Senin, 02 Juni 2014

Kembara Kepulauan Riau Part 1: Tanjung Batu Kundur


Setelah merencanakan perjalanan selama sekitar sebulan untuk memanfaatkan libur kejepit di akhir Mei 2014, akhirnya saya berangkat jalan-jalan untuk menjelajahi Kepulauan Riau (lagi) pada tanggal 25 Mei 2014. Jalan-jalan kali ini saya anggap sebagai pelipur lara atas ditundanya rancangan jalan-jalan ke Kepulauan Anambas. Belajar mengikuti prinsip hidup orang-orang Jawa yang lengghowo (saking legowonya, jadi mesti pakai 'ng'), saya hanya bisa berkata pada diri sendiri, "Ya udhah... (suara bergetar dan memelas) Enggak apha aphaaa... Nanthi-nanthi laghi ajhaa... Mungkin ajhaa nanthi bhakhal adha kesempathan laghii..." Jalan-jalan kali ini bukan tergolong solo traveling juga sih, soalnya di hari keempat nanti saya akan menyusul teman saya yang ingin menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Singapura (kota ter-mainstream di Asia Tenggara).

Tanggal 25 pagi saya naik damri untuk ke bandara dan naik pesawat Lion Air tujuan Tanjung Pinang Bintan. Duh susunan duduk di ruang tunggu boarding di bandara Soekarno-Hatta benar-benar gak beraturan deh (bercelaru kalau kata orang Malaysia). Satu ruang tunggu dipakai untuk menampung penumpang dari 4 atau 5 penerbangan yang berbeda, dan pintu untuk naik pesawatnya pun gak jelas di mana. Saya coba nyari-nyari penumpang yang kira-kira satu tujuan dengan saya (nyari penumpang yang berbahasa Malay), tapi kalo diperhatikan, ternyata kesemua penerbangan itu rata-rata bertujuan ke tempat-tempat yang sama-sama berbahasa Malay, seperti Kuala Namu, Bengkulu, Tanjung Pinang, Jambi, Batam, Palembang, dan Pekanbaru. Mesti menunggu di manakah diriku? Akhirnya kebagian duduk di pojok, dan pas udah dekat-dekat masa boarding, saya siap-siap berdiri di antara 2 pintu masuk pesawat.

Oh ya, tujuan pertama saya adalah bandar Tanjung Batu Kundur. Saya menjadikan Tanjung Batu sebagai destinasi jalan-jalan karena kabarnya di kota ini ada akau atau pujasera (hawker center) yang suasananya mengasyikkan (meski sepertinya lebih kecil daripada Akau Potong Lembu di kota Tanjung Pinang) dan menjual berbagai jenis makanan. Selain itu jika melihat dari letak geografisnya, bahasa dan budaya suku Malay di tempat ini juga nampaknya masih kental dan terjaga. Lumayanlah, bisa mengobati rindu akan suasana dan makanan masa kecil.

Terinspirasi seorang rekan yang belum lama ini berwisata ke Aceh sembari belajar alat musik tiup tradisional Aceh (Serunee kalee), saya berpikir kenapa gak sekalian aja saya melakukan hal yang serupa dan mencoba belajar alat musik khas Malay di Kepulauan Riau ini. Kalau ditanya alat musik Malay apa yang paling iconic, pasti banyak orang akan menjawab akordeon (accordion). Jadi, beberapa pekan sebelum keberangkatan saya mencoba mencari informasi dan nomor kontak sanggar-sanggar yang ada di Kepulauan Riau dan menghubungi mereka untuk menyampaikan maksud saya. Ternyata perjuangannya susah. Banyak sanggar pada gak punya nomor kontak. Sebagian ada yang punya account media sosial, tapi update terakhirnya udah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun yang lalu. Satu atau dua buah sanggar bahkan bersikap apatis di media sosial, dalam artian message saya yang kalimatnya sudah dirangkai sedemikian rupa agar padat, jelas, singkat, dan sopan itu cuma di-read doang dan gak dibales sama sekali. Jangankan itu, orang yang punya hubungan dengan sanggar itu pun, ketika saya coba hubungi untuk menanyakan nomor kontak sanggar, hanya diam membisu. Heu... Kalau emang iya, bilang iya, dan kalau gak mau atau ga memungkinkan, bilang aja 'maaf gak bisa', gitu kek. Kan lebih enak. Hahaha. Dan pada akhirnya, saya berhasil membuat janji dengan dua buah sanggar di kota Tanjung Batu, yaitu Sanggar Selasih dan Sanggar Tuah Gemilang. Namun apa daya, beberapa hari sebelum saya berangkat, pihak Sanggar Tuah Gemilang tiba-tiba memohon maaf dan mengabarkan bahwa pihaknya tidak dapat membantu saya karena orang-orangnya ada urusan ke luar kota. Jadi, Sanggar Selasih-lah yang akan saya sambangi di kota Tanjung Batu.

Kembali ke perjalanan saya, akhirnya pesawat saya mendarat di Lapangan Terbang Raja Haji Fisabilillah pukul 10.10, lima belas menit lebih lambat daripada masa yang dijadwalkan. Saya bermaksud untuk berlari ke gedung terminal dan menangkap taksi secepat mungkin untuk menuju pusat bandar Tanjung Pinang untuk mengejar ferry yang menuju Tanjung Batu Kundur (menurut informasi, ferry tersebut berangkat pukul 12.00), namun ternyata gedung terminalnya sudah beralih ke gedung terminal baru yang lebih jauh, dan untuk menuju terminal baru tersebut, para penumpang dijemput beberapa bus. Sedikit buang waktu sih, dan alur pergerakan kedatangan penumpang di dalam gedung terminal baru itu agak lebih musykil dan rumit.




Singkat cerita, saya berhasil tiba di kota Tanjung Pinang, tepatnya di pintu masuk Pelabuhan Sri Bintan Pura (tarif taksi 90ribu, dan gak saya tawar lagi). Seperti biasa, loket penjualan tiket di pelabuhan ramai dengan para penjual yang menawarkan tiket ferry operator mereka dengan lantang. Saya berhasil menemukan loket ferry tujuan Tanjung Batu (Istiqomah Jaya) di pojok sebelah kiri, dan orang loket tersebut berkata, "Ini langsung berangkat. Sekarang. Jam 11" Dan ternyata sekarang udah jam 11! Setelah membayar ongkos tiket sebesar 172 ribu rupiah (aduh, mahal) dan membayar pajak pelabuhan sebesar 5 ribu rupiah, saya berlari menyusuri dermaga (yang panjang). Sampai di ruang tunggu, saya disuruh mendaftar (check-in), kemudian disuruh menunggu, karena ternyata ferrynya masih mengisi bahan bakar. Kyaaaaa... Tau gitu tadi mendingan jalan-jalan dulu sambil kulineran roti prata, nasi ayam Hainan, teh tarik, dan bungkus nasi Padang di luar kan... Tapi untung saya bawa roti di dalam tas.

Selagi menunggu, saya duduk dan mencuri dengar percakapan orang-orang di pelabuhan ini. Sependengaran saya, orang-orang di sini berbicara bahasa Malay dengan aksen/logat yang berbeda-beda. Sebagian orang, terutama wanita, berbicara dengan aksen dan intonasi yang Malay sekali (misalnya: "E~h, ta' boleh tu~..."), namun banyak juga orang (terutama laki-laki) yang berbicara dengan aksen yang tidak terlalu mirip Malay (misalnya: "Akku ni lah balle~k, Bang!"), yang sependengaran saya mirip dengan aksen dan intonasi bahasa Padang, Batak, dan bahkan Madura. Bahkan tak sedikit juga yang berbicara bahasa Malay dengan aksen Jawa yang medok. Hm... Pendatang rules (*sigh)




Setelah 1 jam menunggu, boat pun datang. Penumpangnya gak terlalu banyak sih, dan hampir semua penumpang berbicara dalam bahasa Malay yang cepat dan sukar dipahami, terutama serombongan anak muda (sepertinya siswa-siswi SMA) yang mengenakan seragam bertuliskan 'Karimun'. Tak lama setelah barang-barang dimuat dan semua penumpang naik, boat pun berangkat. Dalam perjalanan, boat melewati selat-selat sempit, dan sesekali merapat dan mengangkut penumpang dari perkampungan di Pulau Galang dan Moro. Hujan lebat sempat mengguyur lautan kala itu (aduh, gimana nasib tas koper saya yang diletakkan di atas kapal?)



Suasana di dalam ferry. Amat bersih

Gambaran betapa lajunya ferry itu

Siluet jembatan pulau Galang

Perkampungan Moro, persinggahan terakhir sebelum menuju Tanjung Batu

Nampaknya boat ini melaju dengan kelajuan cukup tinggi, karena tak terasa boat akhirnya memasuki selat sempit tempat kota Tanjung Batu berada. Total waktu tempuh perjalanan ini hanya sekitar 2 jam dan 30 menit, termasuk waktu yang cukup singkat untuk menempuh jarak yang cukup jauh. Saya langsung turun dari boat, mengambil barang, keluar dari area pelabuhan, dan sambil mengabaikan tawaran para tukang ojek, berjalan cepat menuju Hotel Prima yang telah saya tempah sebelumnya. Ojek sini gak yang nguber-nguber banget seperti di Bekasi sih. Jalan lalu aja tanpa menghiraukan mereka dan mereka biasanya langsung menyerah. Saya sempat terkagum sejenak dengan suasana kota ini. Ruko-ruko tua yang sesekali diselingi bangunan-bangunan baru yang cukup tinggi saling bertumpang tindih memenuhi pusat bandar. Jalan-jalan sempit yang cukup rapi dan bersih membelah deretan ruko dan bangunan-bangunan lainnya. Terdapat persimpangan dan pertemuan jalan setiap beberapa meter. Kedai-kedai kopi ala negara tetangga, toko, dan pasar menghiasi tepi jalan dan sudut-sudut pekan. Pokoknya suasananya otentik deh, berasa lagi di kota-kota di Malaysia jaman dulu.



Ternyata jarak antara pelabuhan dengan hotel itu luar biasa dekat. Dalam waktu 2 menit saja, saya sudah tiba di depan Hotel Prima. Dan sebagai gambaran, jarak tadi bisa dianggap sebagai lebar kota ini, dan panjang kota ini adalah 2 atau 3 kali lebarnya. Dan menurut rancangan, saya bakal menghabiskan 2 malam di bandar ini :D

Saya segera check-in dan masuk ke kamar. Aduh, interior hotel ini nampak sudah tua. Kamar dan kamar mandinya berasa kayak kantor PNS di akhir abad ke-20. Meski begitu, menurut buku daring (e-Book) panduan wisata yang cuplikannya saya temukan di Internet, hotel ini adalah yang paling baru dibandingkan hotel-hotel lainnya di bandar ini (sebab itulah saya pilih hotel ini).


medan lapang di depan Hotel Prima (paling kanan) dan Hotel Pelangi yang terletak bersebelahan

suasana kamar hotel

Sembari meletakkan barang, saya mengirim sms kepada orang sanggar dan menanyakan kira-kira bila saya dapat berkunjung ke sanggarnya. Rupanya karena besok mereka ada job, janji temunya yang semestinya besok dimajukan jadi malam ini juga, sekitar pukul tujuh setengah (19.30). Fine. Oh ya di sini istilahnya mirip negara tetangganya kalau nyebut waktu jam. Bisa tujuh setengah, tapi bisa juga setengah delapan.

Setelah puas meletakkan barang, berkemas, defekesyen, dan rehat sejenak, saya memutuskan untuk keluar hotel dan melihat-lihat keadaan di bandar ini. Kota ini sangat sepi, mungkin juga karena hari itu hari Minggu. Saya sebenarnya menyukai suasana yang tidak ramai karena cenderung jauh dari tekanan. Meski begitu, sepi yang dimaksud di sini adalah, jalanan yang lengang, hampir tidak ada orang, dan selang beberapa meter sekali ada saja orang yang mangkal, duduk-duduk ngerumpi entah sendiri, berdua, bertiga, atau berempat. Selain itu, di tiap tikungan dan persimpangan jalan, gerombolan tukang ojek selalu menunggu mangsa. Nah, bisa dibayangkan bagaimana situasinya apabila saya berjalan sendirian di jalanan yang sepi penduduk itu (apalagi turis, gak ada), sambil memikul tas kecil, membawa kamera dan telepon bimbit yang dipasangi tongsis. Sudah jelas tawaran para tukang ojek akan diarahkan ke saya. Beberapa orang yang mangkal sambil ngerumpi juga mengalihkan perhatiannya sejenak dari perbicaraan, dan kepo melihat hal yang saya lakukan (padahal ga ngapa-ngapain, cuma motret sesekali doang). Kalau kita melewatkan suatu objek dan bermaksud kembali lagi untuk mengambil foto atau mungkin membeli sesuatu, berhubung kotanya kecil, pasti akan berpapasan dengan tukang ojek atau gerombolan rumpi yang tadi lagi. Hiih... Aduh, gimana kalo nekat manjangin tongsis ya? Bisa-bisa disangka orang sakit zyiwwa'. Hahaha.

Oh ya, berhubung hari Minggu, toko-toko pada tutup. Heu... Tambah canggunglah suasananya. Dari kegiatan eksplor yang singkat ini, saya menemukan beberapa kelenteng / wihara yang cukup menarik, masjid, gereja, deretan toko, bangunan bekas bioskop, pelabuhan bongkar-muat, akau/pujasera/pusat penjaja, pasar buah, rumah-rumah makan, dan kedai-kedai kopi.


bangunan bekas bioskop










Vihara Dharma Shanti

Vihara Sasana Kirti

Gereja Protestan

akau tepi laut yang banyak menjual seafood

Usai menjelajah, saya baru ingat bahwa saya belum makan siang. Berhubung warung-warung makan dan kedai kopi semuanya terlihat sangat sepi seolah-olah tutup, saya memutuskan untuk kembali ke kedai kopi yang terletak dekat pelabuhan ferry tadi, yang seingat saya lumayan ramai. Kedai kopi itu bernama Kedai Kopi Lipo. Di situ ternyata makanannya hanya tinggal mie goreng dan mie rebus saja. Lontong, roti prata, gado-gado, dan makanan berat lainnya sudah habis karena memang biasanya hanya tersedia di pagi hari. Saya pun memesan mie goreng dan es teh tarik. Rasa mie gorengnya seperti mie goreng Jawa gitu sih, tapi ada persamaan rasa dengan mie goreng Mamak. Sementara es teh tariknya meskipun beda dengan es teh tarik Singapura ataupun Malaysia, rasanya lumayan oke seperti halnya kebanyakan es teh tarik Kepulauan Riau yang menggunakan teh Prendjak. Setelah saya tanyakan ke pemilik kedai kopi, ternyata es teh tarik ini menggunakan krimer kental manis bermerk Doreen (yang setelah diselidiki ternyata satu holding dengan krimer kental manis Dairy Champ).


suasana kedai kopi Lipo yang mengingatkan akan kedai-kedai kopi di negara tetangga

mie goreng

es teh tarik

Saya duduk-duduk selama beberapa lama di kedai kopi ini sambil menunggu senja. Beberapa laki-laki paruh baya pada duduk-duduk di kedai kopi ini. Ada yang duduk semeja seorang diri, ada yang bertiga, dan ada yang berempat. Secara keseluruhan kedai kopi ini masih belum tergolong penuh sih. Sebagian besar dari mereka terbius dan tak memalingkan mata dari film atau entah drama seri hitam-putih lama asal Malaysia yang rupanya memiliki saluran tersendiri dan ditayangkan di layar televisi. Rupanya P Ramlee menjadi primadona sejuta umat di sini. Entah di rumah-rumah warga, di kedai kopi, sampai di dalam ferry, sepertinya semua orang menyayangi hiburan tersebut dan menjadikannya bagian penting dalam hidup mereka. Setelah saya tonton sebentar emang lumayan kocak sih, dan kesannya memang kayaknya udah modern banget kehidupan sosial dan latar dalam film itu, ya setidaknya untuk ukuran masa itu. Bahasa Melayu yang digunakan dalam film itu juga agak formal dan mudah dimengerti susunan kalimat dan aksennya, mengingatkan akan bahasa Indonesia yang digunakan dalam film-film layar perak Indonesia zaman dulu. Mungkin memang seperti itulah bahasa Melayu standar yang murni.

Setelah beberapa lama, saya teringat akan satu tempat lagi yang belum sempat saya jelajahi, yaitu kelenteng di tepian kota yang menjulang tinggi yang sempat terlihat dari laut saat boat saya merapat di pelabuhan tadi. Setelah membayar makanan dan minuman, saya kembali melangkahkan kaki dan menuju kelenteng tadi. Jalan masuk kelenteng ini agak membingungkan, berhubung kelenteng ini menjulang tinggi di atas bukit dan terisolasi oleh berbagai bangunan dan ruko yang rapat-rapat dan padat. Meski begitu, setelah meneruskan berjalan dan memutar (melewati sebuah pujasera bertuliskan 'Pujasera Hocky'), akhirnya saya berhasil menemukan jalan masuknya yang menanjak dan berhadapan dengan laut. Mungkin inilah tempat terbaik di Tanjung Batu untuk menikmati terpaan angin laut di kala senja sambil menikmati pemandangan kota dari ketinggian.
















Setelah puas, saya kembali ke hotel untuk rehat sekali lagi, sambil menunggu peniaga-peniaga akau yang terletak tepat di depan hotel itu berbenah agar suasananya makin seru dan mengasyikkan. Kira-kira pukul 6.30 petang setelah magrib, saya keluar dari hotel dan langsung berburu cemilan petang, ya :D

Hanya selangkah ngesot dari hotel, saya langsung tiba di akau ini. Suasana akau ini mirip akau Potong Lembu di Tanjung Pinang, hanya saja ukurannya lebih kecil dan suasananya tidak semeriah yang di Tanjung Pinang. Meski begitu, keunggulan akau ini adalah menjual kue Apam Balik yang sangat nostalgik dan Nasi Ayam Hainan (yang halal)! Hahaha... Sebagai gambaran, apam balik itu mirip martabak manis Bangka, hanya saja lebih kecil dan agak tipis dibanding martabak Bangka yang tebal-tebal itu. Isiannya kue apam balik yang paling default adalah kacang-gula atau kacang campur gula dan jagung. Meski begitu, stall ini juga menjual apam balik dengan aneka isian, seperti meses, kacang, dan keju. Selain kedua pedagang makanan tadi, di akau ini juga terdapat pedagang roti prata, sate biasa, sate Padang, bakso, mie so, soto, ayam crispy, masakan sayuran, dan beberapa makanan biasa yang banyak terdapat di Pulau Jawa. Untuk minuman, di sini tersedia beberapa stall khusus yang menjual aneka minuman ringan, teh tarik, teh telur, dan kopi.

Rabu, 28 Agustus 2013

Perlancongan ke Sumatro Part 1 ~Bencoolen / Bangka Hulu / Bengkulu~

Setelah berbagai aktivitas browsing yang backstreet sejak satu bulan sebelumnya, kini tiba saatnya mewujudkan perjalanan solo traveling ke Pulau Sumatro. Kenapa ya di usia saya yang sudah tidak tergolong muda ini, masih aja harus bekstrit-bekstritan? Tanya kenapa. Hahaha... Perjalanan ini sebenarnya tidak bertujuan, jadi ya murni random saja. Meski begitu, ada satu objek yang boleh jadi merupakan highlight dari perjalanan ini, yaitu Danau Kaco yang ajaib yang terletak di Dataran Tinggi Kerinci, Provinsi Jambi.

Saya sudah melakukan berbagai persiapan untuk perjalanan, mulai dari browsing informasi objek-objek wisata dan kuliner, memesan penginapan dan travel antarkota, mengunduh peta, mencari teman / host via media sosial CouchSurfing, membeli peta, sampai membeli buku Lonely Planet yang mahalnya gak kira-kira. Saya bahkan sampai membeli kipas elektrik mainan agar tidak kepanasan dan sebuah tabung plastik bening untuk menyimpan larutan tembakau untuk mengatasi pacet. Nampak touristy dan amatir memang, tapi ya mau gimana. Salah satu alasan saya membeli Lonely Planet adalah karena ada beberapa informasi penting mengenai pedalaman Sumatro yang nampaknya hanya bisa diperoleh dari buku tersebut (di Google ada sih preview halaman bukunya, tapi pas lagi seru-seru baca, tiba-tiba halaman selanjutnya tak ditampilkan).

Pagi itu saya bangun pagi sekali. Kalau tidak salah pukul setengah 5 pagi. Hal penting pertama yang wajib saya lakukan selepas bangun adalah defekesyen, namun apa daya, segala upaya saya untuk defekesyen ternyata gagal total (aduh). Sementara itu, waktu terus berjalan sampai tiba saatnya saya mesti bertolak dari rumah. Orang tua yang saya bekstriti ternyata berbaik hati mengantar ke bandara. Tiba di bandara, saya langsung check in dan bergegas menuju ruang tunggu keberangkatan. Penerbangan saya dijadwalkan pukul 8 pagi, sehingga saya masih punya banyak waktu untuk defekesyen. Defekesyen terbilang cukup sukses, meski bisa jadi belum tuntas. Setelah itu saya melanjutkan duduk-duduk sambil menunggu boarding. Rasanya berdebar-debar deh, bahkan sampai pengen pulang. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, alangkah enaknya kalau pagi-pagi begini tidur-tiduran tanpa beban di kamar di rumah. Belum apa-apa udah homesick, hihihi. Mungkin itu salah satu sindrom solo traveling.

Pesawat mengalami keterlambatan ringan sehingga saya tiba di Bandara Fatmawati-Soekarno Bengkulu agak terlambat dari jadwal yang semestinya. Rupanya terlalu banyak berpikir "Aduh, nanti gimana ya, naik apa, dan mesti kemana" akan membuat panik dan memicu usus untuk berkontraksi sehingga membuat saya ingin defekesyen. Tapi akhirnya saya cukup berhasil menghilangkan pikiran buruk dan mencoba lebih menikmati perjalanan ini.





Gedung terminal bandara ini sangat kecil dan sederhana. Frekuensi jadwal penerbangannya pun rendah. Saya mematung sejenak di area pengambilan bagasi meski saya sama sekali tidak membawa bagasi. Saya mencoba mengikuti jejak orang lain yang bergelagat akan naik angkot namun rupanya semua penumpang dijemput. Sekedar untuk memastikan, saya bertanya pada polisi yang bertugas mengenai nama daerah tempat hotel saya terletak dan juga mengenai warna angkot yang mesti saya naiki. Ternyata hotel itu terletak di daerah Tanah Patah, sementara saya selama ini hanya tahu bahwa hotel tersebut terletak di Jalan Sutoyo. Sebelum berangkat ke Sumatro, saya memesan kamar di hotel tersebut (hotel X-Tra) yang tergolong BARU. Hotel itu saya pilih setelah browsing dan bertanya sana-sini. Rekomendasi hotel murah+bersih yang saya temukan di internet rata-rata hotel tua yang sudah sangat berumur dan berkaca jendela hitam, sehingga saya meragukan validitas rekomendasi tersebut. Pokoknya setelah pengalaman buruk di sebuah hotel yang roach-infested (yang gak murah juga) di Batam, saya menjadi sangat selektif dalam memilih penginapan.

Dari jalan raya di depan bandara, kita bisa naik angkot berwarna putih untuk mendekati pusat kota Bengkulu. Bahkan di dalam wilayah pagar bandara ada yang ngetem satu, jadi saya naik yang ngetem itu saja. Seorang bapak-bapak asal Jakarta yang nampak kebingungan dan tidak tahu apa-apa bahkan ikut-ikutan saya naik angkot tersebut. Angkot ini akan terminate di Terminal Panorama, dan dari situ saya harus melanjutkan dengan angkot berwarna hijau. Di dalam angkot, saya sempat mendengar pembicaraan warga lokal dalam bahasa Melayu Bengkulu yang khas. Bahasa Melayu yang dituturkan itu berakhiran 'o' dan sepertinya banyak menyerap kosakata bahasa Minang, namun tetap saja berbeda jauh dengan bahasa Minang. Pokoknya berasa kayak lagi di Malaysia deh. Oh ya, supir-supir angkot di sini ramah-ramah deh, dan sangat helpful. Enak buat ditanya-tanya. Begitu juga dengan warga setempat. Ngomongnya kadang mungkin agak sulit dimengerti, tapi umumnya penduduk Bengkulu yang saya jumpai terbukti ramah, jenaka, nyantai, tulus, sopan, jinak (eh?), dan tampak bahagia.

Menjelang tengahari, akhirnya saya sampai juga di hotel X-Tra. Ternyata kamarnya sudah available sehingga saya bisa langsung check-in tanpa harus menunggu sampai pukul 2 siang. Saya sempat meminta izin untuk menyurvei kamarnya terlebih dahulu sebelum memilih antara kamar economic dan kamar standard. Kamar standard bagus, bersih, minimalis, dilengkapi TV layar datar, full AC (maksudnya AC utuh), dan kamar mandinya pun di dalam dan simple; sementara kamar economic perabotnya agak usang, dilengkapi TV CRT kuno, ruangannya lebih kecil, dan kamar mandinya terletak di luar tepatnya di hujung koridor di lantai yang sama. AC-nya dong, bahkan dibagi dua dengan ruangan sebelah (sehingga ada lubang kecil di dinding). Sekarang baru deh saya paham kenapa di Indonesia ada istilah FULL AC. Ternyata kamar economic ini jumlahnya di hotel ini hanya 2 buah dan jumlah kamar mandi luar (yang khusus tamu) di hotel ini juga 2 buah, sehingga pastinya gak bakal rebutan. Lagipula kamar sebelah gak ada yang nempatin, hehe. Hal lainnya yang saya suka adalah, ruang shower dengan WC dipisah seperti halnya di hostel-hostel di luar negeri. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk menempati kamar economic dengan alasan budget. Lumayan lho, 2 malam hanya habis 240 ribu rupiah, dapet sarapan pula :D Sementara rate per malam untuk kamar standar adalah 180 ribu rupiah, berarti kalau 2 malam bakalan habis 360 ribu kan. Selain itu coba jalan-jalannya 2 orang; pasti bakal jauh lebih hemat berhubung satu kamar itu sebenarnya kapasitasnya untuk 2 orang.

Setelah naro barang dan istirahat sekejap, saya memustukan untuk mulai melanglang buana menjelajahi kota Bangka Hulu nan permai ini. Dari depan hotel saya tinggal naik angkot berwarna hijau dan bilang ke supir angkotnya mau ke Jalan Soeprapto, yang kabarnya merupakan kawasan jantung kota bandar ini. Tepat sebelum kawasan Soeprapto, tepatnya di sebuah persimpangan besar yang bernama Simpang Lima yang di tengah-tengahnya berdiri tugu pejuang berkuda, angkot hijau ini ternyata berbelok ke kanan, masuk ke kawasan pasar yang padat-padat authentic gitu, dan mengitari mall yang bernama Mega Mall Bengkulu. Tak lama kemudian, barulah angkot itu bermuara di Jalan Soeprapto. Di sini, saya memutuskan untuk turun lalu menjelajahi segalanya dengan berjalan kaki. Berhubung hari sudah siang, saya memutuskan untuk makan siang sejenak, lagipula kabarnya di dekat sini ada rumah makan mie Aceh yang mengasyikkan. Oh ya, dalam perjalanan menuju rumah makan mie Aceh ini, saya melewati Masjid Jami Bengkulu yang bersejarah yang letaknya berseberangan dengan hotel Samudera Dwinka yang merupakan salah satu hotel yang banyak direkomendasikan orang-orang (termasuk buku Lonely Planet) karena lokasinya strategis (untung aja saya gak percaya begitu saja dengan rekomendasi mereka, hotelnya sangat tua, creepy, dan jendelanya berwarna hitam gelap gitu. Hiiih).





Perut terasa semakin bergejolak mendekati rumah makan yang dituju. Namun alangkah sangat terperanjatnya saya begitu menyadari bahwa rumah makan yang dimaksud TUTUP... Sepertinya si pemilik rumah makan belum pulang mudik dari Aceh. Padahal jalannya lumayan jauh euy untuk ke situ, mana panas banget pula (langitnya biru cerah sih, hehe, dan sementara di Jakarta saya sering mengeluhkan keadaan langit yang keruh dan muram). Agar suasana tidak makin keruh, saya memutuskan kembali menyusuri Jalan Soeprapto dan mencari tempat makan khas lainnya yang tercantum dalam itinerary. Pilihan jatuh pada Saimen Resto & Bakery, yang ternyata sangat ramai dan penuh. Sukar ternyata untuk makan sendirian di tempat ini pada jam makan siang, karena semua meja dengan mudahnya terisi oleh pelanggan dan juga tidak ada orang yang bisa menjaga tempat sementara saya memesan makanan di counter. Selain itu di restoran ini tidak ada meja bar personal untuk mengakomodasi orang yang makan sendirian. Setelah sedikit jerih payah, akhirnya saya berhasil juga makan dan minum. Lumayanlah untuk mengisi perut, meski stok menu andalan mereka tidak tersedia.



Selesai urusan makan, saya lanjut berjalan kaki untuk menyusuri jalan yang berpangkal pada Simpang Lima yang terletak sangat dekat dengan restoran tadi. Ada 2 jalan yang sama-sama berpangkal di sisi selatan Simpang Lima. Menurut peta, jalan yang saya masuki itu harusnya bernama Jalan Fatmawati, namun ternyata nama sebenar dari jalan ini adalah Jalan Soekarno-Hatta (tertukar dengan nama jalan yang satu lagi). Di Jalan Soekarno-Hatta ini, saya mengunjungi rumah Soekarno, yang merupakan rumah bersejarah tempat Soekarno tinggal semasa masa pengasingannya di Bengkulu. Ada tiket masuk seharga entah 2500 atau 3000 rupiah (lupa). Ada beberapa turis lokal berbahasa Melayu yang juga mengunjungi objek wisata ini.







Setelah itu saya lanjut berfoto ke sebuah masjid besar nan megah yang terletak tidak jauh dari rumah Soekarno. Nama masjid itu adalah masjid At-Taqwa Bengkulu. Tapi ya seperti biasa, saya tidak mampir untuk solat :D Perjalanan kemudian saya lanjutkan ke objek berikutnya, yaitu Monumen Hamilton. Perjalanan menuju monumen ini melewati jalan 'pinggiran' yang cukup sepi dan memiliki trotoar yang bersih, rapi, dan teratur (pokoknya jauh lebih rapi daripada Jakarta deh). Informasi seputar tugu / monumen Hamilton yang beredar di Internet memang serba simpang siur. Ada yang bilang monumen Hamilton itu merupakan monumen yang besar yang terletak di city square / padang yang terletak di seberang rumah dinas Gubernur Bengkulu, dan ada juga yang bilang bahwa monumen Hamilton itu adalah tugu kecil yang saya kunjungi ini. Kesan yang dimiliki tugu kecil yang terletak di tengah-tengah persimpangan jalan-jalan 'pinggiran' ini adalah kusam, tak terawat, tak dipedulikan, dan pastinya sama sekali tidak terlihat seperti objek wisata.







Selepas itu saya melanjutkan perjalanan berjalan kaki menuju pemakaman Inggris. Dalam perjalanan, saya melihat perkampungan tradisional di lembah di sebelah kiri, dengan latar belakang Samudera Hindia di kejauhan. Beberapa rumah tradisional dengan arsitektur Melayu juga mendominasi tepian jalan ini. Tak lama kemudian saya pun tiba di pemakaman Inggris yang dituju. Pemakaman ini sepi namun antik dan cukup menarik, terutama gerbang depan dan rancangan pusara-pusara makam orang-orang Inggris yang tersebar di padang rumput yang nampak agak kurang terawat. Di sebelah padang makam ini juga terdapat sebuah gereja yang menguatkan suasana European yang gloomy. Padang makam ini dikelilingi oleh pemukiman (yang nampak tak resmi) warga yang dapat dengan bebas mengakses padang ini.






Setelah puas, saya melanjutkan menuju objek berikutnya yaitu rumah dinas Gubernur (rumah Raffles) dan juga padang / city square yang tadi, yang keduanya terletak berseberangan. Menurut Elmita, seorang anggota komunitas Couchsurfing Bengkulu, dulunya di padang / city square ini memang berdiri sebuah monumen menara Hamilton, namun kini monumen itu sudah dirobohkan dan diganti dengan menara tinggi modern yang berfungsi sebagai menara pemantau tsunami.