di lantai yang sama. AC-nya dong, bahkan dibagi dua dengan ruangan sebelah (sehingga ada lubang kecil di dinding). Sekarang baru deh saya paham kenapa di Indonesia ada istilah FULL AC. Ternyata kamar economic ini jumlahnya di hotel ini hanya 2 buah dan jumlah kamar mandi luar (yang khusus tamu) di hotel ini juga 2 buah, sehingga pastinya gak bakal rebutan. Lagipula kamar sebelah gak ada yang nempatin, hehe. Hal lainnya yang saya suka adalah, ruang shower dengan WC dipisah seperti halnya di hostel-hostel di luar negeri. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk menempati kamar economic dengan alasan budget. Lumayan lho, 2 malam hanya habis 240 ribu rupiah, dapet sarapan pula :D Sementara rate per malam untuk kamar standar adalah 180 ribu rupiah, berarti kalau 2 malam bakalan habis 360 ribu kan. Selain itu coba jalan-jalannya 2 orang; pasti bakal jauh lebih hemat berhubung satu kamar itu sebenarnya kapasitasnya untuk 2 orang.

Setelah naro barang dan istirahat sekejap, saya memustukan untuk mulai melanglang buana menjelajahi kota Bangka Hulu nan permai ini. Dari depan hotel saya tinggal naik angkot berwarna hijau dan bilang ke supir angkotnya mau ke Jalan Soeprapto, yang kabarnya merupakan kawasan jantung kota bandar ini. Tepat sebelum kawasan Soeprapto, tepatnya di sebuah persimpangan besar yang bernama Simpang Lima yang di tengah-tengahnya berdiri tugu pejuang berkuda, angkot hijau ini ternyata berbelok ke kanan, masuk ke kawasan pasar yang padat-padat authentic gitu, dan mengitari mall yang bernama Mega Mall Bengkulu. Tak lama kemudian, barulah angkot itu bermuara di Jalan Soeprapto. Di sini, saya memutuskan untuk turun lalu menjelajahi segalanya dengan berjalan kaki. Berhubung hari sudah siang, saya memutuskan untuk makan siang sejenak, lagipula kabarnya di dekat sini ada rumah makan mie Aceh yang mengasyikkan. Oh ya, dalam perjalanan menuju rumah makan mie Aceh ini, saya melewati Masjid Jami Bengkulu yang bersejarah yang letaknya berseberangan dengan hotel Samudera Dwinka yang merupakan salah satu hotel yang banyak direkomendasikan orang-orang (termasuk buku Lonely Planet) karena lokasinya strategis (untung aja saya gak percaya begitu saja dengan rekomendasi mereka, hotelnya sangat tua, creepy, dan jendelanya berwarna hitam gelap gitu. Hiiih).





Perut terasa semakin bergejolak mendekati rumah makan yang dituju. Namun alangkah sangat terperanjatnya saya begitu menyadari bahwa rumah makan yang dimaksud TUTUP... Sepertinya si pemilik rumah makan belum pulang mudik dari Aceh. Padahal jalannya lumayan jauh euy untuk ke situ, mana panas banget pula (langitnya biru cerah sih, hehe, dan sementara di Jakarta saya sering mengeluhkan keadaan langit yang keruh dan muram). Agar suasana tidak makin keruh, saya memutuskan kembali menyusuri Jalan Soeprapto dan mencari tempat makan khas lainnya yang tercantum dalam itinerary. Pilihan jatuh pada Saimen Resto & Bakery, yang ternyata sangat ramai dan penuh. Sukar ternyata untuk makan sendirian di tempat ini pada jam makan siang, karena semua meja dengan mudahnya terisi oleh pelanggan dan juga tidak ada orang yang bisa menjaga tempat sementara saya memesan makanan di counter. Selain itu di restoran ini tidak ada meja bar personal untuk mengakomodasi orang yang makan sendirian. Setelah sedikit jerih payah, akhirnya saya berhasil juga makan dan minum. Lumayanlah untuk mengisi perut, meski stok menu andalan mereka tidak tersedia.



Selesai urusan makan, saya lanjut berjalan kaki untuk menyusuri jalan yang berpangkal pada Simpang Lima yang terletak sangat dekat dengan restoran tadi. Ada 2 jalan yang sama-sama berpangkal di sisi selatan Simpang Lima. Menurut peta, jalan yang saya masuki itu harusnya bernama Jalan Fatmawati, namun ternyata nama sebenar dari jalan ini adalah Jalan Soekarno-Hatta (tertukar dengan nama jalan yang satu lagi). Di Jalan Soekarno-Hatta ini, saya mengunjungi rumah Soekarno, yang merupakan rumah bersejarah tempat Soekarno tinggal semasa masa pengasingannya di Bengkulu. Ada tiket masuk seharga entah 2500 atau 3000 rupiah (lupa). Ada beberapa turis lokal berbahasa Melayu yang juga mengunjungi objek wisata ini.







Setelah itu saya lanjut berfoto ke sebuah masjid besar nan megah yang terletak tidak jauh dari rumah Soekarno. Nama masjid itu adalah masjid At-Taqwa Bengkulu. Tapi ya seperti biasa, saya tidak mampir untuk solat :D Perjalanan kemudian saya lanjutkan ke objek berikutnya, yaitu Monumen Hamilton. Perjalanan menuju monumen ini melewati jalan 'pinggiran' yang cukup sepi dan memiliki trotoar yang bersih, rapi, dan teratur (pokoknya jauh lebih rapi daripada Jakarta deh). Informasi seputar tugu / monumen Hamilton yang beredar di Internet memang serba simpang siur. Ada yang bilang monumen Hamilton itu merupakan monumen yang besar yang terletak di city square / padang yang terletak di seberang rumah dinas Gubernur Bengkulu, dan ada juga yang bilang bahwa monumen Hamilton itu adalah tugu kecil yang saya kunjungi ini. Kesan yang dimiliki tugu kecil yang terletak di tengah-tengah persimpangan jalan-jalan 'pinggiran' ini adalah kusam, tak terawat, tak dipedulikan, dan pastinya sama sekali tidak terlihat seperti objek wisata.







Selepas itu saya melanjutkan perjalanan berjalan kaki menuju pemakaman Inggris. Dalam perjalanan, saya melihat perkampungan tradisional di lembah di sebelah kiri, dengan latar belakang Samudera Hindia di kejauhan. Beberapa rumah tradisional dengan arsitektur Melayu juga mendominasi tepian jalan ini. Tak lama kemudian saya pun tiba di pemakaman Inggris yang dituju. Pemakaman ini sepi namun antik dan cukup menarik, terutama gerbang depan dan rancangan pusara-pusara makam orang-orang Inggris yang tersebar di padang rumput yang nampak agak kurang terawat. Di sebelah padang makam ini juga terdapat sebuah gereja yang menguatkan suasana European yang gloomy. Padang makam ini dikelilingi oleh pemukiman (yang nampak tak resmi) warga yang dapat dengan bebas mengakses padang ini.






Setelah puas, saya melanjutkan menuju objek berikutnya yaitu rumah dinas Gubernur (rumah Raffles) dan juga padang / city square yang tadi, yang keduanya terletak berseberangan. Menurut Elmita, seorang anggota komunitas Couchsurfing Bengkulu, dulunya di padang / city square ini memang berdiri sebuah monumen menara Hamilton, namun kini monumen itu sudah dirobohkan dan diganti dengan menara tinggi modern yang berfungsi sebagai menara pemantau tsunami.