Senin, 02 Juni 2014

Kembara Kepulauan Riau Part 1: Tanjung Batu Kundur


Setelah merencanakan perjalanan selama sekitar sebulan untuk memanfaatkan libur kejepit di akhir Mei 2014, akhirnya saya berangkat jalan-jalan untuk menjelajahi Kepulauan Riau (lagi) pada tanggal 25 Mei 2014. Jalan-jalan kali ini saya anggap sebagai pelipur lara atas ditundanya rancangan jalan-jalan ke Kepulauan Anambas. Belajar mengikuti prinsip hidup orang-orang Jawa yang lengghowo (saking legowonya, jadi mesti pakai 'ng'), saya hanya bisa berkata pada diri sendiri, "Ya udhah... (suara bergetar dan memelas) Enggak apha aphaaa... Nanthi-nanthi laghi ajhaa... Mungkin ajhaa nanthi bhakhal adha kesempathan laghii..." Jalan-jalan kali ini bukan tergolong solo traveling juga sih, soalnya di hari keempat nanti saya akan menyusul teman saya yang ingin menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Singapura (kota ter-mainstream di Asia Tenggara).

Tanggal 25 pagi saya naik damri untuk ke bandara dan naik pesawat Lion Air tujuan Tanjung Pinang Bintan. Duh susunan duduk di ruang tunggu boarding di bandara Soekarno-Hatta benar-benar gak beraturan deh (bercelaru kalau kata orang Malaysia). Satu ruang tunggu dipakai untuk menampung penumpang dari 4 atau 5 penerbangan yang berbeda, dan pintu untuk naik pesawatnya pun gak jelas di mana. Saya coba nyari-nyari penumpang yang kira-kira satu tujuan dengan saya (nyari penumpang yang berbahasa Malay), tapi kalo diperhatikan, ternyata kesemua penerbangan itu rata-rata bertujuan ke tempat-tempat yang sama-sama berbahasa Malay, seperti Kuala Namu, Bengkulu, Tanjung Pinang, Jambi, Batam, Palembang, dan Pekanbaru. Mesti menunggu di manakah diriku? Akhirnya kebagian duduk di pojok, dan pas udah dekat-dekat masa boarding, saya siap-siap berdiri di antara 2 pintu masuk pesawat.

Oh ya, tujuan pertama saya adalah bandar Tanjung Batu Kundur. Saya menjadikan Tanjung Batu sebagai destinasi jalan-jalan karena kabarnya di kota ini ada akau atau pujasera (hawker center) yang suasananya mengasyikkan (meski sepertinya lebih kecil daripada Akau Potong Lembu di kota Tanjung Pinang) dan menjual berbagai jenis makanan. Selain itu jika melihat dari letak geografisnya, bahasa dan budaya suku Malay di tempat ini juga nampaknya masih kental dan terjaga. Lumayanlah, bisa mengobati rindu akan suasana dan makanan masa kecil.

Terinspirasi seorang rekan yang belum lama ini berwisata ke Aceh sembari belajar alat musik tiup tradisional Aceh (Serunee kalee), saya berpikir kenapa gak sekalian aja saya melakukan hal yang serupa dan mencoba belajar alat musik khas Malay di Kepulauan Riau ini. Kalau ditanya alat musik Malay apa yang paling iconic, pasti banyak orang akan menjawab akordeon (accordion). Jadi, beberapa pekan sebelum keberangkatan saya mencoba mencari informasi dan nomor kontak sanggar-sanggar yang ada di Kepulauan Riau dan menghubungi mereka untuk menyampaikan maksud saya. Ternyata perjuangannya susah. Banyak sanggar pada gak punya nomor kontak. Sebagian ada yang punya account media sosial, tapi update terakhirnya udah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun yang lalu. Satu atau dua buah sanggar bahkan bersikap apatis di media sosial, dalam artian message saya yang kalimatnya sudah dirangkai sedemikian rupa agar padat, jelas, singkat, dan sopan itu cuma di-read doang dan gak dibales sama sekali. Jangankan itu, orang yang punya hubungan dengan sanggar itu pun, ketika saya coba hubungi untuk menanyakan nomor kontak sanggar, hanya diam membisu. Heu... Kalau emang iya, bilang iya, dan kalau gak mau atau ga memungkinkan, bilang aja 'maaf gak bisa', gitu kek. Kan lebih enak. Hahaha. Dan pada akhirnya, saya berhasil membuat janji dengan dua buah sanggar di kota Tanjung Batu, yaitu Sanggar Selasih dan Sanggar Tuah Gemilang. Namun apa daya, beberapa hari sebelum saya berangkat, pihak Sanggar Tuah Gemilang tiba-tiba memohon maaf dan mengabarkan bahwa pihaknya tidak dapat membantu saya karena orang-orangnya ada urusan ke luar kota. Jadi, Sanggar Selasih-lah yang akan saya sambangi di kota Tanjung Batu.

Kembali ke perjalanan saya, akhirnya pesawat saya mendarat di Lapangan Terbang Raja Haji Fisabilillah pukul 10.10, lima belas menit lebih lambat daripada masa yang dijadwalkan. Saya bermaksud untuk berlari ke gedung terminal dan menangkap taksi secepat mungkin untuk menuju pusat bandar Tanjung Pinang untuk mengejar ferry yang menuju Tanjung Batu Kundur (menurut informasi, ferry tersebut berangkat pukul 12.00), namun ternyata gedung terminalnya sudah beralih ke gedung terminal baru yang lebih jauh, dan untuk menuju terminal baru tersebut, para penumpang dijemput beberapa bus. Sedikit buang waktu sih, dan alur pergerakan kedatangan penumpang di dalam gedung terminal baru itu agak lebih musykil dan rumit.




Singkat cerita, saya berhasil tiba di kota Tanjung Pinang, tepatnya di pintu masuk Pelabuhan Sri Bintan Pura (tarif taksi 90ribu, dan gak saya tawar lagi). Seperti biasa, loket penjualan tiket di pelabuhan ramai dengan para penjual yang menawarkan tiket ferry operator mereka dengan lantang. Saya berhasil menemukan loket ferry tujuan Tanjung Batu (Istiqomah Jaya) di pojok sebelah kiri, dan orang loket tersebut berkata, "Ini langsung berangkat. Sekarang. Jam 11" Dan ternyata sekarang udah jam 11! Setelah membayar ongkos tiket sebesar 172 ribu rupiah (aduh, mahal) dan membayar pajak pelabuhan sebesar 5 ribu rupiah, saya berlari menyusuri dermaga (yang panjang). Sampai di ruang tunggu, saya disuruh mendaftar (check-in), kemudian disuruh menunggu, karena ternyata ferrynya masih mengisi bahan bakar. Kyaaaaa... Tau gitu tadi mendingan jalan-jalan dulu sambil kulineran roti prata, nasi ayam Hainan, teh tarik, dan bungkus nasi Padang di luar kan... Tapi untung saya bawa roti di dalam tas.

Selagi menunggu, saya duduk dan mencuri dengar percakapan orang-orang di pelabuhan ini. Sependengaran saya, orang-orang di sini berbicara bahasa Malay dengan aksen/logat yang berbeda-beda. Sebagian orang, terutama wanita, berbicara dengan aksen dan intonasi yang Malay sekali (misalnya: "E~h, ta' boleh tu~..."), namun banyak juga orang (terutama laki-laki) yang berbicara dengan aksen yang tidak terlalu mirip Malay (misalnya: "Akku ni lah balle~k, Bang!"), yang sependengaran saya mirip dengan aksen dan intonasi bahasa Padang, Batak, dan bahkan Madura. Bahkan tak sedikit juga yang berbicara bahasa Malay dengan aksen Jawa yang medok. Hm... Pendatang rules (*sigh)




Setelah 1 jam menunggu, boat pun datang. Penumpangnya gak terlalu banyak sih, dan hampir semua penumpang berbicara dalam bahasa Malay yang cepat dan sukar dipahami, terutama serombongan anak muda (sepertinya siswa-siswi SMA) yang mengenakan seragam bertuliskan 'Karimun'. Tak lama setelah barang-barang dimuat dan semua penumpang naik, boat pun berangkat. Dalam perjalanan, boat melewati selat-selat sempit, dan sesekali merapat dan mengangkut penumpang dari perkampungan di Pulau Galang dan Moro. Hujan lebat sempat mengguyur lautan kala itu (aduh, gimana nasib tas koper saya yang diletakkan di atas kapal?)



Suasana di dalam ferry. Amat bersih

Gambaran betapa lajunya ferry itu

Siluet jembatan pulau Galang

Perkampungan Moro, persinggahan terakhir sebelum menuju Tanjung Batu

Nampaknya boat ini melaju dengan kelajuan cukup tinggi, karena tak terasa boat akhirnya memasuki selat sempit tempat kota Tanjung Batu berada. Total waktu tempuh perjalanan ini hanya sekitar 2 jam dan 30 menit, termasuk waktu yang cukup singkat untuk menempuh jarak yang cukup jauh. Saya langsung turun dari boat, mengambil barang, keluar dari area pelabuhan, dan sambil mengabaikan tawaran para tukang ojek, berjalan cepat menuju Hotel Prima yang telah saya tempah sebelumnya. Ojek sini gak yang nguber-nguber banget seperti di Bekasi sih. Jalan lalu aja tanpa menghiraukan mereka dan mereka biasanya langsung menyerah. Saya sempat terkagum sejenak dengan suasana kota ini. Ruko-ruko tua yang sesekali diselingi bangunan-bangunan baru yang cukup tinggi saling bertumpang tindih memenuhi pusat bandar. Jalan-jalan sempit yang cukup rapi dan bersih membelah deretan ruko dan bangunan-bangunan lainnya. Terdapat persimpangan dan pertemuan jalan setiap beberapa meter. Kedai-kedai kopi ala negara tetangga, toko, dan pasar menghiasi tepi jalan dan sudut-sudut pekan. Pokoknya suasananya otentik deh, berasa lagi di kota-kota di Malaysia jaman dulu.



Ternyata jarak antara pelabuhan dengan hotel itu luar biasa dekat. Dalam waktu 2 menit saja, saya sudah tiba di depan Hotel Prima. Dan sebagai gambaran, jarak tadi bisa dianggap sebagai lebar kota ini, dan panjang kota ini adalah 2 atau 3 kali lebarnya. Dan menurut rancangan, saya bakal menghabiskan 2 malam di bandar ini :D

Saya segera check-in dan masuk ke kamar. Aduh, interior hotel ini nampak sudah tua. Kamar dan kamar mandinya berasa kayak kantor PNS di akhir abad ke-20. Meski begitu, menurut buku daring (e-Book) panduan wisata yang cuplikannya saya temukan di Internet, hotel ini adalah yang paling baru dibandingkan hotel-hotel lainnya di bandar ini (sebab itulah saya pilih hotel ini).


medan lapang di depan Hotel Prima (paling kanan) dan Hotel Pelangi yang terletak bersebelahan

suasana kamar hotel

Sembari meletakkan barang, saya mengirim sms kepada orang sanggar dan menanyakan kira-kira bila saya dapat berkunjung ke sanggarnya. Rupanya karena besok mereka ada job, janji temunya yang semestinya besok dimajukan jadi malam ini juga, sekitar pukul tujuh setengah (19.30). Fine. Oh ya di sini istilahnya mirip negara tetangganya kalau nyebut waktu jam. Bisa tujuh setengah, tapi bisa juga setengah delapan.

Setelah puas meletakkan barang, berkemas, defekesyen, dan rehat sejenak, saya memutuskan untuk keluar hotel dan melihat-lihat keadaan di bandar ini. Kota ini sangat sepi, mungkin juga karena hari itu hari Minggu. Saya sebenarnya menyukai suasana yang tidak ramai karena cenderung jauh dari tekanan. Meski begitu, sepi yang dimaksud di sini adalah, jalanan yang lengang, hampir tidak ada orang, dan selang beberapa meter sekali ada saja orang yang mangkal, duduk-duduk ngerumpi entah sendiri, berdua, bertiga, atau berempat. Selain itu, di tiap tikungan dan persimpangan jalan, gerombolan tukang ojek selalu menunggu mangsa. Nah, bisa dibayangkan bagaimana situasinya apabila saya berjalan sendirian di jalanan yang sepi penduduk itu (apalagi turis, gak ada), sambil memikul tas kecil, membawa kamera dan telepon bimbit yang dipasangi tongsis. Sudah jelas tawaran para tukang ojek akan diarahkan ke saya. Beberapa orang yang mangkal sambil ngerumpi juga mengalihkan perhatiannya sejenak dari perbicaraan, dan kepo melihat hal yang saya lakukan (padahal ga ngapa-ngapain, cuma motret sesekali doang). Kalau kita melewatkan suatu objek dan bermaksud kembali lagi untuk mengambil foto atau mungkin membeli sesuatu, berhubung kotanya kecil, pasti akan berpapasan dengan tukang ojek atau gerombolan rumpi yang tadi lagi. Hiih... Aduh, gimana kalo nekat manjangin tongsis ya? Bisa-bisa disangka orang sakit zyiwwa'. Hahaha.

Oh ya, berhubung hari Minggu, toko-toko pada tutup. Heu... Tambah canggunglah suasananya. Dari kegiatan eksplor yang singkat ini, saya menemukan beberapa kelenteng / wihara yang cukup menarik, masjid, gereja, deretan toko, bangunan bekas bioskop, pelabuhan bongkar-muat, akau/pujasera/pusat penjaja, pasar buah, rumah-rumah makan, dan kedai-kedai kopi.


bangunan bekas bioskop










Vihara Dharma Shanti

Vihara Sasana Kirti

Gereja Protestan

akau tepi laut yang banyak menjual seafood

Usai menjelajah, saya baru ingat bahwa saya belum makan siang. Berhubung warung-warung makan dan kedai kopi semuanya terlihat sangat sepi seolah-olah tutup, saya memutuskan untuk kembali ke kedai kopi yang terletak dekat pelabuhan ferry tadi, yang seingat saya lumayan ramai. Kedai kopi itu bernama Kedai Kopi Lipo. Di situ ternyata makanannya hanya tinggal mie goreng dan mie rebus saja. Lontong, roti prata, gado-gado, dan makanan berat lainnya sudah habis karena memang biasanya hanya tersedia di pagi hari. Saya pun memesan mie goreng dan es teh tarik. Rasa mie gorengnya seperti mie goreng Jawa gitu sih, tapi ada persamaan rasa dengan mie goreng Mamak. Sementara es teh tariknya meskipun beda dengan es teh tarik Singapura ataupun Malaysia, rasanya lumayan oke seperti halnya kebanyakan es teh tarik Kepulauan Riau yang menggunakan teh Prendjak. Setelah saya tanyakan ke pemilik kedai kopi, ternyata es teh tarik ini menggunakan krimer kental manis bermerk Doreen (yang setelah diselidiki ternyata satu holding dengan krimer kental manis Dairy Champ).


suasana kedai kopi Lipo yang mengingatkan akan kedai-kedai kopi di negara tetangga

mie goreng

es teh tarik

Saya duduk-duduk selama beberapa lama di kedai kopi ini sambil menunggu senja. Beberapa laki-laki paruh baya pada duduk-duduk di kedai kopi ini. Ada yang duduk semeja seorang diri, ada yang bertiga, dan ada yang berempat. Secara keseluruhan kedai kopi ini masih belum tergolong penuh sih. Sebagian besar dari mereka terbius dan tak memalingkan mata dari film atau entah drama seri hitam-putih lama asal Malaysia yang rupanya memiliki saluran tersendiri dan ditayangkan di layar televisi. Rupanya P Ramlee menjadi primadona sejuta umat di sini. Entah di rumah-rumah warga, di kedai kopi, sampai di dalam ferry, sepertinya semua orang menyayangi hiburan tersebut dan menjadikannya bagian penting dalam hidup mereka. Setelah saya tonton sebentar emang lumayan kocak sih, dan kesannya memang kayaknya udah modern banget kehidupan sosial dan latar dalam film itu, ya setidaknya untuk ukuran masa itu. Bahasa Melayu yang digunakan dalam film itu juga agak formal dan mudah dimengerti susunan kalimat dan aksennya, mengingatkan akan bahasa Indonesia yang digunakan dalam film-film layar perak Indonesia zaman dulu. Mungkin memang seperti itulah bahasa Melayu standar yang murni.

Setelah beberapa lama, saya teringat akan satu tempat lagi yang belum sempat saya jelajahi, yaitu kelenteng di tepian kota yang menjulang tinggi yang sempat terlihat dari laut saat boat saya merapat di pelabuhan tadi. Setelah membayar makanan dan minuman, saya kembali melangkahkan kaki dan menuju kelenteng tadi. Jalan masuk kelenteng ini agak membingungkan, berhubung kelenteng ini menjulang tinggi di atas bukit dan terisolasi oleh berbagai bangunan dan ruko yang rapat-rapat dan padat. Meski begitu, setelah meneruskan berjalan dan memutar (melewati sebuah pujasera bertuliskan 'Pujasera Hocky'), akhirnya saya berhasil menemukan jalan masuknya yang menanjak dan berhadapan dengan laut. Mungkin inilah tempat terbaik di Tanjung Batu untuk menikmati terpaan angin laut di kala senja sambil menikmati pemandangan kota dari ketinggian.
















Setelah puas, saya kembali ke hotel untuk rehat sekali lagi, sambil menunggu peniaga-peniaga akau yang terletak tepat di depan hotel itu berbenah agar suasananya makin seru dan mengasyikkan. Kira-kira pukul 6.30 petang setelah magrib, saya keluar dari hotel dan langsung berburu cemilan petang, ya :D

Hanya selangkah ngesot dari hotel, saya langsung tiba di akau ini. Suasana akau ini mirip akau Potong Lembu di Tanjung Pinang, hanya saja ukurannya lebih kecil dan suasananya tidak semeriah yang di Tanjung Pinang. Meski begitu, keunggulan akau ini adalah menjual kue Apam Balik yang sangat nostalgik dan Nasi Ayam Hainan (yang halal)! Hahaha... Sebagai gambaran, apam balik itu mirip martabak manis Bangka, hanya saja lebih kecil dan agak tipis dibanding martabak Bangka yang tebal-tebal itu. Isiannya kue apam balik yang paling default adalah kacang-gula atau kacang campur gula dan jagung. Meski begitu, stall ini juga menjual apam balik dengan aneka isian, seperti meses, kacang, dan keju. Selain kedua pedagang makanan tadi, di akau ini juga terdapat pedagang roti prata, sate biasa, sate Padang, bakso, mie so, soto, ayam crispy, masakan sayuran, dan beberapa makanan biasa yang banyak terdapat di Pulau Jawa. Untuk minuman, di sini tersedia beberapa stall khusus yang menjual aneka minuman ringan, teh tarik, teh telur, dan kopi.

1 komentar:

  1. Wah...saya jadi ingat lagi masa kecil dulu di kota ini...terimakasih nostalgianya..

    BalasHapus