Ok, setelah sebelumnya telah mencari informasi mengenai shuttle bus ke Bogor, ditemani Sita yang sudah bergaya optimal dengan mengenakan rok sangat pendek dan loose socks (katanya dia ingin bergaya di café-café yang gw bilang mewah itu—meski gw sendiri ga tau keadaan di sana seperti apa dan hanya pernah mendengar dari cerita Kynan yang terdengar menarik dan menggiurkan), gw berangkat ke GI naik taksi untuk ketemuan dengan Novi dan naik shuttle bus dari Jakarta City Center (JaCC) yang terletak ga jauh dari GI. Oh ya, bahkan untuk pergi ini, gw sampai membawa gelas kosong lho, untuk jaga-jaga kalau ternyata harga kopinya tidak layak dan terpaksa harus membagi 2 gelas kopi menjadi 3 porsi. Selain itu gw juga bawa sebotol air mineral dan sekaleng Coca-Cola, biar hemat. Tapi gw ga bawa bekal seperti biasa sih, hehe. Selain itu untuk melengkapi kebutuhan di jalan, gw juga membawa kompas yang label harganya belum dicopot dan peta Jabotabek yang entah sejak kapan akhirnya menjadi hak milik gw dan orang-orang di rumah.
Sekitar jam 11.30, gw dan Sita nyampe di GI, dan tiba-tiba Novi menelpon, nitip minta dibeliin roti polos dan air mineral, karena di Bogor nanti kemungkinan besar dia gak akan bisa ikut makan, karena banyak pantangan yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. OK, kami pun membeli roti di Breadtalk. Ketika Sita akan membayar roti-rotinya di kasir, gw menyinggung soal hutang-hutangan taksi tadi. Dan Sita langsung berbisik, “Entar aja ya, jangan sekarang”. Nampaknya dia malu karena udah gaya-gaya gitu tapi naik taksi. Langsung aja gw bilang dengan suara cukup kencang, “Et dah Sit, tadi dari Kampung Melayu capek bener yak gara-gara panas-panasan di angkot”. Sementara mbak-mbak kasirnya berusaha menahan senyum sambil mengamati gaya pakaian Sita, yang diharapkan Sita dapat membuatnya jauh dari hal-hal yang menurutnya kampungan, dan Sita terlihat kesal, sangat malu, dan kelihatannya ingin segera menghilang dari situ. Cepat-cepat Sita menyelesaikan pembayaran dan kami pun bergegas untuk membeli air mineral di Century. Ketika akan membayar, kasir menanyakan kalau-kalau Sita punya kartu member, dan cepat-cepat ia membuka tas, mengeluarkan dompet, dan sibuk mencari kartu member Century yang sudah ketekuk gara-gara kebanyakan barang di dompetnya. Menemukan ide yang tepat, gw pun berkata di dekat kasir dan Sita, “Et dah, kartunya ampe ketekuk gitu, apa gara-gara tadi kita desek-desekan naik Kopaja dari Tenabang yak?” Sementara mbak-mbak kasir itu menahan senyum, Sita cepat-cepat menyelesaikan pembayaran, lalu kami pun bergegas untuk ke Rama Lobby untuk menunggu Novi di tempat duduk yang mewah.
Bahkan di sofa mewah yang selain kita ada beberapa orang lain yang nampaknya cukup berada yang ikut duduk itu pun gw masih belum berhenti menirukan logat Betawi dan membahas hal-hal yang berbau kampungan menurut Sita. Hal ini nampaknya menyebabkan kesabaran Sita habis dan menyuruh gw berhenti bicara hal-hal itu. Dia bilang sambil berusaha berbicara dalam bahasa Inggris, yang diharapkannya dapat membuatnya terdengar lebih berkelas, meski tidak, karena aksen Indonesia bahkan Jawa-nya masih cukup terdengar, “Please stop talking like that,” dan ia menambahkan, “It’s so kampung aa~” dengan aksen yang dipercayainya sebagai aksen bule Prancis (karena bosnya yang orang Prancis sering mengucapkan itu), meski menurut gw terdengar jauh lebih mirip logat Mangga Dua.
Tak lama, Novi muncul dan kami bergegas menuju tempat keberangkatan shuttle bus. Aduh cuaca sangat terik dan kami berjalan menyusuri trotoar-trotoar Jakarta yang sempit dan kurang menarik. Setelah menceritakan segala kejadian tadi pada Novi, bahkan nampaknya Novi mulai ikut-ikutan terbawa logat Betawi dan menambahkan partikel ‘yak’ di ujung kalimat apa pun. Sampai di depan gedung Thamrin City yang seharusnya merupakan JaCC, gw mencoba menelpon kembali call center JaCC untuk memastikan jadwal keberangkatan shuttle bus, setelah sebelumnya udah nelpon berkali-kali tapi ga diangkat. Eh kali ini diangkat, dan gw disuruh menunggu karena orang yang ngangkat telepon itu harus nanya dulu. Lumayan lama, dan akhirnya setelah mungkin sekitar 5 menit, dia baru menyampaikan kabar buruk, “Hari ini shuttle busnya ga beroperasi, libur”. Duh.
Ketika gw menyampaikan kabar itu, langsung saja Sita menyetop taksi yang penumpangnya baru aja turun, dan kami semua langsung bergegas menuju Stasiun Gambir untuk naik kereta ekspres Pakuan. Kami teringat kisah-kisah eksibisionis yang unik dan adorable yang kabarnya sering ditemui di kereta ekonomi dan juga kisah seputar ibu-ibu berkerudung yang membawa serta anaknya untuk selalu keluar di siang hari dan menuh-menuhin kereta ekonomi, membuatnya menjadi sesak, meski tidak jelas tujuannya, dan suka mencolek pemuda seperti Kynan yang duduk dan pura-pura tidur, untuk gantian dengan cara paksa.
Sampe di stasiun, hm… sepertinya suasananya mulai mencekam karena stasiun tempat ramai yang agak rawan, sementara Sita berharap rok pendeknya tidak menarik perhatian. Kami langsung menuju loket dan membeli 3 lembar tiket kereta ekspres yang masing-masing berharga Rp13.000,00. Dari situ kami menaiki eskalator lalu mendaki tangga ke platform 3. Wah sekilas mirip stasiun kereta BTS di Bangkok deh, atau kereta metro di Manila, meski kenyataannya beda jauh. Tak lama, kereta yang kami tunggu tiba, dan kami langsung masuk dan duduk di dekat pintu masuk. Hm… sedikit agak-agak bau kotoran kambing… dan Sita merasa mual dan ingin muntah karena bau itu. Meskipun begitu, kereta ini kabarnya merupakan sumbangan dari Jepang lho… Dan kelihatannya memang benar sih, soalnya di Jepang juga bagian dalam keretanya persis seperti ini. Bahkan masih terdapat sedikit tulisan Jepang di dinding dalam kereta.
Tak lama, kereta mulai bergerak dan berjalan melayang di tengah Jakarta. Beberapa menit kemudian, kereta mendarat dan menyusuri perumahan-perumahan yang liar di tepi rel kereta. Pemandangan ini terus berlanjut sampai 45 menit berikutnya, ketika kami akhirnya tiba di pemberhentian terakhir: Stasiun Bogor. Pintu pun terbuka dan… wah, ternyata kami turun dari kereta harus setengah loncat, karena kami turunnya bukan ke platform melainkan ke rel di sebelahnya. Nampaknya ini membuat Sita kesulitan karena rok pendeknya.
Aduh suasana stasiun ini sekilas mirip stasiun Bandung deh. Orang ramai berlalu-lalang, dan banyak pedagang meramaikan suasana stasiun yang kotor dan kumuh (Sita terlihat panik dan ketakutan karena salah kostum). Menurut rencana, tadinya kami ingin naik taksi dari stasiun dan langsung menuju Macaroni Panggang. Namun, begitu kami sampai di pintu keluar stasiun, yang ada hanya gang pasar yang kotor, becek, ramai, dan dipenuhi angkot yang merayap dan yang ngetem. Karena bingung mau naik apa untuk ke Macaroni Panggang, Sita dan Novi berinisiatif untuk bertanya pada petugas stasiun yang dengan ramah menjelaskan. Bahkan, dia mau mengantar Neng Sita naik angkotnya. Namun Sita menolak, kemudian berterima kasih.
Aduh gw merasa Sita salah tempat deh mengenakan rok sangat pendek di tempat seperti ini. Karena panik dan ketakutan, Sita langsung naik ke salah satu angkot 03 yang ngetem. Gw dan Novi mengikuti.
Cukup lama angkotnya ngetem, nunggu sampe penumpangnya penuh. Bahkan dengan pathetic Novi berseru kepada supir angkotnya, “Berhenti di Macaroni Panggang ya Bang!” meski angkot itu belum jalan-jalan juga. Terus gw bertanya ke Sita, “Emangnya kita ga bisa langsung naik angkot-angkot yang merayap itu ya? Kenapa kita harus naik yang ini?”
“Aku kan takut dan panik, jadi aku langsung naik aja. Kukira tadinya kita perginya ke tempat yang orang-orangnya educated gitu,” kata Sita.
Akhirnya setelah sekitar 15 menit yang terasa seperti 1 jam, angkot mulai jalan dan merayap menempuh gang pasar yang ramai lagi sempit, kotor, dan kumuh itu. Beberapa saat kemudian, angkot mulai memasuki jalan besar yang mengitari Kebun Raya Bogor. Melihat kami yang terlihat jelas bukan orang Bogor ini, seorang penumpang di dekat kami sampai memberi tahu kami di mana kami harus berhenti untuk mencapai Macaroni Panggang. Bahkan dia juga menjelaskan ke kami seperti halnya tour guide, “Di samping kita ini Kebun Raya Bogor, dan gak jauh dari situ ada Istana Bogor”.
Wah tamasya kami benar-benar seperti tur wisata. Kemudian kami turun dari angkot dan berjalan kaki menghampiri restoran Macaroni Panggang, meski sempat tersasar sedikit karena salah masuk jalan. Untunglah kami dibantu oleh seorang nenek-nenek yang baik hati. Ternyata orang Bogor kebanyakan memang ramah-ramah ya, meskipun menurut gw di Jakarta rasanya lebih aman. Oh ya, ternyata suasana di sini gak seperti yang gw bayangkan! Lebih seperti hutan di pegunungan, dengan jalanan yang naik turun. Mana trotoar lebar yang indah dari batu alam yang dihiasi dengan air mancur dan tanaman hias? Mana kedai-kedai mewah pinggir jalan yang berpayung-payung dan berdekatan satu sama lain? Aduh gw merasa telah dibohongi oleh Kynan deh.
Akhirnya tibalah kami di Macaroni Panggang yang terkenal itu. Kami bermaksud memesan yang special yang ukuran small, namun ternyata semua ukuran small baik yang biasa maupun special sudah habis. Makaroni special yang berukuran medium harganya mahal, 80ribuan, sehingga akhirnya kami memesan 1 makaroni yang biasa ukuran medium, harganya 40ribuan. Gw memesan teh panas seharga 500 perak, sementara Sita dan Novi memesan minuman seperti jus alpukat yang ternyata habis, dan akhirnya harus digantikan dengan jus jambu. Karena pantangan dan tidak boleh makan makanan seperti itu, Novi bahkan terlanjur memesan 1 porsi makaroni panggang yang sama, untuk dibungkus dan dibawa pulang. Dan Sita memperkeruh keadaan dengan berkata, “Langsung pesen buat dibungkus? Emang gak dicobain dulu rasanya gimana?“ Dan tak lama bungkusan makaroni yang sudah tidak bisa dibatalkan itu langsung diantar ke meja kami.
Dan ketika pesanan kami datang, baunya memang enak, tapi pas dicoba… Hm… Jujur, rasanya kok biasa aja ya? Kurang rasa dan kurang keju. Enakan makaroni di pesta-pesta keluarga gitu deh perasaan. Karena porsi medium cukup besar, kami berjuang menghabiskan makaroni itu, dan bahkan Novi yang berpantangan pun membantu dengan menghabiskan dua potong kecil. Sementara itu Novi menyesal karena telah memesan makaroni yang sama seharga 40ribuan untuk dibawa pulang dan juga telah memesan jus yang jauh lebih mahal daripada segelas teh panas.
Makan makaroni dengan perasaan tidak bahagia
Setelah eneg makan makaroni, kami menuruni lereng bukit untuk menuju kedai kopi mewah Koffie Pot. Mudah-mudahan yang ini sesuai bayangan. Dan ternyata lumayan seperti bayangan lah… Kedai kopi ini terletak di tepi jalan, dan harga kopi di sini juga lumayan murah, dan kopinya juga enak—meski gw ga doyan kopi. Pilihan lagu-lagu yang disetel untuk ambience ruangan di dalam kedai kopi ini juga bagus-bagus. Selera lagunya lumayan bagus deh. Suasana dalam dan luar kedai kopi ini juga indah, dengan kolam air yang mengalir deras, dengan dinding berupa kaca, dan meja-meja dan bangku-bangku outdoor yang terkesan mewah—setidaknya untuk ukuran Bogor.
Suasana Koffie Pot yang mengasyikkan
Sita dengan rok pendek
Cukup lama kami menghabiskan waktu di sini untuk minum kopi, bergosip, dan berfoto-foto, sehingga tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kami bergegas untuk menuju restoran Death By Chocolate palsu. Kami kembali mendaki lereng bukit dan mengikuti signage yang bertuliskan DBC Chocolate & Spaghetti. Jalan menuju restoran itu bahkan lebih tidak meyakinkan karena sejauh mata memandang tidak ada tanda peradaban manusia. Jalan itu dipenuhi hutan dengan tebing jurang yang dalam dan lembah sungai di sisi kiri jalan. Namun untunglah ada angkot lewat situ, dan kami naik angkot sampai ke restoran Death By Chocolate yang terletak di kawasan yang sudah mulai ramai dengan rumah.
Tiba di depan restoran, seorang pramusaji menyambut kami sejak dari halaman rumah. Pas masuk ke dalam restoran, ya ya ya… ternyata seperti ini. Seperti rumah tua zaman kolonial, atau seperti rumah Obama di Jakarta, yang dihiasi meja kursi dan disulap menjadi tempat makan yang suram. Kami memilih meja di dekat halaman belakang, di mana kami dapat melihat sepasang ayunan di halaman belakang tersebut. Kami memesan menu andalan restoran itu, yakni “Death By Chocolate” dan Sita menambahkan minuman coklat dingin ke daftar pesanan. Lupa namanya apa. Ada “Death By”-nya juga kalo ga salah. Kemudian, setelah Sita menanyakan, “Mana hantunya? Kok ga berkeliaran?”, waitress-nya menjawab bahwa hantu hanya berkeliaran pukul 8 malam pada hari-hari tertentu. Sementara untuk saat itu, hantu berjubah hitamnya hanya nongkrong di dalam sebuah ruangan gelap yang disebut ruangan Death By Chocolate. Kami dapat mengintip hantu itu dari sebuah jendela tanpa kaca, dan lewat jendela itu kami dapat meminta tester coklat dari si hantu berjubah. Aduh di sini Sita pake menggoda hantunya lagi. Dia berkata, “Ayo senyum dong, Mas” sambil mencicipi tester coklat. Rasanya ya… belum ketahuan seperti apa, karena testernya cuma dikasih sedikit.
Kami pun kembali ke meja dan tak lama, Death By Chocolate, menu pesanan kami, datang. Segera saja masing-masing dari kami mengambil sepotong coklat (Novi boleh makan coklat menurut dokternya). Hm, rasanya… lumayan, tapi sepertinya rasa coklatnya cukup familiar. Gw berusaha mengingat, dan akhirnya gw ingat. Rasanya seperti coklat di dalam ROTI ISI COKLAT atau ROTI ISI KACANG MERAH, seperti roti-roti merk Sariroti. Dan menurut si waitress, 95% kandungan dari menu Death By Chocolate ini adalah coklat.
Karena malu, kami mundur dan kembali ke meja makan, melanjutkan makan coklat sambil sesekali mengamati anak-anak yang bermain ayunan di halaman belakang, yang entah sejak kapan jumlahnya semakin bertambah banyak. Beberapa waktu kemudian, ayunan itu kosong ditinggalkan. Kami bertiga langsung berlari menyerbu ayunan dan bermain-main.
Usai dari Death By Chocolate, kami terpaksa berjalan kaki mendaki jalan pegunungan di tepi jurang yang tadi kami lewati karena angkot hanya satu arah. Beberapa waktu kemudian, kami tiba di pertemuan jalan dan kami langsung naik angkot 03 yang menuju arah terminal Baranang Siang, untuk berkunjung ke Botani Square, mall yang menurut Kynan terbaik dan termodern di Bogor. Angkot yang kami tumpangi melewati kawasan jalan Padjajaran, yang justru jauh lebih berappeal dan terlihat jauh lebih modern dan mengasyikkan daripada kawasan sekitar Macaroni Panggang! Kami sempat kelewatan (gara-gara sibuk latihan conversation bahasa Inggris di dalam angkot) dan harus menunggu dan terbawa angkotnya yang mengambil jalan berputar, menuruni lembah sungai Ciliwung, dan akhirnya kembali ke sebuah tugu yang dilewati angkot kami tadi (Novi menyebutnya Monas). Ketika sampai di tugu itu, bahkan supir angkotnya berseru, “Tuh, Monas, Monas tuh… Udah sampe”. Aduh sepertinya dia mendengar waktu Novi menyebut Monas tadi.
Kami turun dan menyeberang jalan untuk masuk ke dalam Botani Square. Aduh, ternyata agak berbeda dari bayangan. Mungkin karena banyak vendor-vendor skala kecil yang berdagang dan memenuhi tempat seharusnya orang berjalan. Tapi setidaknya ada Starbucks Coffee di situ. Kami hanya sebentar di Botani Square, dan bermaksud untuk ke Terminal Baranang Siang, untuk naik bus ke Jakarta. Rasanya ga sanggup kalo harus balik lagi ke stasiun kereta, lagipula ini sudah hampir malam, takutnya kereta eskpres udah ga ada. Lagipula menurut Kynan, orang-orang di terminal bus Bogor ramah-ramah dan suka menolong.
Setelah berjalan beberapa ratus meter, kami memang tiba di terminal, tapi… Aduh, baru menginjakkan kaki sedikit aja, semua kenek bus-nya dengan gencar, liar, nafsu, berisik, dan beringas menawarkan dan setengah memaksa kami menaiki bus mereka. Bahkan mereka menghampiri dan menanyakan ke mana kami ingin pergi, dan kami tidak bisa menjawab, dan memilih menghindari pertanyaan. Sementara di tempat yang liar dan berbahaya itu, Sita yang memimpin di depan kami dengan rok super pendeknya merasa panik dan ketakutan, apalagi dia mendengar ada orang yang berkomentar, “Masya olooo…” saat melihat roknya. Akhirnya kami mengikuti Sita yang kabur dengan panik yang sialnya menyeret kami ke sebuah jalan buntu, dan kami semua terjebak dan tak bergerak karena tak tahu di mana bus yang bisa kami naiki.
Sebenarnya sih kami bisa aja nyari dan milih-milih bus dengan santai, asalkan ga ditawar-tawarin seperti itu. Kan jadinya malah bingung… Tapi untunglah tak lama kemudian, kami menemukan sebuah bus AC yang bertuliskan Pulo Gadung via Cempaka Putih, dan keneknya berseru, “Pulogadung! Lewat ITC Cempaka Mas! Cempaka Putih! Pengadilan!” Wah itu kan nama-nama tempat yang familiar karena dekat rumah gw. Ya udah akhirnya kami memilih naik bus itu dan memilih tempat duduk yang kosong. Rasanya sangat melelahkan. Dan menyebalkannya, hari sudah gelap dan bus itu baru berangkat 1 jam setelah kami naik. Dan karena terpengaruh kejadian-kejadian sebelumnya, gw dan Novi malah semakin gencar ngobrol dalam aksen Betawi yang penuh dengan partikel ‘yak’ di akhir kalimat sementara Sita merasa terganggu dan tidak bisa tidur karena harus mendengar aksen Betawi yang menurutnya uneducated alias tidak berpendidikan. Dan di tol Jagorawi, bus-nya kena macet sedikit di tengah jalan sekitar beberapa kilometer, dan akhirnya melancar ketika sudah mendekati Cibubur.
Saat bus keluar tol di Cempaka Putih, para penumpang termasuk kami mulai berdesakan untuk turun dari bus. Pas turun dari bus, entah kenapa rasanya sangat aman. Meskipun Jakarta terkenal sebagai kota yang rawan, gw merasa lebih aman di Jakarta daripada di Bogor. Dan sebagai penutup perjalanan, kami menghabiskan 3 jam berikutnya untuk bernyanyi di Kelapa Gading.*
hahaha... :D pathethic banget sih kalian??? tapi emang bogor kalo menurut gw kurang sesuai yang gw harapkan...... BoKer nya sebesar Pejaten Village..... (dasar kite anak kota yak...ga nahan liat mall) hahaha.... tapi gw belom sempet nyoba death by choc nyaaaaaaaa.....
BalasHapus