Rabu, 17 Juni 2009

The Real Thai Adventure & Vacation, Day 1 ~Ketibaan~

Panorama kota Bangkok yang modern

PENDAHULUAN

Nama tur yang digunakan : Panen Tour (kantor pusat)
Nama tur yang melayani di tempat tujuan : Janesak Travel
Biaya tur per pax : USD 60 + 3 x USD 3 (tour guide tipping) + Rp150.000,00 (airport tax)
Biaya tiket pesawat Garuda pulang-pergi per orang : 2,5 juta rupiah (dengan Air Asia nampaknya hanya ratusan ribu apabila memesan tiket beberapa bulan sebelum keberangkatan)
Biaya belanja yang saya sendiri keluarkan untuk macam-macam keperluan : 5500-an Baht (< (kurang dari) 2 juta rupiah) Layanan yang disediakan tur dengan membayar USD 60:
  • Tur selama 4 hari 3 malam (3 malam kamar hotel berbintang 3)
  • Layanan transportasi yang nyaman dan memadai, bahkan berlebihan selama tur sampai pulang ke bandara
  • Jasa tour guide yang berbahasa Indonesia dengan lancar, menguasai sangat banyak kosakata bahasa Indonesia, dan berwawasan luas
  • 3 x standard American breakfast
  • 2 x makan siang dengan menu lengkap yang mewah dan lezat (6 macam lauk yang sulit dihabiskan apabila hanya 2 orang + unlimited rice + unlimited drink refill + appetizer + dessert), dan masih boleh tambah kalau kurang
  • 1 x makan malam semewah makan siang
  • 1 x makan malam bebas dengan menggunakan voucher senilai 200 Baht per orang (saya sendiri hanya habis 60 Baht, kelebihannya boleh diuangkan dan disimpan)
  • Biaya toilet apabila wajib bayar
  • Biaya tiket pertunjukan-pertunjukan yang termasuk dalam itinerary tur
  • Tur ke berbagai tempat, yakni:
  1. Chao Phraya River Boat Tour
  2. Wat Arun
  3. Sriracha Tiger Zoo & Crocodile Farm (menyaksikan Crocodile Show, Tiger Show, dan melihat-lihat binatang lainnya di dalam taman)
  4. Honey Factory (kami kena prospek di sini, seperti MLM)
  5. Pattaya Attraction & Shows (khusus yang ini, bayar sendiri; kendaraan dan tour guide hanya mengantar dan menemani)
  6. Hard Rock Hotel Shop (optional)
  7. Mike Shopping Mall
  8. 7 Eleven (by request alias colongan, karena saya haus)
  9. Pattaya Beach
  10. Nong Nooch Village & Tropical Farm (menyaksikan Thai Cultural Dance Show, Elephant Show, dan melihat orang-orang berleher panjang)
  11. Laser Buddha Sculpture Gigantic Rock
  12. Silverlake Grape Farm
  13. Gems Discovery (naik kereta penjelajah tambang (ala Dufan), melihat pabrik pembuatan batu permata, dan melihat-lihat toko berlian)
  14. Dried Food Shop
  15. Suvarnabhumi Airport Sightseeing
  16. Bangkok Peak Hours
  17. MBK Shopping Mall
Informasi tambahan: Kami tiba 2 hari sebelum hari tur efektif dimulai, sehingga selama 2 hari kami menjelajah Bangkok sendiri tanpa bimbingan tour guide.

CHAPTER 1: KETIBAAN

Sekitar pukul sembilan pagi, saya dan Ardi ketemuan di Bandara Soekarno-Hatta. Sepertinya atas perintah bokap, seorang petugas imigrasi menghampiri kami dan bermaksud untuk mengurus segalanya. Jadi kami memberikan paspor, fotokopi NPWP, fotokopi KK, fotokopi KTP (untuk bebas fiskal), dan uang 150 ribu rupiah untuk airport tax (aduh, rasanya manja banget sih gak ngurusin sendiri, tapi ya sudah lah). Tak lama kemudian, orang itu kembali dan mengabarkan bahwa semuanya sudah diurus, dan katanya kami tinggal masuk saja.

Kami pun berpisah dengan ayah-ayah kami yang rela mengantar ke bandara (bahkan ayahnya Ardi sampai terlambat masuk kantor), kemudian bermaksud menuju bagian imigrasi. Karena letak konter imigrasi sudah berubah (nampaknya dikarenakan rencana renovasi besar-besaran Bandara Soekarno-Hatta yang saya dengar dari rumor di sebuah forum), kami sempat tersasar beberapa menit dan akhirnya baru sampai di konter imigrasi. Di sini, saya sudah mulai curiga, nampaknya perjalanan ke luar negeri kali ini akan penuh dengan berbagai pengalaman yang pathetic, mengingat perjalanan melintasi Semenanjung Asia (Singapura & Kuala Lumpur) beberapa bulan sebelumnya yang penuh dengan pengalaman pathetic.

Di konter imigrasi, petugasnya heran karena paspornya sudah dicap. Setelah beberapa lama, barulah orang itu tersadar bahwa paspor kami telah diurus dan dicap, dan kemudian dia malah bilang sambil senyum-senyum, “Harusnya tadi jalan langsung aja”. Aduh, nampaknya inilah awal dari kepathetican perjalanan ini (dan nampaknya masih ada segunung pengalaman pathetic yang sedang menanti kami). Kami kemudian meninggalkan konter dan bergegas menuju pesawat Garuda yang akan menuju Bangkok.

Di dalam pesawat, saya heran dan panik, kok kursi kami ditempati orang-orang sekeluarga gitu sih. Dan nampaknya mereka keluarga muda Cina Indonesia yang sudah lumayan mapan deh (karena berwisata ke luar negeri sekeluarga, meskipun sebatas ke Thailand). Aduh jangan-jangan kami tidak terdaftar sebagai penumpang resmi di pesawat ini? Atau mungkin sistem reservasi kursi pesawat memiliki kelemahan? Tapi apa mungkin? Untunglah, melihat gelagat kami, dari deretan seberang tiba-tiba kepala keluarganya bilang ke mereka, “Eh semuanya pindah ke sini—salah kursi”, dan tanpa diusir, mereka pun pindah kursi berbondong-bondong. Sungguh keluarga yang bahagia meski agak pathetic.

Perjalanan pesawat ke Bangkok dilengkapi dengan hidangan panas yang menurut saya kurang garam dan resepnya asal. Nampaknya bukan Garuda yang harus disalahkan, karena ketika saya naik JAL ke Jepang setahun sebelumnya pun, mereka menyediakan makanan yang disuplai dari air catering Indonesia yang rasanya kurang lebih seperti itu. Dan saat-saat berikutnya, perjalanan udara diwarnai dengan turbulensi sedang sampai cukup besar. Di tengah-tengah situasi itu, saya sempat khawatir, apakah kota yang saya tuju bakal lebih bagus dari Jakarta, atau jangan-jangan sama saja, atau malah lebih buruk (mengingat cerita-cerita dari blog, forum, dan orang-orang yang pernah pergi ke sana). Namun salah seorang teman kami pernah berkata bahwa Thailand adalah tempat yang menarik dan berappeal kuat, sedangkan Singapura merupakan tujuan wisata yang appealnya kurang. Ya mudah-mudahan saja itu benar.

Sekitar 1,5 jam dari jam keberangkatan, kami tiba di atas Singapura—bisa ditebak dari bandara Changi yang terletak di bawah kami. Kemudian, pesawat kami menyusuri jazirah semenanjung Malaysia dan setelah total waktu perjalanan hampir sekitar 3 jam, kami tiba di atas hamparan sawah-sawah berpetak sempit yang sangat hijau di sekitar area bandara (ternyata peribahasa “Rumput tetangga selalu lebih hijau” memang benar). Saya tak sabar untuk melihat kemegahan dan kefuturistikan Bandar Udara Suvarnabhumi yang termasyhur dan menjadi kebanggaan bangsa Thailand itu.

Tak lama kemudian, pesawat kami pun mendarat dengan mulus. Gedung terminal terlihat panjang dengan corak yang tersusun dari banyak jendela melengkung seperti atap bangunan Thailand yang semuanya menghias dan memenuhi selimut silinder. Yah, kalau dilihat dari luar memang terminalnya tidak semegah dan sefuturistik yang saya lihat di foto-foto internet (mungkin karena kacanya yang berwarna hitam dan bukan biru atau hijau), tapi secara keseluruhan memang bandara ini lebih maju dan beradab dibanding bandara Soekarno-Hatta.

Bangunan terminal Bandara Suvarnabhumi

Keluar dari pesawat, dan masuk ke terowongan garbarata, kok suhunya tidak dingin ya? Saya dengar memang di bandara ini sistem pendinginnya tidak menggunakan AC dan sebaliknya menggunakan teknologi lainnya yang ramah lingkungan. Untunglah ternyata setelah benar-benar masuk ke area terminal, suhunya mendadak berubah menjadi cukup sejuk.

Di terminal bagian kedatangan ini, memang interior bandara terlihat biasa. Mungkin butuh sudut yang berbeda untuk melihat sisi futuristik bandara ini yang sepatutnya megah. Tapi untuk sementara, lupakan dulu deh. Kami harus menempuh jarak yang sangat jauh dengan travelator menyusuri silinder gedung terminal. Sejak dulu, nampaknya Garuda memang sering kebagian parkir di paling ujung terminal, sama seperti di Bandara Changi Singapura. Ketika hampir sampai di bagian imigrasi, kami diwajibkan mengisi formulir laporan kesehatan. Hanya isi sebentar kemudian kami serahkan formulirnya ke petugas (yang menggunakan bahasa Thailand dan berbahasa Inggris aneh). Di bagian imigrasi, kami mendapati ada banyak konter antrian. Untuk jaga-jaga, akhirnya kami dengan pathetic mengikut ke barisan tempat Ferry Salim sedang mengantri (setidaknya dia sama-sama orang Indonesia). Dan lebih pathetic lagi, ternyata barisan ini adalah barisan yang progresnya sangat lama, karena petugas di konter ini sangat teliti dan meneliti paspor tiap penumpang selama semenit bahkan bisa sampai 10 menit per orang. Ibu-ibu asing yang mengantri di belakang kami bahkan sampai pindah barisan dan mereka yang pindah semuanya berhasil melalui tahapan imigrasi dengan cepat, bahkan mereka semua selesai ketika kami masih mengantri dengan panjangnya. Dan akhirnya saya adalah satu-satunya penumpang terakhir pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA866 yang masih melalui tahap imigrasi. Sungguh pathetic.

Interior bandara Suvarnabhumi

CHAPTER 2: PILIHAN YANG SALAH & BUDAYA TIPPING

Lepas dari tahap imigrasi, kami ragu hendak ke mana. Di bandara ini, kereta listrik dari bandara menuju pusat kota baru beroperasi bulan Agustus, sehingga transportasi bandara saat ini hanya tersedia kendaraan beroda empat atau lebih (dan yang paling menonjol adalah taksi). OK, kami pun segera mencoba mencari taksi. Di dekat pintu keluar, kami menemukan konter layanan taksi. Saya tidak yakin apakah kalau ingin naik taksi di bandara harus ke konter dulu atau bisa langsung naik taksi. Dan ketika kami berjalan melintasi konter layanan taksi, mbak-mbak petugasnya mendekat dan menawari kami taksi. Kami yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali asing dengan negeri ini pun mengikuti mbak itu ke konternya dan bertanya-tanya, apakah taksi yang mereka sediakan menggunakan meteran atau tidak—dan ternyata tidak. Mereka berkata dalam bahasa Inggris yang agak sulit ditangkap (karena mereka sering tidak mengucapkan huruf konsonan di akhir tiap kata), “Kalau taksi yang pakai meter, bisa langsung naik di luar.” Aduh berarti taksi mereka ini adalah taksi charteran! Dan harganya mahal (paling murah 905 Baht untuk tujuan ke Indonesian Embassy di kisaran Petchaburi dan Ratchadewi), dan pilihan mobil yang mereka sajikan semuanya mewah-mewah. Saya dan Ardi sempat bingung dan berdiskusi dengan pathetic, “Gimana?” dan saling membalas, “Gimana?” sambil berpikir cukup lama. Kami juga mencoba mengkonversikan harga tersebut ke dalam rupiah di dalam otak kami, dan karena sudah sangat desperate akhirnya Ardi bilang, “Ya udah, yuk” (meskipun dalam mukanya masih terlihat kekhawatiran).

Kami pun langsung membayar di konter untuk daerah tujuan kami dan menerima kembalian. Tiba-tiba mbak yang tadi menawari kami berkata dalam bahasa Inggrisnya yang ganjil, “You may give me tip”, dan mbak-mbak yang di dalam counter berkata dalam bahasa Inggris, “Kalau sudah kasih tip di sini, nanti supirnya tak perlu dikasih lagi”, yang patheticnya di telinga saya terdengar seperti, “Dia emang doyan becanda. Udah, dia mah ga perlu dikasih tip” (jauh banget ga sih?). Sementara saat itu kembalian (sekaligus pecahan uang terkecil) yang saya pegang adalah selembar 50 Baht. Terbiasa bertransaksi di masa lampau dengan nilai mata uang Singapura yang tinggi, saya merasa seakan-akan selembar uang 50 Baht itu seperti SGD 50. Dan karena itu, dengan patheticnya saya refleks berkata ke mbak-mbak tadi, “Well, I don’t have smaller amount of money” (entah deh bener atau nggak bahasanya).

Kemudian mbak-mbak tadi membalas, “Uang yang 50 Baht itu juga gak apa-apa kok”. Saya kaget dan berpikir, kurang ajar betul mbak-mbak ini minta tip uang segitu banyak! Terus saya bilang, “No, no, I think 50 Baht is too much! We’ve just arrived here and we don’t have smaller amount of money”.

Mbak itu langsung terdiam dan wajahnya berubah kecewa. Dia pun mundur (dalam artian sebenarnya, dia benar-benar melangkah mundur!), kemudian berkata sambil menunduk, “It’s okay then…” sambil memaksakan senyum. Saat itu saya belum menyadari kepathetican yang tengah berlangsung, dan suasana semakin keruh ketika saya malah minta ditunjukkan tempat naik taksinya. Kemudian dia pun menunjuk ke arahnya dan tidak mengantar (mungkin karena dendam tidak diberi tip).

Ketika berjalan ke luar gedung terminal, Ardi memulai pembicaraan dengan berkata, “Aduh, kok lo ga ngasih aja sih 50 Baht itu?”

“Emang kenapa?” Saya terdiam sejenak, kemudian teringat, “Astaga! 50 Baht itu…”

“Lima belas ribu!!!” jawab Ardi dengan tegas.

“Hah!?” Saya terkejut karena ternyata 50 Baht itu bernilai kecil.

Aduh, sungguh jahatnya saya karena tidak memberi tip ke orang tadi (padahal dia sudah jelas meminta), dan saya malah bilang “too much” lagi… Pasti dia akan menyangka saya orang yang sangat pelit. Dan setelah itu saya masih bisa-bisanya minta diantar ke tempat naik taksinya. Aduh, sungguh saya tidak tahu malu. Tapi ya sudahlah… biarkanlah itu menjadi pelajaran bagi saya untuk menghargai budaya tipping di Thailand. Tak lama, kami disambut oleh porter yang memberi senyum dan salam hormat yang sopan dan ramah khas Thailand (dengan tangan seperti saat sungkeman). Dia mengangkat barang-barang kami ke dalam kendaraan dan akhirnya tip yang 50 Baht itu pun kami berikan ke porter itu (mudah-mudahan cukup untuk menebus kesalahan kami).

CHAPTER 3: BANGKOK YANG DIAM-DIAM BERPERADABAN TINGGI

“Taksi” yang kami naiki pun bergerak melaju di jalan layang menuju ke arah luar area bandara. Jalan layang tersebut cukup panjang dan tinggi, sampai saya sempat berpikir, kenapa jalan ini harus dibuat melayang, sementara di bawah tidak ada apa-apa dan hanya tanah kosong? Di tambah lagi, di antara kedua jalan layang dengan arah arus kendaraan yang berlawanan, terdapat rel kereta layang bandara yang lebih tinggi dari jalan layang mobil. Menurut info yang pernah saya baca, kereta bandara baru akan beroperasi pada bulan Agustus 2009.

Pemandangan mulai dari bandara sampai ke dekat pinggiran kota mengingatkan saya akan pemandangan pinggiran Tokyo dan Singapura. Saya mulai curiga, sepertinya Bangkok ini merupakan kota modern yang lebih maju dan beradab daripada Jakarta. Dan ternyata memang benar, ketika kami hampir sampai di daerah kota, di kejauhan mulai nampak gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai arsitektur baik modern maupun kuno yang tersebar dan semakin memadat di pusat kota. Tidak seperti Jakarta yang gedung-gedung pencakar langitnya hanya terpusat di kisaran Sudirman-Kuningan dan sisanya merupakan perumahan kumuh yang menyebar, gedung-gedung di Bangkok menyebar di seluruh penjuru kota bahkan sampai ke daerah selatan Bangkok yang jauh, dengan kepadatan yang cukup tinggi. Celah-celah di antara gedung-gedung tersebut diisi dengan padat oleh bangunan-bangunan kecil dan ruko yang di pedalamannya terdapat puluhan bahkan ratusan gang (lane/alley, atau di sini disebut soi) yang tersembunyi di antara gugusan bangunan. Dan kalau dilihat sekilas, nampaknya hampir tiap gang tersebut menyimpan appeal tersembunyi yang kuat dan menarik, yang sepertinya tidak akan habis untuk di-explore satu per satu. Suasana kota yang rapi dan seperti terprogram ini benar-benar mengingatkan saya akan Singapura, dan kepadatan bangunannya mengingatkan saya akan Tokyo. Malah jalan tol layang yang kami lewati ini berbelok tiba-tiba dan masuk ke celah-celah di antara kepadatan gedung di tengah kota. Kami jadi dapat melihat wajah kota lebih dekat. Dan bagian dalam kota ini ternyata memang mirip Tokyo! Sepenglihatan saya, hampir tidak ada sampah, dan beberapa bagian jalan dengan pedestrian lebar yang indah seperti di Singapura dilalui oleh para pejalan kaki yang jalannya cukup cepat, baik turis maupun warga setempat. Ini mencirikan sudah memasyarakatnya budaya berjalan kaki dan budaya menggunakan transportasi umum yang modern di kota ini. Pokoknya sudah maju seperti Singapura dan Tokyo! Oleh karena itu, saya sangat tidak setuju dengan anggapan sebagian orang dan blogger yang berkata bahwa Bangkok tidak bagus dan sama saja seperti Jakarta. Dan nampaknya anggapan itu sedikit banyak telah mendoktrin masyarakat Indonesia bahwa Bangkok kurang layak untuk dikunjungi, sehingga kebanyakan orang Indonesia lebih memilih berwisata ke Kuala Lumpur yang kotor, kumuh, dan alay, dan ke Singapura yang sebenarnya bagus namun ternyata appealnya menurut saya masih kurang dibandingkan dengan Bangkok.

Gang (Soi) yang banyak ditemukan di kota Bangkok, yang nampaknya tidak akan habis dijelajahi satu per satu

Setelah perjalanan ditempuh dengan cara mengemudi yang brutal (seperti pindah jalur ke kiri ga liat-liat, dan patheticnya pengemudinya malah memberi isyarat tangan di dalam mobil yang sudah pasti tidak mungkin kelihatan oleh pengemudi mobil di belakangnya yang tengah mengklakson-klakson tanpa ampun), akhirnya kami diturunkan di lajur terkiri di Jalan (Thanon) Petchaburi, tepat di depan Indonesian Embassy (KBRI). Sebenarnya pengemudinya agak ragu-ragu untuk menurunkan kami di situ, karena nampaknya sebentar lagi kemacetan di tepi jalan akan mencair dan mobil harus segera berjalan, namun akhirnya kami berhasil turun dan menurunkan koper-koper kami dari bagasi meski agak lewat dari waktunya (karena di depan, mobil-mobil sudah bergerak menjauh sementara di belakang kami puluhan mobil masih tersendat karena mobil kami). Meskipun begitu, kami tidak diklakson-klakson tanpa ampun seperti yang sering dilakukan pramudi bus transjakarta. Kemudian sambil menyeret koper, kami berjalan menyusuri trotoar ke arah barat, mencari-cari gang yang letaknya seharusnya tidak jauh dari KBRI. Dan akhirnya kami menemukan gang tersebut yang di mulut gangnya terdapat tulisan "The Residence Hotel". Hotel kami ternyata memang seperti yang saya lihat di website, yaitu hotel kecil tak mewah dengan total 5 lantai yang berkonsep pondok-pondok dan cafe berpayung yang dihiasi kolam ikan. Kami langsung cek in dan beristirahat sejenak di hotel. Sambil merencanakan tujuan ingin pergi ke mana, saya mencatat pengeluaran, dan menjama' solat Asar dengan Zuhur di kamar (hehe), namun sebenarnya alasan lainnya selain karena kewajiban (hm...) adalah karena kekhawatiran mengingat kejadian mistis penampakan yang terjadi di hotel mewah yang kami inapi di Singapura beberapa bulan sebelumnya (meskipun sebenarnya hanya seorang teman saya yang melihat dan saya tidak melihat apa-apa). Aduh niatnya ga tulus amat... Tapi ya sudahlah.

CHAPTER 4: SKYTRAIN BTS (BANGKOK TRAIN SKY)

Setelah beristirahat sejenak, kami menetapkan tujuan pertama yaitu makan siang sekaligus malam di Usman Thai Muslim Food yang terkenal dan menurut sebuah blog yang saya baca terletak di daerah Phrom Pong dekat Imperial Queen's Park Hotel. Kami pun mulai bergerak dan berjalan sejauh beberapa ratus meter dari hotel menuju stasiun BTS (Sky Train) terdekat dari hotel, yaitu Ratchadewi BTS Station. Kepanjangan dari BTS sebenarnya adalah Bangkok Mass Transit System, namun saat itu kami malah seenaknya menyimpulkan bahwa kepanjangan BTS adalah Bangkok Train Sky (mengingat BTS sering disebut Sky Train). Untuk mencapai stasiun BTS yang posisinya melayang di atas jalan raya, kami hanya perlu naik eskalator (namun terkadang hanya ada tangga) dan di level 1 kami menemukan beberapa stand yang seingat saya menjual makanan seperti waffle dan eskrim, kios buku, dan kios 7 Eleven yang umum dijumpai di berbagai stasiun BTS, dan sebuah konter bertuliskan Ticket Office dan beberapa Ticket Machine. Oh ya, selain di dalam stasiun, convenience store 7 Eleven ini bisa dijumpai hampir di setiap sudut kota lho! Jaraknya pun sangat berdekatan satu sama lain. Pokoknya kalau haus, tinggal ke 7 Eleven saja. Di Indonesia 7 Eleven memang belum ada. Memang sih menurut kabar yang saya dengar, 7 Eleven akan segera buka di Indonesia, tapi saya khawatir jangan-jangan 7 Eleven pertama malah ditempatkan di dalam mall Grand Indonesia (kalau benar begitu, gak berguna banget sih).

Convenience store "7 Eleven"

Kembali ke cerita di Bangkok. Ongkos kereta untuk ke stasiun-stasiun ditentukan berdasarkan zona-nya. Semakin besar nilai angka zona, semakin mahal ongkosnya. Menurut Fare Table yang dipampang di dinding, kalau tidak salah Phrom Pong termasuk ke dalam Zona 4 (aduh) dan ongkos untuk satu orang adalah 30 Baht. Mengira sistem transportasi di Bangkok tidak praktis seperti halnya di Kuala Lumpur, Ardi langsung menghampiri Ticket Office dan menyerahkan uang 3 lembar uang kertas 20 Baht ke petugas di konter sambil menunjukkan isyarat jari "2" sambil berkata, "Phrom Pong, Two!", dan patheticnya si petugas langsung memberikan isyarat tangan "sabar, sabar..." sambil tersenyum geli dan memberikan uang koin 10 Baht sebanyak 6 keping. Awalnya kami bingung karena kami tidak mendapat tiket sama sekali, dan setelah itu kami baru menyadari bahwa tiket seharusnya dibeli secara otomatis menggunakan Ticket Machine yang hanya bisa menerima uang koin 5 Baht dan 10 Baht. Jadi, Ticket Office lebih difungsikan untuk menukar dan memecahkan uang.

Ticket office dan palang rintangan

Membeli tiket BTS sangat mudah. Tinggal tekan tombol zona yang diinginkan (Stasiun Phrom Pong berada di Zona 4), masukkan koin senilai ongkos yang harus dibayar, dan kemudian tiket berupa kartu akan keluar dari slot. Sebagai catatan, khusus untuk kereta BTS, meskipun perjalanan mengharuskan kita untuk transit ke jalur lain yang sama-sama jalur BTS, beli tiketnya langsung untuk tujuan yang kita inginkan, jadi tidak perlu beli satu per satu misalnya hanya sampai ke stasiun transit, baru kemudian beli lagi ketika akan transit menuju stasiun tujuan yang letaknya di jalur lain. Namun ada pengecualian kalau kita ingin pergi ke daerah yang hanya terjangkau MRT (Subway). Nampaknya perusahaan MRT & BTS tidak menjalin kerja sama, sehingga untuk mencapai suatu stasiun tertentu di jalur MRT, dari stasiun BTS tempat kita berada, kita hanya dapat membeli tiket ke stasiun BTS yang mana terdapat interchange dengan stasiun MRT, baru kemudian membeli tiket kereta MRT di dalam stasiun MRT yang terletak di bawah tanah.

Ticket Machine di tiap stasiun BTS (diucapkan "bi-ti-et" oleh orang Thailand)

OK, setelah itu kami melalui palang rintangan dan memasukkan kartu kami ke dalam slot, kemudian mengambilnya kembali saat kartu itu keluar dari slot lainnya. Portal langsung terbuka dan kami berjalan masuk ke dalam stasiun. Tiap jalur (line) kereta memiliki 2 arah, yaitu arah yang satu dan arah sebaliknya. Seperti halnya di Singapura, signage (papan petunjuk) yang menunjukkan arah tempat naik kereta di stasiun di sini hanya menuliskan nama stasiun tujuan akhir. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga ada baiknya kita melihat ke papan petunjuk yang memajang peta stasiun kereta dan menganalisis ke arah mana kita harus naik berdasarkan stasiun tujuan akhir dari jalur tersebut. Misalkan untuk jalur hijau muda (Sukhumvit Line), stasiun terakhir di sisi barat/utara kota adalah Mo Chit, dan stasiun terakhir di sisi timur kota adalah On Nut. Menurut peta, kalau kita sedang berada Stasiun Ratchadewi, dan ingin ke Stasiun Phrom Pong, maka kita harus naik kereta ke arah On Nut. Berarti kita tinggal mengikuti signage yang bertuliskan "To On Nut", masuk ke dalam kereta, dan selanjutnya turun di stasiun Phrom Pong.

Signage penanda arah ke peron untuk kereta yang ke arah Mo Chit

Setelah memasukkan tiket dan melewati palang rintangan tadi, mengikuti arah yang ditunjuk signage, kami naik eskalator (atau terkadang tangga biasa) untuk menjangkau level 2, yaitu tempat naik kereta arah On Nut. Beginilah stasiun BTS di Bangkok. Bertingkat-tingkat, berlapis-lapis, memenuhi udara di celah-celah bangunan kota, namun menurut saya ini adalah keunikan, kefuturistikan, keteraturan, dan keartistikan tersendiri bagi kota Bangkok. Tak lama setelah kami mengantri di belakang garis kuning, kereta tujuan On Nut tiba. Pintu kereta terbuka, beberapa penumpang keluar, dan kami masuk ke dalam kereta dengan tertib.

Suasana di dalam kereta mirip seperti di dalam kereta MRT Singapura. Kereta yang kami tumpangi melewati beberapa stasiun seperti Siam (di mana kereta kami yang melayang tinggi di udara melewati celah kota yang pemandangan sekitarnya berupa gugusan mall berkelas yang megah dan mewah, dengan merk-merk terkenal dan internasional yang bertebaran di mana-mana di semua mall, dengan pelataran serta pedestrian yang terdiri dari 2-3 tingkat yang indah tersusun dari batu alam dan tanaman hias serta berair mancur yang kalau malam akan menyala berwarna-warni), Chit Lom, Phloen Chit, Nana, Asok, dan akhirnya Phrom Pong. Ketika kereta bergerak dari Phloen Chit menuju Nana, pengumuman berbunyi, "Sathani Tou Phai, Nana... Next Station, Nana~...", di mana nada dan intonasi saat menyebut Nana sangat aneh dan terkesan sedih, dengan intonasi dari nada tinggi kemudian menurun, seperti ingin menakut-nakuti. Setelah saya browse, ternyata suara pengumuman tersebut diabadikan di youtube lho! Kalau mau, silakan dengar sample dari youtube: http://www.youtube.com/watch?v=Y-TtRQREAlo. Tapi yang di youtube itu suaranya sepertinya agak berbeda--yang saya dengar ketika di sana suaranya agak lebih tinggi dan sedih.

CHAPTER 5: KEKERUHAN KARENA ES KRIM

Tiba di stasiun BTS Phrom Pong, kami memasukkan kartu yang telah kami simpan baik-baik selama di kereta ke dalam mesin di palang rintangan agar bisa keluar dari stasiun. Tak jauh, kami mendapati sebuah gerai (lebih tepatnya stand) es krim cone yang bertuliskan Gelato namun bukan Gelato yang banyak dijumpai di Jakarta. Nampaknya Ardi berniat membeli es krim itu, jadi kami menghampiri stand dan melihat-lihat. Harga es krimnya 40 Baht, atau sekitar 12 ribu rupiah. Murah bukan? Tapi nampaknya itu wajar, karena sepenglihatan saya, itu bukan jenis es krim berkadar lemak tinggi yang mahal, legit, bertekstur, dan berekah, melainkan tipe es krim yang datar, tidak legit, dan gampang cair. Setelah membeli, Ardi mencicipi es krim coklatnya dan patheticnya berkomentar, "Aduh, rasanya kok kayak susu SGM ya".

Pintu keluar stasiun ini ada beberapa, dan masing-masing memiliki nomor (seperti di Tokyo). Ada baiknya melihat peta petunjuk di area setelah keluar palang rintangan stasiun untuk menganalisis pintu keluar terdekat menuju tempat tujuan. Bahkan salah satu pintu keluar ada yang terhubung langsung dengan lantai 2 sebuah mall berkelas "Emporium Shopping Complex". Kami lalu memilih sebuah pintu keluar dan menuruni eskalator menuju pelataran mall tersebut dan kemudian bermaksud melanjutkan perjalanan ke Usman Thai Muslim Food. Namun ternyata benar saja dugaan saya bahwa es krim itu adalah es krim murah. Dengan cepat, es krim yang sedang berusaha dihabiskan Ardi itu meleleh deras. Kemudian, kami berusaha mencari tempat duduk dan segera duduk, sementara es krim itu terus-menerus menetes tanpa henti, menodai lantai pelataran mall yang indah itu. Bukannya membantu, saya malah memperkeruh keadaan (tanpa menyadarinya) dengan berseru dengan santainya, "Aduh, jangan mengotori Thailand dong! Ini kan negara yang indah," sementara Ardi dengan panik berusaha menghabiskan es krim itu dengan cepat dengan tangan yang belepotan es krim yang lengket yang terus menetes dengan deras. Setelah berhasil menghabiskan es krim dan mengelap tangan dengan tisu, kami berfoto seperti layaknya alay-alay di depan kaca toko Hermes di pelataran mall tersebut.

Es krim murah yang cepat mencair

CHAPTER 6: USMAN THAI MUSLIM FOOD YANG HALAL

Setelah mencocokkan arah jalan di peta dengan jalan yang sebenarnya dengan menggunakan kompas (yang saya beli di Gramedia sehari sebelum berangkat ke Bangkok), kami kemudian berjalan kaki melewati sebuah taman indah yang berkolam dan bertuliskan "Dancing Fountain Show" lengkap dengan jadwal pertunjukannya, yang mana di sekitar taman tersebut terdapat banyak penjual sate ayam, sapi, babi, penjual makanan ringan pinggiran khas Thailand, dan penjual minuman ringan. Ardi kelihatannya sangat tertarik untuk mencoba makanan pinggiran karena terdoktrin oleh ayahnya telah yang berpesan, "Sudah jauh-jauh ke Thailand, kamu harus mencoba makanan pinggiran, terutama jangkrik dan ulat karena rasanya enak". Namun nampaknya budaya dan kebiasaan sehari-hari di Indonesia melemahkan niatnya untuk mencoba makanan pinggiran yang menurut Disti, salah seorang teman kami yang serba liberal dan menyukai Thailand, semuanya halal.

Setelah memasuki gang yang nampaknya kalau malam akan cukup gemerlap, kami menemukan banyak pub, bar, dan sepertinya tempat prostitusi, bertebaran di sepanjang gang itu, di mana wanita-wanita penggodanya sudah banyak menunggu di tepi jalan. Mengabaikan kehadiran mereka, kami terus berjalan. Beberapa menit kemudian, kami melintasi sebuah hotel pencakar langit yang sangat mewah, yaitu Imperial Queen's Park Hotel yang lobby-nya yang berkaca terlihat sangat megah dan mewah dari luar. Tepat setelah hotel itu, kami melihat signage "Usman Thai Muslim Food" yang menunjuk ke arah gang yang berbatasan dengan pagar tembok hotel.

Saya awalnya agak ragu masuk ke restoran itu, karena nampaknya restoran itu sepi. Ditambah lagi Ardi memperkeruh keadaan dengan berkata, "Aduh kayaknya ini restoran yang ber-AC deh, pasti makanannya mahal". Setelah mondar-mandir dan terbingung-bingung di depan restoran selama beberapa menit, akhirnya kami memutuskan masuk. Kami diberi menu oleh pelayan-pelayannya yang berjilbab dan nampaknya adalah orang Melayu yang bisa berbahasa Melayu, meskipun semuanya cuek dan sibuk dengan dunia mereka sendiri, seperti sibuk mengurus anak dan menggendong bayi, sambil bersembunyi di belakang. Aduh benar-benar Melayu dan tidak sesuai dengan kultur Thailand yang ramah-tamah dan murah senyum. Hal ini jadi mengingatkan saya akan Kuala Lumpur.

Kemudian akhirnya kami menetapkan menu pilihan masing-masing dan memesan. Saya memesan steer-fried beef with rice, sedangkan Ardi memesan nasi goreng. Setelah beberapa lama, makanan pun datang dan kami makan dengan lahap dan minum air mineral botolan yang tersaji di meja, setelah sebelumnya bertanya apakah minuman tersebut gratis atau tidak--dan ternyata tidak gratis! Makanan yang saya makan, untuk rasa sih, sedanglah... setidaknya masih cocok untuk lidah saya, meski kata orang yang pernah makan di restoran ini, makanan Thailand di restoran ini memiliki bau khas asin-asin yang mungkin memuakkan dan berbau seperti makanan berlemak dengan kadar lemak yang keterlaluan. Yah, tapi sebenarnya tidak separah itu. Selain itu karena penasaran, saya juga mencicipi nasi goreng milik Ardi, dan ternyata ketika awal mencicipi rasanya seperti minyak telon. Namun, setelah dikunyah, ternyata rasanya pedas-pedas seperti kari, namun agak berbeda.

Merasa bingung akan pergi ke mana malam ini, kami pun berpikir dan berdiskusi sedikit. Ada beberapa hal yang nampaknya harus kami tanyakan ke orang restoran itu, namun melihat gelagat mereka yang cuek, kami akhirnya mengurungkan niat. Namun tiba-tiba, seorang laki-laki berseragam kantor masuk ke restoran, duduk, dan berkata kepada pelayan dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang kental yang kedengarannya lunak dan ramah. Saya langsung berbicara ke Ardi dengan suara kecil, "Kayaknya orang itu orang Indonesia yang kerja di sini dan tau banyak tentang Bangkok deh. Gimana kalo kita tanya-tanya ke dia?" Kami pun kemudian memikirkan ingin bertanya apa, kemudian menghampiri laki-laki itu untuk menyapa dan bertanya mengenai letak pasar malam yang terkenal di Bangkok.

Ternyata orang itu memang ramah. Dia bertanya-tanya mengenai perjalanan kami (dengan memanggil kami dengan panggilan "sampean"), dan kemudian dia bilang ingin melihat peta kami kalau boleh untuk memberi tahu letak pasar malam dengan lebih jelas. Awalnya saya mengeluarkan peta Bangkok keluaran Periplus yang rumit yang tidak hanya menunjukkan jalan-jalan besar tetapi juga jalan-jalan kecil dan gang-gang sempit, yang saya beli di toko Periplus di Kelapa Gading Jakarta dua hari sebelum berangkat ke Bangkok; namun kemudian bapak (atau mas) itu sepertinya kewalahan dan mengeluh karena petanya terlalu rumit. Dia kemudian me-request kalau-kalau ada peta yang hanya menampilkan jalur kereta BTS & MRT saja. Akhirnya saya mengeluarkan peta moda transportasi umum Bangkok yang sederhana. Kemudian setelah melihat peta yang sederhana itu, dia melangsung bilang, "Nah, ini dia," kemudian tiba-tiba saja dia mengeluarkan bolpen (Hah?) dan secepat kilat mengarahkan bolpennya ke arah peta print-an itu (Aduh!!). Kemudian tanpa izin dia melingkari dan menandai beberapa stasiun dengan tulisan, bahkan mencoret dan menodai peta saya dengan bolpennya (mending pensil), sambil menjelaskan ke kami. Menurut keterangannya, di Nana dan Suan Lum ada pasar malam. Selain menerangkan letak pasar malam, tanpa diminta dia juga menjelaskan letak objek-objek wisata yang iconic dan menarik di Bangkok. Di Suan Lum ada masjid Indonesia dan agak jauh dari stasiun BTS Surasak terdapat masjid Jawa. Di pertemuan stasiun BTS Mo Chit dengan stasiun MRT Chatuchak Park, ada pasar akhir pekan Chatuchak yang besar dan terkenal. Selain itu, di stasiun BTS Taksin juga ada dermaga untuk naik perahu di sungai Chao Phraya yang lebar dan terkenal itu menuju objek-objek wisata menarik seperti kuil, candi, dan istana, antara lain Temple of Reclining Buddha, Wat Pho, Emerald Buddha, Grand Palace, dan Wat Arun, yang mana untuk naik perahu ke dermaga mana pun di sungai itu hanya menghabiskan ongkos 13 Baht sekali jalan.

Kemudian, berniat memuaskan rasa penasarannya mengenai makanan pinggir jalan, Ardi pun bertanya, "Kalau makanan-makanan pinggir jalan itu, halal gak sih?"

Seketika di dahi mas-mas itu muncul kernyitan dan setelah jeda beberapa detik dia menjawab, "Hm... Kayaknya enggak ya." Dan suasana menjadi hening dan tegang sejenak, sementara nampaknya Ardi menyesal telah bertanya. "Saya sih ndak pernah nyoba. Tapi kalau kamu mau, kamu coba yang ikan aja. Kan suka ada tuh ikan bakar gitu. Itu mudah-mudahan halal." Kemudian suasana mencair kembali karena mas-mas itu kembali berbicara dengan riang. Seusai berurusan dengan mas-mas itu, kami mengucapkan terima kasih dan membayar makanan yang kami makan. Makanan yang saya makan harganya 55 Baht atau setara dengan 16 ribuan rupiah, begitu juga dengan makanan Ardi. Air mineral yang saya minum 12 Baht atau sekitar 3600-an rupiah (Ardi tidak minum karena terlanjur membeli es krim tadi). Aduh kok agak mahal dan tidak seperti cerita orang-orang yang mengatakan bahwa makanan di Thailand harganya sangat murah dan paling-paling hanya habis sekitar 10 ribu ya? Apa jangan-jangan kami terlalu terdoktrin bahwa makanan di Thailand tidak boleh lebih dari 10 ribu ya? Tapi sebenarnya harga segitu tergolong murah untuk ukuran luar negeri. Bandingkan dengan makanan di Singapura yang serba mahal, setidaknya paling murah 20 ribuan rupiah belum termasuk minuman.

CHAPTER 7: LORONG SEMPIT YANG GELAP DAN BERANJING

Hari mulai gelap. Keluar dari restoran Usman, kami mencoba menganalisis peta rumit Periplus dan menurut peta itu ada gang tembus menuju jalan dekat stasiun BTS Phrom Pong, yaitu gang tepat setelah gang restoran Usman atau beberapa gang setelah gang restoran itu. Namun di gang pertama, kami langsung menemui jalan buntu. Kemudian kami berbalik dan mencoba menyisir jalan besar dan menemukan sebuah gang yang nampaknya memanjang jauh ke dalam, dan bila dicocokkan dengan peta, seharusnya gang itu tembus. Ketika berjalan menempuh gang sambil meneliti dan menganalisis peta rumit Periplus, kami melihat sisi "residence" dari kota Bangkok. Di gang tersebut, ada beberapa rumah yang bersebelahan dengan tiang listrik yang berkabel rumit, dan suasananya mirip seperti gang perumahan di kota Tokyo. Dan seakan melengkapi suasana Tokyo yang sedang terbayang, tiba-tiba muncul anjing liar yang tampak kelaparan, yang berjalan dengan lambat namun pasti dan cukup agresif, ke arah kami. Belajar dari pengalaman, kami tidak lari. Kami kemudian berjalan cepat seakan tidak ada apa-apa, dan berusaha tetap tenang. Namun patheticnya, setelah kami berjalan beberapa meter ke arah dalam gang, tiba-tiba muncul anjing lain yang besar dan berwarna putih, dan seingat saya sepertinya ada anjing lain lagi yang mulai muncul dari persembunyiannya. Dan di tempat itu, saya menyadari bahwa gang itu ternyata terhalang oleh sebuah rumah yang lengkap dengan pagarnya--dengan kata lain, buntu alias dead end. Patheticnya saya berbalik arah dan diam di tempat sambil mencoba tetap tenang dan membaca peta lebih teliti, sementara Ardi mulai berbalik dan berjalan cepat dengan panik menuju ke luar gang. Awalnya saya kira anjing-anjing itu akan cuek dan diam saja, namun ternyata mereka berjalan dengan cepat dan pasti ke arah saya, dengan lidah-lidah yang terjulur yang meneteskan air liur. Saat lidah mereka nyaris terkena celana saya, akhirnya saya langsung bertindak dengan berjalan cepat, tanpa berlari, mengikuti Ardi ke mulut gang. Untunglah akhirnya kami berhasil lolos dari anjing-anjing buas, meski gagal mendapat jalan tembus.

Dengan letih dan perasaan kecewa, kami kembali ke stasiun melalui jalan pertama yang tadi kami tempuh, yang sebenarnya merupakan jalan memutar yang tidak efisien. Dan tentu saja, semakin malam semakin gemerlap lampu-lampu dan huruf-huruf di atas bar dan pub itu, dan semakin gencar wanita-wanita itu menjajakan diri mereka di luar. Kami melintasi hotel yang megah itu lagi, sambil berpikir, seandainya saja kami menginap di hotel itu.

CHAPTER 8: KENA TIPU

Ketika hampir mencapai stasiun BTS, kami kembali melintas di dekat taman berkolam dan berair mancur, yang seharusnya menurut jadwal di papan dekat situ, pertunjukan air mancur menari akan dimulai beberapa menit lagi. Bermaksud untuk menonton, saya membeli Coca-Cola KALENG SEDANG (bukan kaleng kecil) dari penjual minuman di dekat taman itu, yang harganya hanya 12 Baht (alias hanya 3600-an rupiah)! Aduh, sungguh murah Coca-Cola di sini dibandingkan dengan di Jakarta yang harganya 5000-an rupiah bahkan 6000-an rupiah per kalengnya. Kemudian kami pun duduk di tangga berundak yang berbatasan dengan kolam air mancur, sambil mengamati orang-orang Thailand baik tua maupun muda yang sedang giat mengikuti senam Taichi di taman, sementara beberapa yang lainnya jogging di taman jogging di seberang kolam. Suasana malam itu diperindah dengan latar gedung-gedung pencakar langit bercahaya yang letaknya tidak jauh dari sekitar taman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.35, namun belum ada tanda-tanda dimulainya pertunjukan air mancur menari. Padahal, menurut jadwal, pertunjukan itu seharusnya dimulai pukul 19.30. Tiba-tiba saya mendapat telepon dari Pak Beny yang berdinas di KBRI Bangkok dan merupakan kenalan ayah saya. Beliau menanyakan posisi saya saat itu, dan saat saya menjawab bahwa saya sedang berada di Phrom Pong, beliau nampaknya terperanjat dan memberi tahu agar saya berhati-hati, dan dari nadanya sepertinya beliau mengimbau saya agar cepat-cepat pergi dari situ. Duh, jangan-jangan Pak Beny ini beranggapan bahwa saya yang baru tiba di Bangkok ini langsung ke Phrom Pong buat menikmati kehidupan malam di bar-bar itu lagi? Hiih.... Sementara sudah hampir pukul delapan namun air mancur tidak muncul-muncul juga, akhirnya dengan kecewa kami bergegas ke stasiun BTS dan naik kereta ke stasiun BTS Siam yang diapit mall-mall berkelas dengan pedestrian yang indah yang nampaknya akan gemerlap di kala hari sudah gelap.

CHAPTER 9: ORCHARD-NYA BANGKOK & THE ROAD OF PILGRIMAGE

Pertama-tama, saya dan Ardi menjelajah daerah pelataran mall Siam Paragon yang indah dan gemerlap. Nampaknya ketinggian pelataran ini berada di level 2, yaitu di bawah level jalur BTS dan berada di atas ketinggian jalan raya. Menurut saya daerah ini bahkan lebih indah daripada Orchard di Singapura. Kemudian kami berfoto-foto dengan latar mall dan air mancur berwarna-warni. Saat saya minta difoto di depan pintu Siam Paragon yang megah dan berappeal tinggi itu, peta rumit Periplus saya titipkan ke Ardi, dan nampaknya dia meletakkannya sebentar di bangku. Selesai foto-memfoto, kami menyadari bahwa peta itu hilang. Kepanikan pun terjadi dan tak lama kemudian Ardi menyadari ada seorang turis asing laki-laki yang berbadan besar dan gempal (entah orang bule atau arab, tapi Ardi meyakininya sebagai orang Mexico) memegang dan mengamati peta lipat sambil duduk di bangku bersama entah istri atau pacarnya.

"Tapi tau dari mana itu peta punya kita?" tanya saya.

"Soalnya kelihatan petanya rumit, dan kayaknya ga ada turis selain kita yang menggunakan peta serumit itu," balas Ardi. Kemudian kebingungan dan kebimbangan melanda kami berdua. Kami ragu-ragu untuk meminta kembali peta tersebut, selain karena ada ketidakyakinan bahwa peta itu memang milik kami, juga karena nampaknya turis Mexico berbadan besar itu menganggap peta tersebut sebagai barang temuan dan sudah menganggap peta itu sebagai miliknya. Akhirnya kami menunggu sampai turis itu meletakkan petanya dan pergi, namun nyatanya dia hanya meletakkannya di bangku dan tidak beranjak. Ketika kami menghampiri untuk mengambil peta itu secara diam-diam dari sebelah turis itu, tiba-tiba dia itu mengambil peta itu lagi dengan santainya dan menggenggamnya sambil mengobrol bersama pasangannya. Nampaknya dia akan memegang peta itu dalam waktu yang lama karena sedang asyik mengobrol. Akhirnya Ardi memberanikan diri menghampiri dan menghadap si turis Mexico yang sedang duduk itu dan berkata (kalau tidak salah), "I want to take my map back".

"Ooh... Okay then..." gumam turis itu dengan cepat namun bimbang, dan nampaknya ada kekecewaan dalam suaranya. Mungkin tadinya dia berpikir, "Wah lumayan juga nih nemu peta yang rumit dan lengkap begini! Gratis lagi. Peta yang saya dapat dari kemarin selalu peta turis yang sederhana, tidak banyak berguna, dan cenderung menyesatkan."

Pelataran mall Siam Paragon

Setelah kejadian itu, kami masuk ke pintu utama Siam Paragon dan melihat-lihat. Di dalam lobby, menjulang dengan tinggi sebuah hiasan patung yang indah, dihiasi oleh berbagai macam hiasan dan air mancur. Masuk ke dalam, ternyata mall ini sangat mewah, megah, dan dipenuhi gerai-gerai branded yang bertebaran di mana-mana. Kurang lebih seperti East Mall-nya Grand Indonesia, namun suasananya lebih mewah, lebih terang, dan terlihat lebih lega. Menurut papan informasi, di lantai basement terdapat Ocean Park, namun ternyata tutup dan kalau pun buka, untuk memasukinya dikenakan biaya. Akhirnya kami hanya mengitari bagian dalam mall sebentar, kemudian pergi ke luar melalui pintu lainnya. Begitu keluar dari mall tersebut, kami sampai di sebuah pelataran level 2 yang berundak sedikit demi sedikit menurun menuju level 1 yang setara dengan ketinggian jalan raya. Pelataran tersebut dihiasi tanaman palm yang indah dan penuh dengan hiasan lampu berwarna-warni. Kami pun berfoto sebentar di tempat gemerlap yang terlihat seperti "road of pilgrimage" itu apabila dilihat dari level 1.

Pelataran "road of pilgrimage" di depan Siam Paragon

Berikutnya kami mencoba berjalan kaki untuk meng-explore sisi timur dari Orchard District-nya Bangkok ini. Di sisi timur kami menemukan mall yang terlihat sangat digdaya, megah, dan berarsitektur modern, bernama Central World. Menurut informasi yang pernah saya baca, Central World ini merupakan gabungan dari sekitar 3 buah mall antara lain Zen, Isetan. Kelihatannya mall ini lebih dikhususkan untuk anak muda yang menggemari fashion dan belanja di department store. Namun sayangnya saat itu hari sudah agak malam, meski masih jauh dari tengah malam, sehingga pelataran yang luas di depan mall itu sudah sangat sepi, hanya ada 2 orang yang duduk di tepi pelataran. Di sini kami berfoto sedikit lalu kembali ke stasiun BTS Siam dan naik kereta menuju stasiun BTS Ratchadewi.

Central World

CHAPTER 10: HASTA MANANA

Dari stasiun Ratchadewi, kami harus berjalan beberapa ratus meter menuju hotel, menyusuri jalan besar (Thanon Petchaburi) yang dipenuhi ruko di tepinya yang sudah mulai gelap. Meskipun begitu, banyak Tuk-tuk (kendaraan umum tradisional khas Thailand) masih berkeliaran dan melaju di jalan raya dengan suburnya, meramaikan suasana jalan seperti pasukan kecoa di musim kawin. Selain Tuk-tuk, bus kota juga nampaknya masih melayani penumpang yang ingin turun di tepi jalan.

Sampai di hotel, kami beristirahat sejenak di kamar. Saya menjama' solat Isya dengan Magrib karena tadi di jalan kami tidak menemukan masjid. Kemudian kami keluar dari kamar dan menuju kafetaria berpayung-payung di bawah untuk minum minuman (meskipun hanya memesan Coca-Cola, soalnya minuman yang lain mahal) sambil merencanakan itinerary untuk esok hari dan juga sambil menghitung dan menganalisis keuangan dan pengeluaran. Tak lama setelah kami meneguk minuman kami sedikit, tiba-tiba pelayan cafe yang hanya satu orang itu menghampiri kami dan dengan bersusah-payah dan sulit dimengerti, berkata dalam bahasa Inggris bahwa kami harus membayar sekarang karena dia sudah mau pulang. Kami pun membayar dan bertanya apakah kami masih boleh berlama-lama, dan dia menjawab boleh. Setelah nyamuk-nyamuk puas menghisap darah kami, kami pun menuju kamar dan tidur.



The original video for this MP3 can be found here.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar