Kamis, 17 Desember 2009

Rancangan Perjalanan Wisata Keliling Eropa

Agenda di tiap kota:
  • Mengunjungi dan berfoto-foto di tempat yang iconic
  • Jalan-jalan sambil belanja di pedestrian shopping area
  • Membaur dengan masyarakat dan merasakan suasana yang meriah di square / alun-alun
  • Nyobain naik tram dan/atau MRT
  • Nonton pertunjukan opera / konser orkestra (optional)
  • Bersantai di kedai kopi mewah tepi jalan sambil menikmati senja
  1. Munich/Munchen
  2. Berlin
  3. Praha
  4. Wien
  5. Budapest
  6. Zagreb + Sibenik + Dubrovnik
  7. Sarajevo
  8. Beograd
  9. Podgorica
  10. Herceg Novi + Budva
  11. Prishtina
  12. Skopje
  13. Tirana
  14. Athena
  15. Bucharest
  16. Sofia
  17. Istanbul
  18. Ankara
  19. Tbilisi
  20. Yerevan
  21. Baku
  22. Moscow
  23. Minsk
  24. Kiev
  25. Warsaw
  26. Vilnius
  27. Riga
  28. Tallinn
  29. Helsinki
  30. Stockholm
  31. Oslo
  32. Reykjavik
  33. Dublin
  34. London
  35. Amsterdam
  36. Brussels
  37. Luxembourg
  38. Paris
  39. Monte Carlo
  40. Andorra La Vella
  41. Barcelona
  42. Granada
  43. Cordoba
  44. Sevilla
  45. Gibraltar
  46. Ceuta
  47. Algiers
  48. Tunis
  49. Sicily
  50. Roma + Vatican
  51. Firenze
  52. San Marino
  53. Venice
  54. Milan
  55. Geneva
  56. Bern
  57. Vaduz
  58. Zurich
  59. Nicosia
  60. Damascus
  61. Amman + Dead Sea
  62. Manama
  63. Doha
  64. Abu Dhabi
  65. Dubai

Rabu, 16 Desember 2009

Karya-karya Saya Sejauh Ini

KOMPOSISI (MUSIK)

  • distant universe
  • An Everlasting Tale
  • Futari no Hibi
  • Refrain Of The Soul (medley lagu-lagu Sunda)
  • (Unnamed, yang intronya tinggi-tinggi)

ARANSEMEN STRINGS/ORKESTRASI

  • distant universe
  • An Everlasting Tale
  • First Love (Full-Orchestra)
  • Futari no Hibi
  • Fragmen/Bintang Matahari Kuning
  • Kiss The Girl
  • Lucky
  • Umbrella (Boyce Avenue's Version)
  • A Thousand Miles
  • Grow Old With You (bridge-nya)
  • Kamulah Satu-Satunya
  • Hanya Kenangan (Shinkai's Song)
  • I Don't Want To Miss A Thing (bridge-nya)
  • Refrain Of The Soul (medley lagu-lagu Sunda)
  • Laskar Pelangi ~String Trio Instrumental Version~
  • Pusat Wiyata (Mars Universitas Trisakti)
  • One Moment In Time (bridge-nya)
  • If I Were A Boy (intro)
  • Unpublished intro of Irish Girl (The Trees & The Wild's song)
  • (Unnamed, yang intronya tinggi-tinggi)
  • Save The Best For Last
  • Cintaku

ULIKAN (banyak...)

NOVEL (ada beberapa, tapi mainly Biogawad Trilogy)

CERPEN (ada beberapa)

RESENSI

  • Ca Bau Kan
  • Emak Ingin Naik Haji

REVIEW/ULASAN/ARTIKEL

  • Konser Symphonia Vienna

APLIKASI/PROGRAM

  • Loliconia (aplikasi flash)
  • Aplikasi Reservasi Online Hotel Aston
  • Web & Aplikasi Pendaftaran Online STIE Bisnis Indonesia
  • Aplikasi Omega Music Education Center

ENTRI BLOG

DESAIN

  • Iklan Audisi Micky String Orchestra
  • Logo Micky String Orchestra
  • Logo Mezzaluna String Quartet
  • Poster Konser Micky String Orchestra 1, 2, 3
  • Cover debut single CD Pentafingers
  • Cover CD OST dramaxxell
  • Cover CD OST Opera Rumah Sakit Jiwa

GAMBAR/SKETSA/ARTWORK

  • Lukisan diri saat usia balita
  • Lukisan Monalisa
  • Sketsa Micky String Orchestra 1, 2
  • Sketsa Hayley Andersson (Narrator-in-training of Omega Heavenly Planetarium Show)
  • Sketsa Chris Williams (Main narrator of Omega Heavenly Planetarium Show)
  • Gambar dramaxxell
  • Gambar Opera Rumah Sakit Jiwa
FASHION
  • Desain kostum panggung Hades Quartz
  • Desain kostum panggung Akogare
  • Desain kostum panggung Micky String Orchestra
DENAH
  • Denah panggung Hades Quartz
  • Denah seating Micky String Orchestra
FOTOGRAFI
  • Foto-foto dari kamera HP
  • Foto-foto waktu di Jepang
  • Foto-foto waktu di Singapura dan Kuala Lumpur
  • Foto-foto waktu di Thailand
PENYELARASAN
  • Audio track untuk Omega Heavenly Planetarium Show

Sabtu, 05 Desember 2009

KRITERIA KOTA MODERN menurut saya

1. Tersedianya sarana transportasi publik berbasiskan rel (Metro/MRT/Subway) yang frekuensi kedatangannya seburuk-buruknya tiap lima menit sekali
2. Adanya jalan tol
3. Adanya tenants terkenal seperti McDonalds, (KFC tidak masuk hitungan karena berada di mana-mana), Starbucks, dan tenants fashion yang bermerek
4. Menjamurnya convenience store 7 Eleven
5. Tersedianya trotoar yang memadai untuk pejalan kaki di semua jalan (kecuali jalan kompleks perumahan)
6. Budaya berjalan kaki sudah memasyarakat pada hampir seluruh kalangan
7. Adanya pusat perbelanjaan berbentuk mall
8. Tempat-tempat umum termasuk mall mudah diakses pejalan kaki dari tepi jalan atau dari jembatan penyebrangan, dan tidak dibatasi pagar dari jalan di depannya
9. Kawasan pusat kota dan CBD bebas dari rumah pribadi yang berdiri di tanah
10. Memiliki bandar udara dengan gedung terminal yang modern
11. Tersedianya suatu moda transportasi publik berbasiskan rel untuk mengakses bandar udara dan pelabuhan dengan mudah
12. Adanya shopping district / commercial district kelas menengah ke atas yang dilengkapi pedestrian sidewalk yang lebar, tertata dengan baik, terletak di kawasan yang terbuka untuk UMUM sehingga mudah diakses, dan terletak di tepi jalan umum atau bahkan di tengah-tengah jalan umum itu sendiri, tempat orang berjalan kaki
13. Adanya taman-taman kota yang hijau
14. Memiliki sistem pembuangan air yang baik
15. Memiliki square (alun-alun utama sebuah kota)
16. Vending machine untuk membeli minuman (atau makanan) tersedia di tempat UMUM di luar gedung, di stasiun, di terminal, di tepi jalan, atau di dalam lorong
17. (Khusus untuk kota yang terletak di tepi laut atau sungai) Adanya corniche/boulevard yang menyusuri tepi laut, yang berada dalam area yang tidak terprivatisasi
18. Adanya gedung tinggi

Keterangan untuk Jakarta:
1. belum, mudah-mudahan secepatnya deh
2. sudah
3. sudah
4. belum, sebagian besar negara Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand) dan Asia Timur (Jepang, Korea, Cina, Hongkong, Taiwan) sudah
5. belum
6. belum
7. sudah sekali
8. belum
9. belum
10. belum terlalu
11. belum
12. belum, mudah-mudahan diadakan secepatnya deh. Contoh yang umum: Orchard di Singapura, kawasan Siam di Bangkok, Ginza & Shibuya di Tokyo
13. sudah
14. belum
15. sudah (Jakarta memiliki Monas)
16. belum terlalu, dan lagipula vending machine-nya masih manual (tapi yang di Mall Artha Gading katanya otomatis)...
17. belum, karena area tepi laut seperti Ancol merupakan kawasan yang terprivatisasi dan untuk memasukinya, wajib bayar
18. sudah

Ada yang mau menambahkan?

Selasa, 18 Agustus 2009

Uneducatedly Traveling to Bogor

Sesuai rencana hari ini kami bertiga mau pergi bertamasya melihat-lihat Bogor. Tujuannya mau melihat kawasan ‘Kemang’-nya Bogor yang kata Kynan cukup berappeal tinggi dan memiliki banyak restoran dan kedai-kedai mewah tepi trotoar, yang berdekatan satu sama lain. Kami sudah menetapkan dan sepakat untuk mengunjungi Macaroni Panggang yang terkenal, bersantai di kedai kopi mewah pinggir jalanKoffie Pot’, mencicipi coklat di restoran Death By Chocolate PALSU (meskipun Kynan bersikeras bahwa yang di Bogor-lah yang asli), sambil makan coklat ditemani hantu-hantu, dan terakhir pergi ke BOTANI SQUARE yang menurut Kynan merupakan mall terbaru, termewah, dan termodern di Bogor. Dan jika beruntung, mungkin kami akan menemukan tempat karaoke dan bernyanyi selama paling tidak 3 jam.

Ok, setelah sebelumnya telah mencari informasi mengenai shuttle bus ke Bogor, ditemani Sita yang sudah bergaya optimal dengan mengenakan rok sangat pendek dan loose socks (katanya dia ingin bergaya di café-café yang gw bilang mewah itu—meski gw sendiri ga tau keadaan di sana seperti apa dan hanya pernah mendengar dari cerita Kynan yang terdengar menarik dan menggiurkan), gw berangkat ke GI naik taksi untuk ketemuan dengan Novi dan naik shuttle bus dari Jakarta City Center (JaCC) yang terletak ga jauh dari GI. Oh ya, bahkan untuk pergi ini, gw sampai membawa gelas kosong lho, untuk jaga-jaga kalau ternyata harga kopinya tidak layak dan terpaksa harus membagi 2 gelas kopi menjadi 3 porsi. Selain itu gw juga bawa sebotol air mineral dan sekaleng Coca-Cola, biar hemat. Tapi gw ga bawa bekal seperti biasa sih, hehe. Selain itu untuk melengkapi kebutuhan di jalan, gw juga membawa kompas yang label harganya belum dicopot dan peta Jabotabek yang entah sejak kapan akhirnya menjadi hak milik gw dan orang-orang di rumah.

Sekitar jam 11.30, gw dan Sita nyampe di GI, dan tiba-tiba Novi menelpon, nitip minta dibeliin roti polos dan air mineral, karena di Bogor nanti kemungkinan besar dia gak akan bisa ikut makan, karena banyak pantangan yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. OK, kami pun membeli roti di Breadtalk. Ketika Sita akan membayar roti-rotinya di kasir, gw menyinggung soal hutang-hutangan taksi tadi. Dan Sita langsung berbisik, “Entar aja ya, jangan sekarang”. Nampaknya dia malu karena udah gaya-gaya gitu tapi naik taksi. Langsung aja gw bilang dengan suara cukup kencang, “Et dah Sit, tadi dari Kampung Melayu capek bener yak gara-gara panas-panasan di angkot”. Sementara mbak-mbak kasirnya berusaha menahan senyum sambil mengamati gaya pakaian Sita, yang diharapkan Sita dapat membuatnya jauh dari hal-hal yang menurutnya kampungan, dan Sita terlihat kesal, sangat malu, dan kelihatannya ingin segera menghilang dari situ. Cepat-cepat Sita menyelesaikan pembayaran dan kami pun bergegas untuk membeli air mineral di Century. Ketika akan membayar, kasir menanyakan kalau-kalau Sita punya kartu member, dan cepat-cepat ia membuka tas, mengeluarkan dompet, dan sibuk mencari kartu member Century yang sudah ketekuk gara-gara kebanyakan barang di dompetnya. Menemukan ide yang tepat, gw pun berkata di dekat kasir dan Sita, “Et dah, kartunya ampe ketekuk gitu, apa gara-gara tadi kita desek-desekan naik Kopaja dari Tenabang yak?” Sementara mbak-mbak kasir itu menahan senyum, Sita cepat-cepat menyelesaikan pembayaran, lalu kami pun bergegas untuk ke Rama Lobby untuk menunggu Novi di tempat duduk yang mewah.

Bahkan di sofa mewah yang selain kita ada beberapa orang lain yang nampaknya cukup berada yang ikut duduk itu pun gw masih belum berhenti menirukan logat Betawi dan membahas hal-hal yang berbau kampungan menurut Sita. Hal ini nampaknya menyebabkan kesabaran Sita habis dan menyuruh gw berhenti bicara hal-hal itu. Dia bilang sambil berusaha berbicara dalam bahasa Inggris, yang diharapkannya dapat membuatnya terdengar lebih berkelas, meski tidak, karena aksen Indonesia bahkan Jawa-nya masih cukup terdengar, “Please stop talking like that,” dan ia menambahkan, “It’s so kampung aa~” dengan aksen yang dipercayainya sebagai aksen bule Prancis (karena bosnya yang orang Prancis sering mengucapkan itu), meski menurut gw terdengar jauh lebih mirip logat Mangga Dua.

Tak lama, Novi muncul dan kami bergegas menuju tempat keberangkatan shuttle bus. Aduh cuaca sangat terik dan kami berjalan menyusuri trotoar-trotoar Jakarta yang sempit dan kurang menarik. Setelah menceritakan segala kejadian tadi pada Novi, bahkan nampaknya Novi mulai ikut-ikutan terbawa logat Betawi dan menambahkan partikel ‘yak’ di ujung kalimat apa pun. Sampai di depan gedung Thamrin City yang seharusnya merupakan JaCC, gw mencoba menelpon kembali call center JaCC untuk memastikan jadwal keberangkatan shuttle bus, setelah sebelumnya udah nelpon berkali-kali tapi ga diangkat. Eh kali ini diangkat, dan gw disuruh menunggu karena orang yang ngangkat telepon itu harus nanya dulu. Lumayan lama, dan akhirnya setelah mungkin sekitar 5 menit, dia baru menyampaikan kabar buruk, “Hari ini shuttle busnya ga beroperasi, libur”. Duh.

Ketika gw menyampaikan kabar itu, langsung saja Sita menyetop taksi yang penumpangnya baru aja turun, dan kami semua langsung bergegas menuju Stasiun Gambir untuk naik kereta ekspres Pakuan. Kami teringat kisah-kisah eksibisionis yang unik dan adorable yang kabarnya sering ditemui di kereta ekonomi dan juga kisah seputar ibu-ibu berkerudung yang membawa serta anaknya untuk selalu keluar di siang hari dan menuh-menuhin kereta ekonomi, membuatnya menjadi sesak, meski tidak jelas tujuannya, dan suka mencolek pemuda seperti Kynan yang duduk dan pura-pura tidur, untuk gantian dengan cara paksa.

Sampe di stasiun, hm… sepertinya suasananya mulai mencekam karena stasiun tempat ramai yang agak rawan, sementara Sita berharap rok pendeknya tidak menarik perhatian. Kami langsung menuju loket dan membeli 3 lembar tiket kereta ekspres yang masing-masing berharga Rp13.000,00. Dari situ kami menaiki eskalator lalu mendaki tangga ke platform 3. Wah sekilas mirip stasiun kereta BTS di Bangkok deh, atau kereta metro di Manila, meski kenyataannya beda jauh. Tak lama, kereta yang kami tunggu tiba, dan kami langsung masuk dan duduk di dekat pintu masuk. Hm… sedikit agak-agak bau kotoran kambing… dan Sita merasa mual dan ingin muntah karena bau itu. Meskipun begitu, kereta ini kabarnya merupakan sumbangan dari Jepang lho… Dan kelihatannya memang benar sih, soalnya di Jepang juga bagian dalam keretanya persis seperti ini. Bahkan masih terdapat sedikit tulisan Jepang di dinding dalam kereta.

Tak lama, kereta mulai bergerak dan berjalan melayang di tengah Jakarta. Beberapa menit kemudian, kereta mendarat dan menyusuri perumahan-perumahan yang liar di tepi rel kereta. Pemandangan ini terus berlanjut sampai 45 menit berikutnya, ketika kami akhirnya tiba di pemberhentian terakhir: Stasiun Bogor. Pintu pun terbuka dan… wah, ternyata kami turun dari kereta harus setengah loncat, karena kami turunnya bukan ke platform melainkan ke rel di sebelahnya. Nampaknya ini membuat Sita kesulitan karena rok pendeknya.

Aduh suasana stasiun ini sekilas mirip stasiun Bandung deh. Orang ramai berlalu-lalang, dan banyak pedagang meramaikan suasana stasiun yang kotor dan kumuh (Sita terlihat panik dan ketakutan karena salah kostum). Menurut rencana, tadinya kami ingin naik taksi dari stasiun dan langsung menuju Macaroni Panggang. Namun, begitu kami sampai di pintu keluar stasiun, yang ada hanya gang pasar yang kotor, becek, ramai, dan dipenuhi angkot yang merayap dan yang ngetem. Karena bingung mau naik apa untuk ke Macaroni Panggang, Sita dan Novi berinisiatif untuk bertanya pada petugas stasiun yang dengan ramah menjelaskan. Bahkan, dia mau mengantar Neng Sita naik angkotnya. Namun Sita menolak, kemudian berterima kasih.

Aduh gw merasa Sita salah tempat deh mengenakan rok sangat pendek di tempat seperti ini. Karena panik dan ketakutan, Sita langsung naik ke salah satu angkot 03 yang ngetem. Gw dan Novi mengikuti.

Cukup lama angkotnya ngetem, nunggu sampe penumpangnya penuh. Bahkan dengan pathetic Novi berseru kepada supir angkotnya, “Berhenti di Macaroni Panggang ya Bang!” meski angkot itu belum jalan-jalan juga. Terus gw bertanya ke Sita, “Emangnya kita ga bisa langsung naik angkot-angkot yang merayap itu ya? Kenapa kita harus naik yang ini?”

Aku kan takut dan panik, jadi aku langsung naik aja. Kukira tadinya kita perginya ke tempat yang orang-orangnya educated gitu,” kata Sita.

Akhirnya setelah sekitar 15 menit yang terasa seperti 1 jam, angkot mulai jalan dan merayap menempuh gang pasar yang ramai lagi sempit, kotor, dan kumuh itu. Beberapa saat kemudian, angkot mulai memasuki jalan besar yang mengitari Kebun Raya Bogor. Melihat kami yang terlihat jelas bukan orang Bogor ini, seorang penumpang di dekat kami sampai memberi tahu kami di mana kami harus berhenti untuk mencapai Macaroni Panggang. Bahkan dia juga menjelaskan ke kami seperti halnya tour guide, “Di samping kita ini Kebun Raya Bogor, dan gak jauh dari situ ada Istana Bogor”.

Wah tamasya kami benar-benar seperti tur wisata. Kemudian kami turun dari angkot dan berjalan kaki menghampiri restoran Macaroni Panggang, meski sempat tersasar sedikit karena salah masuk jalan. Untunglah kami dibantu oleh seorang nenek-nenek yang baik hati. Ternyata orang Bogor kebanyakan memang ramah-ramah ya, meskipun menurut gw di Jakarta rasanya lebih aman. Oh ya, ternyata suasana di sini gak seperti yang gw bayangkan! Lebih seperti hutan di pegunungan, dengan jalanan yang naik turun. Mana trotoar lebar yang indah dari batu alam yang dihiasi dengan air mancur dan tanaman hias? Mana kedai-kedai mewah pinggir jalan yang berpayung-payung dan berdekatan satu sama lain? Aduh gw merasa telah dibohongi oleh Kynan deh.

Akhirnya tibalah kami di Macaroni Panggang yang terkenal itu. Kami bermaksud memesan yang special yang ukuran small, namun ternyata semua ukuran small baik yang biasa maupun special sudah habis. Makaroni special yang berukuran medium harganya mahal, 80ribuan, sehingga akhirnya kami memesan 1 makaroni yang biasa ukuran medium, harganya 40ribuan. Gw memesan teh panas seharga 500 perak, sementara Sita dan Novi memesan minuman seperti jus alpukat yang ternyata habis, dan akhirnya harus digantikan dengan jus jambu. Karena pantangan dan tidak boleh makan makanan seperti itu, Novi bahkan terlanjur memesan 1 porsi makaroni panggang yang sama, untuk dibungkus dan dibawa pulang. Dan Sita memperkeruh keadaan dengan berkata, “Langsung pesen buat dibungkus? Emang gak dicobain dulu rasanya gimana?“ Dan tak lama bungkusan makaroni yang sudah tidak bisa dibatalkan itu langsung diantar ke meja kami.

Dan ketika pesanan kami datang, baunya memang enak, tapi pas dicoba… Hm… Jujur, rasanya kok biasa aja ya? Kurang rasa dan kurang keju. Enakan makaroni di pesta-pesta keluarga gitu deh perasaan. Karena porsi medium cukup besar, kami berjuang menghabiskan makaroni itu, dan bahkan Novi yang berpantangan pun membantu dengan menghabiskan dua potong kecil. Sementara itu Novi menyesal karena telah memesan makaroni yang sama seharga 40ribuan untuk dibawa pulang dan juga telah memesan jus yang jauh lebih mahal daripada segelas teh panas.

Makan makaroni dengan perasaan tidak bahagia

Setelah eneg makan makaroni, kami menuruni lereng bukit untuk menuju kedai kopi mewah Koffie Pot. Mudah-mudahan yang ini sesuai bayangan. Dan ternyata lumayan seperti bayangan lah… Kedai kopi ini terletak di tepi jalan, dan harga kopi di sini juga lumayan murah, dan kopinya juga enak—meski gw ga doyan kopi. Pilihan lagu-lagu yang disetel untuk ambience ruangan di dalam kedai kopi ini juga bagus-bagus. Selera lagunya lumayan bagus deh. Suasana dalam dan luar kedai kopi ini juga indah, dengan kolam air yang mengalir deras, dengan dinding berupa kaca, dan meja-meja dan bangku-bangku outdoor yang terkesan mewah—setidaknya untuk ukuran Bogor.

Suasana Koffie Pot yang mengasyikkan

Sita dengan rok pendek

Cukup lama kami menghabiskan waktu di sini untuk minum kopi, bergosip, dan berfoto-foto, sehingga tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kami bergegas untuk menuju restoran Death By Chocolate palsu. Kami kembali mendaki lereng bukit dan mengikuti signage yang bertuliskan DBC Chocolate & Spaghetti. Jalan menuju restoran itu bahkan lebih tidak meyakinkan karena sejauh mata memandang tidak ada tanda peradaban manusia. Jalan itu dipenuhi hutan dengan tebing jurang yang dalam dan lembah sungai di sisi kiri jalan. Namun untunglah ada angkot lewat situ, dan kami naik angkot sampai ke restoran Death By Chocolate yang terletak di kawasan yang sudah mulai ramai dengan rumah.

Tiba di depan restoran, seorang pramusaji menyambut kami sejak dari halaman rumah. Pas masuk ke dalam restoran, ya ya ya… ternyata seperti ini. Seperti rumah tua zaman kolonial, atau seperti rumah Obama di Jakarta, yang dihiasi meja kursi dan disulap menjadi tempat makan yang suram. Kami memilih meja di dekat halaman belakang, di mana kami dapat melihat sepasang ayunan di halaman belakang tersebut. Kami memesan menu andalan restoran itu, yakni “Death By Chocolate” dan Sita menambahkan minuman coklat dingin ke daftar pesanan. Lupa namanya apa. Ada “Death By”-nya juga kalo ga salah. Kemudian, setelah Sita menanyakan, “Mana hantunya? Kok ga berkeliaran?”, waitress-nya menjawab bahwa hantu hanya berkeliaran pukul 8 malam pada hari-hari tertentu. Sementara untuk saat itu, hantu berjubah hitamnya hanya nongkrong di dalam sebuah ruangan gelap yang disebut ruangan Death By Chocolate. Kami dapat mengintip hantu itu dari sebuah jendela tanpa kaca, dan lewat jendela itu kami dapat meminta tester coklat dari si hantu berjubah. Aduh di sini Sita pake menggoda hantunya lagi. Dia berkata, “Ayo senyum dong, Mas” sambil mencicipi tester coklat. Rasanya ya… belum ketahuan seperti apa, karena testernya cuma dikasih sedikit.

Kami pun kembali ke meja dan tak lama, Death By Chocolate, menu pesanan kami, datang. Segera saja masing-masing dari kami mengambil sepotong coklat (Novi boleh makan coklat menurut dokternya). Hm, rasanya… lumayan, tapi sepertinya rasa coklatnya cukup familiar. Gw berusaha mengingat, dan akhirnya gw ingat. Rasanya seperti coklat di dalam ROTI ISI COKLAT atau ROTI ISI KACANG MERAH, seperti roti-roti merk Sariroti. Dan menurut si waitress, 95% kandungan dari menu Death By Chocolate ini adalah coklat.

Ketika coklat hanya tersisa beberapa potong, Novi dan gw bermaksud untuk nyamperin ayunan di halaman belakang, eh ternyata di saat yang bersamaan, dua orang anak kecil juga sedang mengincar ayunan itu, dan patheticnya mereka berdua bertanya pada Novi, “Itu tempat bermain kan? Boleh dimainin kan ya?”

Karena malu, kami mundur dan kembali ke meja makan, melanjutkan makan coklat sambil sesekali mengamati anak-anak yang bermain ayunan di halaman belakang, yang entah sejak kapan jumlahnya semakin bertambah banyak. Beberapa waktu kemudian, ayunan itu kosong ditinggalkan. Kami bertiga langsung berlari menyerbu ayunan dan bermain-main.

Usai dari Death By Chocolate, kami terpaksa berjalan kaki mendaki jalan pegunungan di tepi jurang yang tadi kami lewati karena angkot hanya satu arah. Beberapa waktu kemudian, kami tiba di pertemuan jalan dan kami langsung naik angkot 03 yang menuju arah terminal Baranang Siang, untuk berkunjung ke Botani Square, mall yang menurut Kynan terbaik dan termodern di Bogor. Angkot yang kami tumpangi melewati kawasan jalan Padjajaran, yang justru jauh lebih berappeal dan terlihat jauh lebih modern dan mengasyikkan daripada kawasan sekitar Macaroni Panggang! Kami sempat kelewatan (gara-gara sibuk latihan conversation bahasa Inggris di dalam angkot) dan harus menunggu dan terbawa angkotnya yang mengambil jalan berputar, menuruni lembah sungai Ciliwung, dan akhirnya kembali ke sebuah tugu yang dilewati angkot kami tadi (Novi menyebutnya Monas). Ketika sampai di tugu itu, bahkan supir angkotnya berseru, “Tuh, Monas, Monas tuh… Udah sampe”. Aduh sepertinya dia mendengar waktu Novi menyebut Monas tadi.

Kami turun dan menyeberang jalan untuk masuk ke dalam Botani Square. Aduh, ternyata agak berbeda dari bayangan. Mungkin karena banyak vendor-vendor skala kecil yang berdagang dan memenuhi tempat seharusnya orang berjalan. Tapi setidaknya ada Starbucks Coffee di situ. Kami hanya sebentar di Botani Square, dan bermaksud untuk ke Terminal Baranang Siang, untuk naik bus ke Jakarta. Rasanya ga sanggup kalo harus balik lagi ke stasiun kereta, lagipula ini sudah hampir malam, takutnya kereta eskpres udah ga ada. Lagipula menurut Kynan, orang-orang di terminal bus Bogor ramah-ramah dan suka menolong.

Setelah berjalan beberapa ratus meter, kami memang tiba di terminal, tapi… Aduh, baru menginjakkan kaki sedikit aja, semua kenek bus-nya dengan gencar, liar, nafsu, berisik, dan beringas menawarkan dan setengah memaksa kami menaiki bus mereka. Bahkan mereka menghampiri dan menanyakan ke mana kami ingin pergi, dan kami tidak bisa menjawab, dan memilih menghindari pertanyaan. Sementara di tempat yang liar dan berbahaya itu, Sita yang memimpin di depan kami dengan rok super pendeknya merasa panik dan ketakutan, apalagi dia mendengar ada orang yang berkomentar, “Masya olooo…” saat melihat roknya. Akhirnya kami mengikuti Sita yang kabur dengan panik yang sialnya menyeret kami ke sebuah jalan buntu, dan kami semua terjebak dan tak bergerak karena tak tahu di mana bus yang bisa kami naiki.

Sebenarnya sih kami bisa aja nyari dan milih-milih bus dengan santai, asalkan ga ditawar-tawarin seperti itu. Kan jadinya malah bingung… Tapi untunglah tak lama kemudian, kami menemukan sebuah bus AC yang bertuliskan Pulo Gadung via Cempaka Putih, dan keneknya berseru, “Pulogadung! Lewat ITC Cempaka Mas! Cempaka Putih! Pengadilan!” Wah itu kan nama-nama tempat yang familiar karena dekat rumah gw. Ya udah akhirnya kami memilih naik bus itu dan memilih tempat duduk yang kosong. Rasanya sangat melelahkan. Dan menyebalkannya, hari sudah gelap dan bus itu baru berangkat 1 jam setelah kami naik. Dan karena terpengaruh kejadian-kejadian sebelumnya, gw dan Novi malah semakin gencar ngobrol dalam aksen Betawi yang penuh dengan partikel ‘yak’ di akhir kalimat sementara Sita merasa terganggu dan tidak bisa tidur karena harus mendengar aksen Betawi yang menurutnya uneducated alias tidak berpendidikan. Dan di tol Jagorawi, bus-nya kena macet sedikit di tengah jalan sekitar beberapa kilometer, dan akhirnya melancar ketika sudah mendekati Cibubur.

Saat bus keluar tol di Cempaka Putih, para penumpang termasuk kami mulai berdesakan untuk turun dari bus. Pas turun dari bus, entah kenapa rasanya sangat aman. Meskipun Jakarta terkenal sebagai kota yang rawan, gw merasa lebih aman di Jakarta daripada di Bogor. Dan sebagai penutup perjalanan, kami menghabiskan 3 jam berikutnya untuk bernyanyi di Kelapa Gading.*

Kamis, 18 Juni 2009

The Real Thai Adventure & Vacation, Day 2 ~The Most Pathetic Day~

CHAPTER 11: NAMA YANG MEMPERKERUH KEADAAN

Setelah beres urusan mandi dan sebagainya, kami turun ke restoran di bawah untuk sarapan. Ardi tadinya berharap menu sarapannya adalah menu yang aneh seperti halnya jangkrik goreng dan ulat goreng, namun untunglah sarapan kami normal seperti di kebanyakan hotel, meski harus berhati-hati karena ada masakan yang jelas-jelas dilabeli babi. Saat sarapan ini, ketika melihat ada seorang wanita muda yang mengenakan celana yang sangat pendek yang juga sedang sarapan, Ardi berkomentar, "Ih, kok ada Ana ya di sini?" Sebagai keterangan, Ana adalah teman Ardi dalam hal bermain biola, terutama ketika mereka bermain di Twilite Youth Orchestra (TYO) di Jakarta.

Selesai sarapan, kami pun bergegas keluar dari hotel dan sesaat menikmati segarnya udara pagi. Wah, ternyata udara di Bangkok memang jauh lebih bersih daripada di Jakarta. Langit di sini terlihat sangat biru (seperti di Tokyo), clear, tanpa polusi, dan awan-awan yang berarak terlihat dengan jelas. Yah tapi mungkin ini hanya karena kami sedang beruntung, karena pada saat hari ketibaan udara dan langit Bangkok cukup dipenuhi polusi seperti di Jakarta.

Jaringan kabel listrik rumit yang memenuhi setiap sudut kota Bangkok, berlatar langit yang biru indah

Coba Jakarta punya langit sebiru ini

Kami melanjutkan berjalan menuju stasiun BTS Ratchadewi, transit di stasiun Siam untuk pindah ke Silom Line, dan menuju ke stasiun BTS Taksin yang tepat terletak di tepian sungai Chao Phraya. Pemandangan perkotaan yang kami lihat selama perjalanan kereta sangat memesona, dengan tata kota yang teratur seperti miniatur kota mainan, taman-taman yang luas dan rindang, dan gedung-gedung yang arsitekturnya variatif mewarnai panorama kota Bangkok. Bahkan di daratan yang terhampar jauh di selatan kota Bangkok, yang seharusnya bukan merupakan pusat kota, masih terlihat banyak gedung pencakar langit berarsitektur modern yang berdiri kokoh dan bertebaran menghiasi cakrawala langit selatan kota Bangkok. Tiba di stasiun Taksin, kami bergegas keluar menuju dermaga, yang diramaikan oleh beberapa penjual makanan seperti jagung bakar dan penjual minuman seperti jeruk peras. Situasi di dermaga ini cukup membingungkan mengingat tidak ada petunjuk yang jelas bahwa kami harus ke mana dan berbuat apa. Agak jauh di depan, sebelum ruang tunggu dermaga, kami melihat sebuah stand bertuliskan "Tourist Boat Information Center" kemudian kami menghampiri stand itu yang dijaga oleh seorang bapak-bapak tua.

Ketika kami menghampiri stand itu, bapak itu langsung menawari kami berbagai pilihan boat dengan harganya. Ia juga menanyakan tujuan kami (yang kami jawab dengan "Wat Pho, Temple of Reclining Buddha") kemudian berkata bahwa boat kami akan langsung sampai tujuan. Ia kemudian memberi tahu harga dengan menulis di kalkulator: 200 Baht! Kami berusaha tetap tenang dan mengkonversi nilai tersebut dalam kepala: 60 ribu rupiah! Alamak, padahal menurut mas-mas Indonesia yang kami temui sehari sebelumnya, ongkos naik perahu di sungai mestinya hanya 13 Baht! Sementara itu, bapak penjaga stand itu terus-menerus membujuk dengan setengah memaksa, namun dengan nada yang agak kesal karena kami lambat mengambil keputusan. Dan lagi-lagi karena panik, desperate, dan gampang terbujuk, Ardi langsung berkata ke saya meski dengan ragu, "Ya udah, yuk".

Aduh, patheticnya saya hampir saja termakan bujukan itu. Namun untunglah akal sehat kembali menguasai diri saya. Saya teringat bahwa di kantor jasa tur di Jakarta, kami mendapat secarik kertas berisi nomor telepon tour guide kami yang nantinya akan menemani kami selama hari-hari tur. Kemudian saya mengusulkan ke Ardi untuk mencoba menelpon nomor darurat itu. Tujuan kami menelpon adalah untuk mendapatkan informasi yang benar.

Ada 3 nomor yang tercantum di secarik kertas itu. Tour guide pertama bernama Ms. Alisa. "Wah, kayaknya yang ini orang Indonesia, dan pasti lancar deh bahasa Indonesianya," kata saya. Ardi pun mencoba menelpon dan ternyata nomornya salah. Kami berusaha tetap tenang. Tour guide kedua bernama Ms. Sripai. Ardi mencoba menelpon lagi, dan setelah beberapa detik, Ardi berkata, "Hello?" kemudian tertegun sejenak dan langsung mematikan HP.

"Kenapa?" tanya saya.

"Aduh, pas dia angkat telepon, dia langsung ngomong bahasa Thailand yang ga jelas itu dengan gencar dan tanpa henti. Dan kayaknya dia ga peduli gw ngomong apa, jadi langsung gw matiin," kata Ardi.

Kemudian kami melihat nama tour guide ketiga yang tercantum di secarik kertas itu: Ms. Krittaporn. Kontan Ardi langsung mengeluh, "Aduh, namanya memperkeruh keadaan banget sih. Pasti dia ngomong bahasa Thailand-nya bakal lebih gencar daripada yang Ms. Sripai tadi."

CHAPTER 12: BOARD THE CHAO PHRAYA RIVER BOAT

Akhirnya kami tidak berhasil mendapatkan informasi dari tour guide mana pun. Kami pun mencoba memasuki ruang tunggu dermaga yang nampaknya cukup ramai dengan calon penumpang baik turis maupun warga setempat. Menurut papan informasi, ada 3 macam warna bendera boat: putih untuk boat biasa yang akan berhenti di tiap dermaga, orange untuk boat semi-express yang akan melongkapi beberapa dermaga, dan yellow untuk boat express yang hanya berhenti di dermaga-dermaga tertentu yang penting. Yang sedikit mengherankan, di ruang tunggu itu ada konter bertuliskan "Information Center". Ketika saya hendak menghampiri konter itu, Ardi mencegah, "Kelihatannya itu buat boat turis-turis asing yang pengen tur keliling sungai, yang perusahaan swasta dan mahal gitu deh". Namun sebenarnya kami tidak yakin. Setelah bimbang selama beberapa menit, dan setelah sekitar 2 buah perahu datang dan pergi, kami akhirnya menghampiri konter itu dan bertanya.

Awalnya orang konter itu sangat ramah dan welcome. Dia menanyakan tujuan kami dan kami menjawab "Wat Pho, Temple of Reclining Buddha". Kemudian dengan ramah orang itu menanyakan apakah kami ingin bolak-balik, atau sekali jalan. Dan ketika saya menjawab sekali jalan, keramahan di wajah orang konter itu langsung memudar dan ia berkata dalam bahasa Inggris, "Oh, kalau yang itu mah kalian tinggal naik aja boat biasa yang berbendera orange, (ga ada urusannya dengan kami)". Ketika saya ingin memastikan bahwa boat yang harus kami tumpangi benar-benar berbendera orange, ia hanya manggut-manggut setengah hati seakan berkata, "Iya, iya. Ya sudah sana, naik yang itu," dan nampaknya dia mengharapkan kami segera pergi dari hadapannya karena kami sama sekali tidak ada urusannya dengan jasa mereka.

Tak lama, orange-flagged boat pun tiba dan kami mengantri berbondong-bondong bersama rombongan lain yang terdiri dari campuran turis dan warga setempat. Patheticnya ketika memasuki pagar batas dermaga, Ardi bertanya pada penjaga, "Is this the orange boat?" dan seketika penjaga itu menjawab, yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Iyeeeh..."

Kami pun menaiki boat dan karena semua kursi telah penuh, kami terpaksa harus berdiri dan berpegangan sekenanya, sementara seorang wanita tua yang merupakan kondektur boat menagih uang masing-masing 13 Baht kepada saya dan kemudian Ardi. Perjalanan di atas sungai lebar Chao Phraya ini ternyata cukup menarik dan berappeal tinggi. Di sepanjang tepian kiri dan kanan sungai, beberapa gedung pencakar langit yang sebagian besar merupakan hotel berdiri kokoh dengan tinggi menjulang, kadang diselangi dengan bangunan-bangunan kuil, pagoda, dan kadang gugusan rumah kumuh di tepi sungai. Setelah sekitar lima belas kali berlabuh dan bertolak di beberapa dermaga, akhirnya kami sampai di Tha Tien Pier (dermaga Tha Tien). Kami turun dengan terburu-buru, karena takut perahu keburu menyingkir pergi dari dermaga dan melanjutkan perjalanan ke dermaga berikutnya. Dari dermaga, kami harus menempuh bagian dalam pondok turis yang menjual berbagai suvenir dan tak lama kemudian kami sampai di sebuah pasar makanan. Tak jauh dari pasar itu, kami tiba di sebuah jalan mobil yang dipenuhi bus pariwisata, taksi yang sedang parkir, dan tentu saja beberapa tuk-tuk yang sedang ngetem. Awalnya kami ingin bertanya kepada seorang pengendara tuk-tuk yang sedang beristirahat mengenai letak Wat Pho dengan Reclining Buddha-nya, namun Ardi segera mengajak saya untuk melihat-lihat ke sebuah bangunan kuil yang unik di hadapan kami, yang dibatasi oleh tembok yang kokoh. Setelah mendekat ke gerbang di tembok itu dan membaca signage di gerbang, kami menyadari bahwa bangunan komplek kuil itu adalah tempat di mana Reclining Buddha tersimpan. Fiuh, untung saja tadi kami tidak jadi bertanya ke pengendara tuk-tuk.

CHAPTER 13: WISATA MANDIRI

Kami memasuki komplek kuil Wat Pho dan langsung menuju pintu masuk kuil yang di dalamnya terdapat patung buddha raksasa yang berwarna keemasan yang sedang tiduran. Ingat salah satu latar battle dari game Street Fighter? Saat bertarung dengan Vega/Sagat, latar di belakangnya merupakan patung buddha yang besar yang sedang berbaring bukan? Ya kira-kira patung ini bentuk dan ukurannya hampir sama seperti patung dalam game itu, namun bedanya patung ini berwarna emas yang mengkilap dan cemerlang. Di komplek kuil ini, ada banyak sekali turis asing seperti turis bule dan turis Jepang yang sedang berwisata beramai-ramai sekeluarga, berjalan berkeliaran sambil melihat-lihat objek wisata ini. Kebanyakan dari mereka didampingi oleh tour guide yang menuntun mereka berziarah di komplek ini. Sesaat sebelum memasuki pintu kuil, kami melihat sebuah tiket booth yang mana di situ tertera harga masuk kuil: 50 Baht. Kalau dilihat, nampaknya turis-turis di sekitar kami langsung masuk saja ke kuil tanpa membeli tiket, namun biarlah... kami kan orang yang jujur. Namun patheticnya, ketika kami masuk melalui pintu kuil pun, tiket yang kami beli sama sekali tidak diperiksa.

Untuk masuk ke dalam kuil, kami harus melepas alas kaki di dekat tempat yang bertuliskan "Hati-hati copet. Jaga barang bawaan Anda". Setelah itu alas kaki kami letakkan di dalam loker, kemudian kami berjalan masuk ke dalam bangunan kuil. Kami menjelajah lorong dan mengitari patung buddha di dalam ruangan ini sambil sedikit-sedikit berfoto-foto.

Patung Reclining Buddha yang termasyhur

Kaki dan telapak kaki Reclining Buddha

Ketika kami sampai pada bagian sisi akhir dari ruangan di dalam bangunan yang kami kelilingi, di mana semua orang menukarkan uang kertas mereka (untuk donasi) dengan berkeping-keping koin yang nantinya akan dicemplungkan ke tiap wadah kendi yang jumlahnya puluhan dan berjejer memenuhi sisa lorong, kami kebingungan karena kami merasa sayang untuk mengeluarkan uang. Awalnya Ardi mengusulkan agar kami segera berbalik arah dan mundur ke pintu masuk, namun saya berkata, "Jangan!"

"Kenapa emangnya?" tanya Ardi.

"Pamali. Kalo diliat sih turis-turis sini semuanya keluar lewat pintu keluar. Di sini kita ga boleh mundur, jalannya harus searah sampai pintu keluar. Ini kan semacam pilgrimage," jawab saya.

"Tau dari mana?" tanya Ardi penasaran.

"Ga tau deh, mungkin aja. Gw kan bikin aturan sendiri biar seru."

Mendengar jawaban itu, Ardi langsung mengeluarkan geraman yang kalau dituliskan dengan tulisan, kira-kira berbunyi, "Kkhhhhh..."

Akhirnya kami memutuskan untuk jalan secepat mungkin menerobos lorong terakhir tanpa sedikit pun menyumbang dan tanpa merasa bersalah. Kami tetap berusaha menunjukkan wajah yang tenang sampai akhirnya kami berhasil keluar dari kuil dan mengenakan kembali sepatu kami. Setelah berjalan beberapa meter dari kuil, Ardi berkata, "Aduh, kita ga bakalan diikutin arwah Buddha kan ya?"

"Emang ada ya? Moga-moga aja nggak," jawab saya.

Lorong terakhir dalam bangunan kuil Reclining Buddha

Menit-menit berikutnya kami isi dengan menjelajah komplek bangunan kuil yang bentuk dan coraknya bermacam-macam. Kami juga banyak mengambil gambar di sini. Ketika kami sudah cukup lelah dan berteduh di bawah pohon yang rindang, sambil mengamati para turis yang terus-menerus berjalan dengan dibimbing pemandu wisata, saya berkomentar dengan bangga, "Wah hebat ya meski kita ga pake tour guide, kita bisa menjelajah tempat ini sendirian."

Tak lama, Ardi menyahut dengan suara cukup kencang dan dengan nada bangga yang terdengar jelas, "Iya! Dengan begini berarti kita lebih mandiri dari bule-bule itu, karena kita sama sekali ga pake tour guide buat ke sini."

Komplek kuil Wat Pho yang dipenuhi turis mancanegara terutama bule dan Jepang

Namun Ardi tak menyadari bahwa beberapa meter di sebelah kirinya, ada seorang laki-laki muda, entah turis atau pemandu wisata, yang sedari tadi telah mendengar pembicaraan kami berdua. Patheticnya, setelah mendengar kata "kita lebih mandiri dari bule-bule itu", orang itu langsung menengok ke arah kami (dan menengoknya itu benar-benar tepat setelah mendengar Ardi berkata demikian!) dan berjalan menghampiri kami. Dia tiba-tiba menyapa kami dengan bahasa Indonesia, "Eh, sama-sama dari Jakarta ya? Eh maksudnya, dari Indonesia, lah..."

Iiiih! Betapa hancur hati kami karena omongan kami yang pathetic tadi didengar dan disimak oleh orang Indonesia yang tentu sangat mengerti bahasa yang kami gunakan! Mana omongan kami tadi patheticnya sangat memuji diri dan membangga-banggakan kemandirian diri lagi! Sungguh memalukan.

Kami berdua hanya menjawab singkat, "Ya," sambil menutupi malu seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Nampak berusaha mencairkan suasana dan merasa kasihan dengan keadaan kami yang tidak didampingi tour guide sehingga hanya dapat berfoto bergantian namun patheticnya masih berusaha tetap tegar dan menyombongkan diri, orang tadi langsung menawarkan, "Mau difoto berdua?"

Aduh ya sudahlah yang penting kami harus cepat-cepat pergi dari orang itu. Kami mengiyakan dan patheticnya saya menyodorkan kamera Ardi yang sedang saya genggam ke orang itu. Kemudian kami difoto dengan latar sebuah bangunan pagoda. Setelah lepas dari situasi pathetic itu, Ardi memprotes, "Ih, kok lo tega-teganya sih menyodorkan kamera punya gw ke orang yang bahkan ga lo kenal?"

Hasil jepretan orang itu

Oh iya ya, betul juga, pikir saya. Tapi ya sudahlah, yang penting dia bukannya merampas barang kami. Kemudian Ardi yang masih antusias dengan bangunan-bangunan lain di komplek itu melanjutkan menjelajah tiap sudut komplek, sementara saya berkali-kali mengingatkan, "Ardi, ini hari Jumat. Sekarang udah jam 11.30 lho? Sebentar lagi solat Jumat."

Akhirnya Ardi berfoto-foto beberapa kali untuk terakhir kalinya, kemudian kami bergegas mencari jalan keluar dari komplek itu menuju tempat kami tadi masuk. Namun entah bagaimana, kami tersasar.

"Aduh, pasti kita telah disesatkan oleh arwah Buddha yang marah karena tadi kita gak nyumbang sedikit pun, dan berjalan mundur," kata Ardi.

Namun untunglah setelah beberapa saat, akhirnya kami berhasil menemukan jalan keluar, dan segera menghampiri sebuah tuk-tuk yang sedang ngetem.

CHAPTER 14: MENGEJAR WAKTU SOLAT JUMAT

Pengendara tuk-tuk yang sedikit banyak mengerti kosakata Inggris itu menanyakan tujuan kami. Menurut peta umum yang terdapat di dekat pintu gerbang komplek Wat Pho, ada 2 masjid yang terletak cukup dekat dengan tempat ini. Meskipun disebut dekat, jarak antara Wat Pho dengan masjid itu paling tidak minimal 2 sampai 3 kilometer. Saya menyebutkan nama masjid menurut peta itu, namun nampaknya pengendara tuk-tuk itu tidak tahu-menahu soal masjid itu. Akhirnya dengan sukarela, si pengendara tuk-tuk yang antusias karena mendapat penumpang itu berjalan meninggalkan tuk-tuknya dan mengikuti saya untuk melihat peta umum yang jaraknya paling tidak 20 meter dari tuk-tuk miliknya. Namun sayangnya, dia tidak tetap tidak tahu letak bahkan keberadaan masjid itu. Tiba-tiba seorang laki-laki tua menghampiri kami dan menanyakan tujuan kami, yang kami jawab dengan sedikit bergumam bahasa Inggris dan menunjuk simbol masjid pada peta itu. Dia pun berseru, "So you're not Thai!?"

Aduh, sebegitu miripnya kah kami dengan orang Thailand? Kemudian si laki-laki tua itu melanjutkan, "You, muslim...? Looking for masjid?" yang kami jawab dengan anggukan.

Laki-laki tua itu pun berdiskusi dalam bahasa Thailand dengan si pengendara tuk-tuk, nampaknya mengenai masjid dan definisinya, serta apa fungsinya. Tak lama, pengendara tuk-tuk yang nampaknya sudah menyerah itu pun berjalan kembali ke tuk-tuknya, sementara laki-laki tua itu masih berusaha mati-matian untuk menjelaskan ke kami sambil berpikir dan mengingat letak masjid yang mungkin dulu pernah dilihatnya.

Kemudian dia berkata, "Pahurat Market... Indian market district. There's a masjid there."

OK, setelah mengucapkan terima kasih, kami kembali ke tuk-tuk tadi dan nampaknya pengendara tuk-tuk itu senang karena kami jadi menaiki tuk-tuknya. Kami menyebutkan bahwa kami ingin ke Pahurat Market, dan setelah tawar-menawar, dia pun mulai mengemudikan tuk-tuknya ke arah tujuan dengan hati riang. Biasanya, orang Thailand baik pengendara tuk-tuk maupun bukan, yang diajak berkomunikasi (atau paling tidak, disapa) oleh turis, sering menanyakan asal negara si turis. Dan nampaknya hampir semua pengendara tuk-tuk yang kami naiki selalu bertanya, "Where you from?"

Tak lama, kami tiba di Pahurat Market dan diturunkan di tepi jalan. Aduh di mana masjidnya? Nampaknya di sekitar daerah ini hanya ada deretan bangunan tua bergaya kolonial yang dipenuhi pasar kaki lima seperti halnya di kota-kota di tanah Melayu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.50! Saya memang tidak yakin solat Jumat di Thailand dimulai pukul berapa, namun tetap saja kami harus bergegas karena kami sama sekali belum mengetahui letak masjidnya! Kemudian saya mencoba melihat papan nama jalan di simpang empat tak jauh dari tempat kami diturunkan (yang mana papan nama jalan tersebut tidak jelas menunjuk ke jalan yang mana). Nama jalan itu memang tercantum dalam indeks peta, namun butuh waktu bermenit-menit bagi saya untuk mencari letak jalan tersebut menurut indeks peta (karena ternyata jalan itu terletak di sisi pojok kiri bawah dari kotak pertemuan baris dan kolom pada peta). Menurut peta rumit Periplus itu, tidak ada masjid di sekitar daerah situ. Namun kami tetap mencoba meng-explore ke dalam daerah pasar itu. Lagipula, di sini kami menemukan banyak orang muslim, yang kebanyakan adalah pria India berpeci dan wanita berjilbab. Namun kebanyakan dari mereka menjawab (dengan berusaha bersikap ramah) bahwa mereka tidak tahu-menahu mengenai letak masjid. Tak lama, dari kejauhan saya sekilas melihat atap kubah berujung lancip, yang tenggelam jauh di balik pedalaman deretan bangunan kolonial yang kumuh dan padat. Kami pun mencari jalan tembus, bahkan sampai berjalan jauh mengitari pasar dengan perasaan was-was karena takut terlambat. Pada akhirnya memang kami menemukan gang sempit yang menuju bangunan itu, namun kelihatannya bangunan itu bukan masjid, melainkan sebuah sekolah madrasah yang berasrama! Dengan perasaan semakin cemas, saya mencoba bertanya (meski takut-takut) pada seorang wanita berjilbab yang sedang menjaga barang dagangannya di pasar di trotoar itu. Menurut keterangan yang disampaikan wanita itu dengan menggunakan bahasa Inggris, di daerah ini tidak terdapat masjid, dan masjid kebanyakan terletak di seberang sungai Chao Phraya. Wanita itu menambahkan, kami harus naik taksi sekitar 40 Baht ke seberang sungai. Aduh semakin paniklah saya, ditambah lagi saya tidak sanggup memikirkan bagaimana jadinya nanti apabila si pengendara taksi tidak tahu-menahu soal letak masjid yang bahkan kami sendiri tidak tahu letak bahkan namanya. Lalu, saya teringat bahwa menurut peta rumit Periplus, tak jauh dari stasiun BTS Taksin, terdapat sebuah masjid. Segeralah kami mencegat dan menaiki taksi, meski Ardi mengeluh kehausan dan ingin membeli minum, yang tidak tercapai.

Taksi itu ternyata membawa kami menempuh jalan memutar ke seberang sungai Chao Phraya, menempuh kepadatan lalu lintas di jalan raya (yang membuat saya semakin panik, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.15), dan setelah beberapa menit, kembali menyeberang sungai Chao Phraya. Akhirnya kami tiba di sebuah pasar di dekat stasiun BTS Taksin, dan menurut peta, masjid itu seharusnya terletak di dalam sebuah gang di samping pusat perbelanjaan Robinson. Setelah sedikit berjalan menyusuri gang yang nampak kotor dan kumuh itu, akhirnya kami menemukan masjid! Dan untunglah di pelataran masjid masih banyak orang yang sedang sibuk melepas sepatu dan mengambil air wudu. Fiuh... berarti kami memang belum terlambat kan.

Setelah mengambil air wudu, kami naik ke lantai 2 dan duduk mendengarkan khutbah yang disampaikan dalam bahasa Thailand oleh seorang khatib yang tidak jelas orang Thailand atau orang Melayu. Dan kelihatannya kebanyakan orang yang sedang mendengarkan khutbah di dalam masjid ini terlihat seperti orang Melayu, meski mungkin saja mereka adalah orang asli Thailand. Agak ganjil menurut saya, karena selama ini yang pernah saya lihat di wilayah Asia Tenggara yang pernah saya kunjungi, orang Islam dan khatib Jumat selalu berbicara bahasa Melayu atau pun bahasa Inggris, seperti halnya di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Namun meski begitu, ada perasaan tidak asing ketika saya duduk di dalam masjid ini, meski letak masjid ini sangat jauh dari Indonesia dan orang-orang di sekitar saya kelihatannya menggunakan bahasa Thailand sebagai bahasa sehari-hari mereka.

Sekitar pukul 13.00, khutbah selesai dan iqamah dikumandangkan. Semua jamaah berdiri dan solat Jumat pun dimulai. Secara keseluruhan, tidak banyak perbedaan antara solat Jumat di negeri Gajah Putih ini dengan di Indonesia. Tajwid dan makhraj saat membaca bacaan ayat Quran juga sama dengan di Indonesia. Yang menjadi perbedaan hanya beberapa hal, yaitu:

  1. Setelah imam selesai membaca surat Al-Fatihah, ada jeda sekitar 1 detik, barulah kemudian makmum secara bersamaan mengucapkan "amin" beramai-ramai dengan kompaknya.
  2. Pada tahiyat akhir, makmum baru mengucapkan salam (secara bersamaan) saat imam mengucapkan salam yang kedua (kalau hal yang ini mungkin juga ditemui di beberapa masjid di Indonesia).
  3. Jika pada masjid-masjid yang pernah saya kunjungi untuk solat Jumat di Indonesia kebanyakan jamaah langsung berdiri dan beranjak pergi ketika pembaca doa usai solat mengucapkan "walhamdulillahi rabbil alamin" dan mengabaikan "shalallah ala Muhammad, shalallah alaihi wasallam", maka pada masjid Thailand ini jamaah semuanya masih tetap duduk dan ikut mengucapkan shalawat itu beramai-ramai, dan setelah selesai baru beranjak pergi.
Selesai berurusan di masjid, kami yang lapar dan haus karena belum bersantap siang dan kelelahan karena telah hilir-mudik kesana-kemari ini pun mampir ke Robinson dan menyerbu KFC. Saya agak penasaran juga dengan rasa KFC di Thailand, karena KFC di Singapura rasanya berbeda dan jauh lebih enak daripada yang di Indonesia (apa jangan-jangan karena memakai minyak babi? aduh, jangan sampai deh, hehe). Ternyata ayam KFC di sana rasanya sama saja dengan yang di Indonesia. Kami makan sambil terpaksa mendengar alunan jingle KFC dan lagu Tata Young yang diputar berulang-ulang. Setelah puas makan, kami minum dengan buasnya dan mencatat serta menghitung pengeluaran.

CHAPTER 15: THAILAND CULTURAL CENTER & BANGKOK SYMPHONY ORCHESTRA

Tujuan kami berikutnya adalah Thailand Cultural Center. Kami penasaran dengan musik klasik di Thailand, oleh karena itu kami bermaksud mengunjungi tempat itu yang merupakan markas Bangkok Symphony Orchestra. Kami bergegas ke stasiun BTS Taksin dan naik kereta menuju stasiun BTS Sala Daeng. Di stasiun itu kami turun dari kereta, keluar dari stasiun, dan memasuki stasiun MRT/subway Silom. Sementara ini baru terdapat satu buah jalur kereta MRT saja. Untuk memasuki stasiun MRT, kami turun ke bawah tanah dengan menggunakan eskalator. Dan, wow, sungguh mengejutkan! Stasiun MRT di Bangkok benar-benar sama persis seperti di Singapura! Sangat luas, lega, terang, dan dipenuhi iklan di dinding. Dan pastinya stasiun MRT di Bangkok ini jauh lebih bagus daripada stasiun MRT di Kuala Lumpur yang cenderung lebih mirip stasiun Gambir bahkan Cikini. Hanya saja, stasiun MRT di Bangkok ini sangat sepi, bertolak belakang dengan stasiun MRT di Singapura yang sangat ramai dan agak sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Aduh jangan-jangan perusahaan MRT ini merugi dan sedang menuju ambang kebangkrutan karena sepinya penumpang? Padahal menurut kabar, mereka berencana untuk menambah beberapa jalur MRT lainnya. Dan menurut informasi yang saya dengar baru-baru ini dari Wikipedia, pada tahun 2005 di stasiun MRT tempat tujuan kami, yakni stasiun Thailand Cultural Center, memang pernah terjadi tabrakan maut antara 2 kereta subway yang sedang beroperasi pada jam pulang kantor (yang tentunya sedang penuh dengan penumpang), yang telah menelan ratusan korban. Apa mungkin itu menjadi salah satu penyebab sepinya pengguna MRT ini? Padahal kalau dilihat, harga tiketnya agak lebih murah lho daripada BTS.

Stasiun MRT di Bangkok

Eskalator menuju luar stasiun MRT

Setelah beberapa menit di dalam kereta, kami turun di stasiun Thailand Cultural Station. Kami naik eskalator menuju permukaan bumi dan berjalan di sepanjang trotoar, mengikuti arah yang ditunjuk signage bertuliskan "Thailand Cultural Center". Cuaca dan matahari saat itu sungguh terik dan panas menyengat, sehingga saya menyempatkan diri membeli sebotol air mineral di 7 Eleven. Di sepanjang perjalanan itu, kami juga melewati beberapa tempat makanan pinggiran yang nampaknya menggugah selera makan Ardi.

Akhirnya setelah perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan itu (terutama karena matahari yang panas terik), kami tiba di sebuah komplek bangunan yang kami duga sebagai Thailand Cultural Center. Kami membayangkan Thailand Cultural Center adalah suatu tempat yang berarsitektur futuristik dan mewah seperti bangunan Esplanade di Singapura, namun... nyatanya komplek bangunan ini lebih terlihat seperti universitas tua yang membosankan, atau mungkin rumah sakit tua, sehingga sedikit banyak kami tidak yakin kalau tempat ini memang tempat yang kami maksud. Di manakah Bangkok Symphony Orchestra yang termasyhur itu? Di manakah concert hall tempat mereka biasa mengadakan konser? Namun karena begitu letih, untuk sementara kami mengabaikan pikiran-pikiran itu dan memutuskan untuk duduk sejenak di pembatas tanaman hias, seperti alay-alay yang duduk-duduk di tempat yang tidak semestinya.

Sejenak kami merasa kebingunan. Niat kami untuk menjelajah Thailand Cultural Center nampaknya sudah surut sepenuhnya, namun berat rasanya untuk kembali berjalan ke stasiun MRT yang cukup jauh itu. Beberapa menit kemudian, kami memaksakan diri untuk bangkit dan kembali berjalan menyusuri jalan yang telah kami tempuh tadi. Di tengah perjalanan, air minum kami habis, dan tepat di situ, kami melihat pom bensin yang dilengkapi dengan kedai kopi mewah: NINETY-FOUR COFFEE. Tanpa mempedulikan akal sehat, kami yang sangat ingin memanjakan diri sambil duduk-duduk santai sambil minum di tempat yang mewah dan sejuk ber-AC langsung saja menghampiri kedai kopi itu dan masuk. Setelah saya memesan Iced Chocolate yang harganya 75 Baht (padahal kopi-kopian hanya seharga 60-an Baht), saya dan Ardi duduk di kursi di meja dekat kaca. Oh ya, di sini (dan nampaknya di berbagai tempat di Thailand) orangnya tidak mengerti saat saya menyebut "Ice", karena mereka menyebut "Ice" dengan "I" (Ai).

Kedai kopi mewah "NINETY-FOUR COFFEE"

CHAPTER 16: MEMBASAHI DAN MENGOTORI BARANG CONTOH DI MALL MEWAH

Setelah beristirahat lebih dari setengah jam, kami mendapatkan tenaga kembali dan langsung bergegas menuju stasiun MRT. Kami naik kereta menuju stasiun MRT Sukhumvit (atas desakan Ardi) untuk melihat keadaan di situ yang kabarnya merupakan tempat yang berappeal tinggi (nampaknya Ardi membayangkan macam-macam). Namun yang kami jumpai hanya pasar kaki lima di tepi jalan.

Langit mulai mendung berawan. Nampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Kami pun bergegas menuju stasiun BTS Asok yang letaknya bersinggungan dengan stasiun MRT Sukhumvit. Kami naik kereta dan turun di stasiun BTS Chit Lom. Ketika kami keluar dari stasiun, hujan sudah turun dengan lebatnya. Dan patheticnya kami malah turun ke level permukaan tanah. Dan di bawah lindungan atap pertokoan di tepi jalan, kami terjebak. Tapi saya memang hampir selalu membawa payung, meski payung kecil. Saya kemudian bermaksud melanjutkan perjalanan dan berteduh di mall terdekat, yaitu Gaysorn yang kabarnya merupakan the most upmarket shopping mall in town (tapi kelihatannya gak sebegitunya). Namun ternyata Ardi mencegah.

"Di sini aja deh," keluhnya.

"Sampai kapan?"

"Sampai hujannya reda lah. Gw kan lagi sakit. Aduh kayaknya gw terjangkit flu babi deh," balasnya.

Aduh, kalau menunggu sampai hujan berhenti, bisa-bisa kami terjebak dan tak bisa bergerak kemana-mana sampai malam atau bahkan sampai besok pagi. Rugi waktu! Mana kabarnya Bangkok sedang musim hujan lagi. Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan! Akhirnya saya mengembangkan payung lipat biru yang bermotif bunga-bunga itu (habisnya ga ada payung lain), dan menyeret Ardi yang akhirnya setuju meski ragu-ragu, menerobos derasnya guyuran hujan.

Memang sih, jarak dari tempat kami turun dengan mall itu tidak seberapa. Kami hanya harus menempuh beberapa meter trotoar dan menyebrang di sebuah pertigaan untuk sampai ke mall itu. Namun karena kecilnya payung yang dipaksakan untuk dipakai dua orang, kemeja terutama punggung kanan dan belakang saya basah kuyup. Sementara kaos Ardi juga tak kalah basahnya. Selain itu payung kami juga beberapa kali hampir terbang tertiup angin yang sangat kencang itu.

Sekilas saya melihat orang-orang berjalan di level atas kami. Ya ampun! Kan ada skywalk yang aman terlindung menuju berbagai mall, salah satunya Gaysorn itu. Alangkah patheticnya kami harus berjuang menempuh hujan dengan bersusah-payah. Namun karena sudah tanggung, kami melanjutkan berjalan di bawah guyuran hujan. Masa kami harus balik lagi?

Akhirnya kami memang sampai di mall mewah itu, meski dalam keadaan basah kuyup total. Begitu memasuki bagian dalam mall itu, kami langsung menuju ke toilet. Saya hanya mencuci tangan dan sejenak mengeringkan baju saya dengan pengering tangan (meski nampaknya percuma), sementara Ardi dan beberapa laki-laki lainnya buang air kecil di urinal. Lalu, tiba-tiba pintu toilet terbuka dan seorang petugas cleaning service WANITA berjalan masuk dan mengepel-ngepel lantai ruangan toilet dengan cueknya (saya sendiri tidak yakin dengan tujuan dia mengepel dan apa yang dipelnya, karena lantai itu nampak bersih dan tidak becek), bahkan sambil melihat ke deretan urinal dengan santainya dan tidak peduli bahwa di deretan urinal ada banyak laki-laki yang masih buang air kecil.

Keluar dari toilet, kami berjalan-jalan sejenak dengan maksud menunggu baju kami kering, dan kebetulan kami tiba di sebuah sofa yang nampaknya empuk dan mahal, yang terletak tepat di sebuah toko. Ketika saya akan duduk, nampaknya Ardi mencegah dengan ragu-ragu, "Eh ini bukannya barang contoh ya?"

Mengacuhkan ucapannya, saya pun duduk dengan menyender agar semua air di baju saya pindah ke sofa itu. Melihat ada beberapa orang selain saya yang duduk di situ, Ardi pun akhirnya duduk dan nampaknya juga sedang mentransfer kadar air di bajunya ke sofa itu.

Cukup lama kami beristirahat di sofa itu dengan santai, sambil membicarakan rencana yang akan kami lakukan nanti malam. Akhirnya setelah baju kami cukup kering, kami mulai beranjak dan cepat-cepat pergi dari situ (sekilas saya melihat bercak basah cukup besar yang menodai sofa "barang contoh" itu). Lalu kami berjalan ke luar mall dan mendapati hujan sudah reda. Tanpa membuang-buang waktu, kami pun menjelajah shopping district Siam yang mewah ini sambil menikmati senja dan berjalan santai. Kami berjalan sepanjang jalan di level tanah, melewati stasiun BTS Siam, sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Kami melewati mall Central World, Siam Paragon, Siam Square, Siam Center, Siam Discovery Center, dan akhirnya melintas tak jauh dari MBK Shopping Complex yang nampaknya merupakan sebuah mall alay.

Central World di kala senja

Pelataran mall Gaysorn

Pelataran Central World

Pelataran level tanah Siam Paragon

Suasana sekitar Siam Square

Pelataran Siam Center

Pelataran Siam Discovery Center

Pelataran Siam Discovery Center di persimpangan yang bersebrangan dengan MBK Shopping Complex

CHAPTER 17: MASJID DARUL AMAN YANG "AMAN"

Kami kemudian memaksakan untuk melanjutkan berjalan sedikit lagi sampai tiba di perempatan Ratchadewi yang terletak tak jauh dari stasiun BTS Ratchadewi. Wah hebat juga ya kami berhasil berjalan melewati 3 stasiun BTS dengan berjalan kaki, haha. Langit nampaknya semakin temaram, dan waktu magrib pun menjelang. Penasaran (lagi) dengan keadaan masjid di Thailand, saya mengajak Ardi untuk mampir dan solat magrib di sebuah masjid yang menurut peta rumit Periplus terletak tak jauh dari perempatan itu, ke arah barat. Setelah menempuh pedestrian sepi yang mulai gelap yang terisi oleh 2 restoran muslim yang letaknya bersebelahan, kami pun tiba di mulut sebuah gang yang memiliki papan tanda yang menunjukkan keberadaan masjid di dalam gang itu. Lagi-lagi, masjid ini memang sederhana dan apa adanya, seperti halnya masjid-masjid di pemukiman yang dibangun dengan biaya sumbangan dari orang-orang yang kebetulan melintas. Karena azan magrib belum berkumandang dan di dalam sudah ada beberapa orang yang nampaknya sudah saling mengenal dengan baik, sedang berkumpul dan bercengkerama (membuat kami segan untuk masuk), kami pun memutuskan untuk menunggu di bangku di halaman masjid.

Saat azan magrib sedang dikumandangkan, kami masih duduk-duduk santai saja, hingga tak lama setelah itu iqamat mulai dikumandangkan. Kami buru-buru melepas sepatu, memasuki masjid, dan berwudu dengan tergesa-gesa. Kemudian kami segera mengambil posisi di saf para jamaah.

Kadang, kalau sedang solat berjamaah, suka ada kan makmum yang membunyikan atau sedikit menghentakkan awal kalimat dalam solatnya dengan agak jelas sampai terdengar makmum yang lain (yang umumnya seharusnya dibaca dengan lirih)? Seperti karena kebiasaan? Nah, makmum yang seperti itu saya temukan saat solat magrib berjamaah ini.

Akan tetapi... lama-kelamaan kok hentakannya makin lama makin keras dan makin menghentak dengan begitu mengagetkan ya?? Seperti "AL!!-(hamdulillah)", "ASY!!!-(hadu), "ATT!!!!!-(tahiyyatul)" dan seterusnya sampai 3 rakaat. Aduh... Bahkan sepertinya suara imam juga kalah deh... Mana saya solatnya cuma dipisahkan oleh 1 orang lagi, dari si sumber suara itu. Tentu saja telinga dan jantung saya jadi terkaget-kaget karena hentakannya yang keras dan tiba-tiba itu. Akhirnya selama solat, saya malah menanti-nanti dan menunggu hentakan berikutnya yang makin lama makin keras. Memasuki rakaat ketiga, nampaknya orang itu malah kesulitan sendiri gara-gara kebiasaan buruknya itu. Karena suatu hal, nampaknya dia terpaksa mengulang sebuah doa dari awal sampai akhir, dan akhirnya dia terlambat dan tertinggal! Bahkan tertinggal jauh sampai 3 gerakan, dan patheticnya dia sama sekali tidak berusaha mengejar... Ketika imam menyudahi solat dengan dua kali salam, orang itu bahkan baru beranjak dari sujud terakhirnya untuk tahiyat akhir. Alamak... Tapi saya berusaha untuk tidak memikirkannya.

Selesai solat, saya dan Ardi kembali mengenakan sepatu dan berjalan melintasi pedestrian, dan melewati kedua restoran muslim itu. Di depan restoran itu, Ardi mulai berkomentar, "Aduh Mick, sumpah gw takut banget tadi".

"Dia bukannya orang yang mengalami gangguan jiwa yang masih sanggup beribadah solat ya?" balas saya sambil mengingat-ingat hentakan suara orang tadi yang dahsyat itu.

"Bukan! Itu kayaknya orang-orang aliran-aliran aneh gitu tau!"

"Hah? Masa sih? Kalo dia emang menganut aliran yang gak sepaham dengan ajaran Islam pada umumnya, mestinya dia ga bakalan ikut jadi makmum solat berjamaah tadi kan?"

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu memang nampaknya masih menjadi misteri, namun tiba-tiba, saya menyadari... Oh DAMN!! Jam tangan TAG HEUER edisi F1 saya tidak ada sodara-sodara!!! Yang sudah dengan susah payah dibelikan orang tua saya saat mereka bertamasya ke negeri Temasik (Singapura), meskipun sebenarnya saya tidak minta. Seingat saya, jam itu terakhir saya pegang saat hendak berwudu. Kemudian sambil berusaha tenang, saya berkata ke Ardi, "Eh jam tangan gw ga ada. Kayaknya ketinggalan deh", yang patheticnya di telinga Ardi terdengar sangat santai dan tanpa beban.

Kami pun berjalan cepat kembali ke masjid itu. Saat berjalan, Ardi berkata, "Aduh, kok lo bisa sih ninggalin jam di tempat itu? Emang lo ga tau, di masjid kan banyak maling!!" Dan dia berkata itu dengan sangat yakin sehingga membuat saya semakin panik. Ardi memperkeruh keadaan banget sih.

Sesampainya kami di masjid itu lagi, sebagian besar jamaah nampaknya sudah pulang. Yang tersisa hanyalah beberapa orang tua muslim yang kembali duduk lesehan dan berkumpul sambil bercanda dan bercengkerama, dan beberapa orang alim yang dengan rajin masih duduk tenang di dalam masjid sambil meluangkan waktu mereka untuk membaca ayat-ayat Al-Quran.

Secepat kilat, saya kembali ke tempat wudu dan memeriksa kalau-kalau jam tangan saya masih ada di situ. Dan ternyata TIDAK ADA! Aduh, sepertinya ini bukan mimpi. Terlepas dari nilai harganya, sebenarnya jam tangan bagi saya memang tidak begitu berharga (dibandingkan dengan file-file hasil ulikan dan aransemen lagu-lagu yang tersimpan di harddisk komputer abang saya), tapi bagaimana jadinya nanti kalau saya pulang ke tanah air tanpa membawa jam tangan itu? Dan tentu hari-hari berikutnya di Thailand ini bakal saya jalani dengan perasaan cemas dan was-was, dan apa artinya perjalanan ini tanpa suasana hati yang riang gembira. Pikiran saya diperkeruh oleh pemikiran, "Ternyata ke Thailand mahal ya, sampe harus mengorbankan jam tangan" dan juga "Ternyata Thailand tidak bersahabat sampai merenggut jam tangan saya".

Akhirnya saya dan Ardi terdiam di luar, kebingungan. Saya bingung hendak bertanya ke siapa (karena begitu segan dengan orang-orang yang gencar berbincang-bincang dalam bahasa Thailand itu), dan juga khawatir jangan-jangan jam saya itu sudah diembat oleh maling. Untunglah Ardi orangnya pengertian dan tidak memperkeruh suasana. Dia hanya diam dan mendengarkan keluh kesah saya yang tidak tahu harus berbuat apa (dan nampaknya Ardi berpikir dengan cemas, "Aduh sampe kapan gw harus terus di sini? Kan sayang waktu gw terbuang gara-gara jam yang hilang").

Di tengah situasi yang genting itu, tiba-tiba seorang pria berbadan gempal, berkulit hitam pekat, dan berwajah seram datang memperkeruh keadaan dengan menghampiri kami dan bertanya-tanya kepada kami sambil menunjuk ke ikatan tali pada sepatu yang sedang dipegangnya. Ardi terlihat sangat ketakutan dan berusaha menolak (meski tidak mengerti maksud yang ingin diutarakan oleh orang itu). Saya sendiri menafsirkan ia ingin minta bantuan untuk melepas simpul mati tali sepatunya. Tapi ya sudahlah, itu kan masalah kecil bagi dia.

Sementara itu, sudah dua bahkan tiga kali saya mondar-mandir keluar-masuk masjid untuk menghampiri orang yang kira-kira bertugas sebagai penjaga masjid, namun tidak membuahkan hasil.

Dan setelah stagnasi selama hampir setengah jam (atau mungkin satu jam? saya tidak ingat), akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada pria bersarung yang sedari tadi telah lama membaca Quran (yang membuat saya ragu untuk bertanya, karena saya khawatir kalau-kalau menginterupsi orang yang sedang membaca Quran merupakan suatu perbuatan dosa?). Begitu kesempatan itu muncul saat ia berhenti membaca Quran, saya dibantu Ardi langsung bertanya menggunakan bahasa Inggris ke orang itu kalau-kalau dia bisa berbahasa Melayu. Dengan bahasa isyarat (dan dengan tidak ramah dan muka tidak senang), dia mengaku bisa, dan selanjutnya hanya memberi isyarat saja yang baik saya maupun Ardi tak ada yang mengerti maksudnya. Dia hanya menunjuk-nunjuk ke gerombolan orang-orang tua yang sedari tadi bercengkerama. Akhirnya dengan mengumpulkan segenap keberanian, saya pun menghampiri gerombolan itu dan bertanya, "Do you speak English?"

Salah seorang dari mereka menjawab, "No" dan yang lain mengangguk-angguk. Nampaknya orang-orang ini jauh lebih ramah daripada pria bersarung tadi. Dan kelihatannya orang-orang ini merasa bersemangat karena ada hal yang tak biasanya terjadi.

"Malay? Indonesian?" tanya saya lagi. Dan si penjawab tadi kemudian menunjuk ke arah si pria bersarung itu. Ah, malas lah kalau harus kembali berhubungan dengan pria bersarung itu, pikir saya. Akhirnya saya memulai pertanyaan, meski saya merasa harapan sudah sangat tipis.

"I've left my watch over there," kata saya sambil menunjuk ke arah tempat wudu, dan sambil memberi isyarat dengan menepuk-nepuk pergelangan tangan kiri saya.

Seketika orang-orang itu berseru seperti telah mendapat pencerahan. Dan orang yang menjawab pertanyaan saya tadi mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik di dekatnya. Dan ternyata itu adalah jam tangan saya!!! Hore...! Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga. Tak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan terima kasih, saya akhirnya dengan pathetic menyalami mereka yang jumlahnya sekitar 5 orang itu, satu per satu sambil mengucapkan kata "Thank you" yang saya buat agar terdengar seapresiatif mungkin. Bingung bagaimana cara untuk memohon diri dengan sopan pada mereka, akhirnya saya hanya mengucapkan, "Assalamualaikum", dan kontan mereka menjawab salam dengan raut wajah dan perasaan yang bahagia, mungkin turut berbahagia karena akhirnya jam saya yang tertinggal berhasil ditemukan.

Saat-saat berikutnya, saya pun berjalan dari masjid dengan perasaan yang sungguh lega dan dengan wajah berseri-seri. Ternyata Masjid Darul Aman ini memang seaman namanya.