Senin, 05 November 2012





Sayembara
‘Menguak Misteri Sambal Nasi Lemak Melayu’
2013

1. Latar Belakang


Berawal dari pengalaman masa kecil di Malaysia, penyelenggara sayembara menyukai masakan khas Melayu, terutama nasi lemak yang akan terasa lezat dan selaras jika dipadukan dengan sambalnya yang khas. Setelah pindah ke Jakarta pada tahun 1996, penyelenggara tidak dapat lagi menemukan rasa nasi lemak yang sebenarnya. Yang ada hanya nasi uduk yang rasa nasinya serupa namun berbeda karena racikan sambal yang berbeda pula.

Tahun 2000-an ke atas, mulai bermunculan berbagai restoran khas Malaysia di Jakarta. Penyelenggara sempat mengunjungi restoran-restoran tersebut untuk mencicipi nasi lemak, termasuk salah satu restoran yang dengan bangga mengatasnamakan ‘citarasa otentik negeri jiran’, namun sampai saat ini penyelenggara belum berhasil menemukan rasa sambal nasi lemak yang sesuai dengan harapan. Hingga akhirnya pada tahun 2010 - 2012, penyelenggara sempat mengunjungi beberapa bandar yang didominasi etnis Melayu seperti Medan, Kuala Lumpur, Penang, Langkawi, Kuching, Singapura, Batam, dan Tanjung Pinang. Rasa sambal nasi lemak yang khas seperti harapan akhirnya berhasil penyelenggara temukan di Kuala Lumpur, yaitu di sebuah kedai nasi lemak legendaris yang terletak di tepi jalan. Dan sebenarnya masih ada 2 kedai nasi lemak legendaris lainnya di Kuala Lumpur yang belum sempat dicoba oleh penyelenggara. Di Medan dan Penang, penyelenggara tidak sempat mencoba nasi lemak mengingat singkatnya waktu kunjungan. Di Kuching, Singapura, Langkawi, Batam, dan Tanjung Pinang, penyelenggara sempat mencoba berbagai nasi lemak yang disiapkan oleh penduduk lokal (bahkan hingga ke pelosok perkampungan tradisional nelayan), namun rasanya belum ada yang benar-benar sesuai harapan.

Didorong oleh pengalaman tersebut, penyelenggara berinisiatif mencoba membuat sambal nasi lemak sendiri di Jakarta. Dengan mengumpulkan beberapa resep nasi lemak yang ditulis oleh warga negara Malaysia di internet, penyelenggara mulai mengumpulkan bahan dan mempraktekkan resep tersebut. Penyelenggara juga menyadari bahwa semua resep tersebut memiliki banyak kesamaan, di mana semua resep melibatkan penggunaan ikan bilis (ikan teri), belacan (terasi), air asam jawa, gula merah, gula putih, garam, bawang putih, bawang merah, bawang besar (bombay), dan cabai merah besar. Resep-resep tersebut juga menerapkan cara memasak yang seragam.

Percobaan demi percobaan berakhir dengan kegagalan. Penyelenggara kemudian menyadari beberapa kesalahan: ikan teri yang digunakan semestinya direndam terlebih dahulu agar tidak terlalu asin; cabai yang digunakan seharusnya dijemur terlebih dahulu agar mengering; dan yang mengejutkan, bawang yang digunakan di Malaysia ternyata berbeda. Penduduk Malaysia biasa menggunakan varian bawang merah berukuran besar dan bawang besar yang berwarna merah keunguan (red onion). Belajar dari kesalahan, penyelenggara mencoba membuat sambal untuk terakhir kalinya menggunakan bahan-bahan yang sudah disesuaikan. Penyelenggara berpikir untuk mengadakan sayembara ini jika percobaan terakhir gagal. Hasilnya? Memang cenderung lebih mendekati asli, namun sayangnya karena berbagai faktor, rasanya masih tetap tidak seperti yang diharapkan.

2. Tujuan & Manfaat


-          Menemukan kembali rasa sambal nasi lemak yang semestinya
-          Meluruskan anggapan yang sudah tertanam pada masyarakat (Indonesia) bahwa nasi lemak tidak lezat
-          Mengamati dan mempelajari dunia kuliner masyarakat Melayu
-          Melestarikan warisan budaya dan kuliner masyarakat Melayu (di Indonesia)
-          Melatih dan meningkatkan ketrampilan dan kepekaan peserta dalam memasak

3. Kriteria


-          Sayembara terbuka bagi semua kalangan, baik pelajar, mahasiswa jurusan boga / hospitality, atau umum
-          Laki-laki atau perempuan
-          Usia minimal 16 tahun, maksimal 50 tahun
-          Memiliki ketrampilan memasak yang baik
-          Hasil masakan konsisten
-          Dapat mengikuti resep
-          Memiliki pengetahuan luas akan berbagai bahan, bumbu, rempah, dan teknik memasak, serta dapat menerapkannya dalam memasak
-          Perfeksionis (tidak mengganti bahan, tidak melenceng dari aturan)
-          Kreatif dan inovatif
-          Dapat menebak bahan-bahan yang terkandung dengan mencicipi makanan
-          Peka terhadap rasa makanan dan dapat membedakan kualitas rasa masakan
-          Mementingkan kualitas bahan masakan
-          Berkelakuan baik, sopan, jujur, terbuka, dan memiliki interpersonal skill yang baik

4. Seleksi


Proses seleksi akan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap seleksi dokumen (), tahap ujian praktek (), dan tahap wawancara (). Hanya akan terpilih 1 orang pemenang.

Calon peserta dapat mengikuti sayembara dengan mengirimkan ikhtisar/esai/cerita/surat yang menarik mengenai diri sendiri. Tulisan harus mengandung biodata (nama lengkap, tanggal lahir, alamat kediaman, email, nomor telepon seluler, ID Facebook, ID Twitter, dan latar belakang pendidikan formal dan nonformal) dan deskripsi diri yang merangkum kriteria sayembara disertai berbagai cerita mengenai pengalaman yang berhubungan dengan dunia kuliner (dapat berupa pengalaman mencoba masakan, memasak, belajar, kursus, kuliah, lomba, masterclass, dan sebagainya). Tulisan boleh disertai foto diri, foto masakan yang pernah dimakan atau dimasak sendiri, dan lain-lain. Tulisan harus dibuat dalam format file .doc (bukan .docx) dan dikirim ke (alamat email). Kolom judul email diisi dengan judul “Peserta Sayembara Nasi Lemak”. Batas akhir pengiriman email adalah tanggal … Peserta yang lolos seleksi dokumen akan dihubungi oleh penyelenggara untuk maju ke tahap seleksi berikutnya.

5. Hadiah


Pemenang akan mendapatkan kesempatan mengunjungi Kuala Lumpur dan mendapatkan voucher belanja senilai Rp1.000.000 (satu juta rupiah). Dalam program kunjungan ke Kuala Lumpur, pemenang akan diajak berkeliling untuk mencoba berbagai masakan nasi lemak di tempat-tempat yang berbeda. Program akan dilanjutkan dengan belanja bahan dan homestay di rumah penduduk lokal untuk demo memasak. Tiket pesawat pulang-pergi, pajak bandar udara, akomodasi, dan transportasi selama program akan ditanggung penyelenggara sayembara.

Sabtu, 21 Juli 2012

Tanjung Pinang Trip ~Perjalanan Mencari Otentisitas~

peta Batam - Bintan

Ini kali kedua saya jalan-jalan bareng sepupu. Karena kita adalah pemburu authenticity, maka kami memutuskan untuk pergi melancong ke Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya kota Tanjung Pinang dan Batam. Tujuan kami ke tempat ini selain untuk mencari authenticity, tak lain tak bukan adalah untuk memastikan samada budaya dan bahasa mereka memang bercirikan Melayu yang kental, dan juga untuk memastikan samada keadaan di sana memang mirip-mirip Singapore dan Malaysia (dalam artian banyak kedai kopi lokal dan kedai kopi Cina, banyak hawker centre, dan juga populernya Milo sebagai minuman yang digemari masyarakat lokal).

Kami mengambil penerbangan Lion Air dengan jadwal pukul 8.25 pagi dan mendarat (dengan sedikit menggerunkan berhubung landasannya pendek) di Lapangan Terbang Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang sekitar satu jam empat puluh lima menit kemudian. Dari bandara kami naik taksi dengan tambang tetap Rp70.000 (Zona 3) menuju Hotel Sampurna Jaya yang terletak di pusat bandar Tanjung Pinang. Setelah tiba, kami langsung masuk kamar (yang terlihat tua dan creepy) untuk meletakkan barang. Setelah siap, kami kemudian keluar hotel dan berjalan kaki menuju pelabuhan Sri Bintan Pura yang terletak tidak jauh dari hotel untuk membeli tiket ferry menuju Batam yang akan digunakan esok hari. Dalam perjalanan, kami membeli otak-otak ikan dan sotong untuk dimakan selama berjalan (rasanya enak dan pedas, lagi gurih, gak seperti otak-otak yang di Jakarta). Setelah berhasil membeli tiket, kami menyempatkan diri untuk mencoba satu dari sekian banyak kedai kopi yang bertebaran di jalan utama bandar ini, yaitu Jalan Merdeka yang dipenuhi ruko-ruko authentic. Di kedai kopi yang terletak tepat di sebelah Kedai Kopi Pagi Sore ini (lupa namanya), kami memesan Roti Prata kosong dan es teh tarik :D Duh, roti prata dan kuahnya itu, enak dan authentic banget deh. Rasa karinya benar-benar terasa dan hampir mirip dengan kari di Singapore dan Malaysia (malah lebih pedas dan spicy), tidak seperti kari-kari palsu encer yang dijual di Jakarta yang mengembel-embeli diri sebagai makanan authentic Singapore dan negeri jiran (mungkin rasanya sudah disesuaikan dengan selera warga Jakarta kali ya, yang kebanyakan gak doyan kari, tapi kan malah jadi nanggung dan eneg gitu rasanya). Es teh tariknya agak aneh sih. Yaaah, mudah-mudahan saja kami saat itu memang sedang tidak beruntung...


persimpangan authentic Jalan Merdeka, Jalan Bintan, Jalan Pos

 
otak-otak khas KepRi


roti prata dengan kuah kari dan es teh tarik

Puas nyobain makanan, kami berjalan kembali ke hotel melewati Jalan Bintan, sebuah jalan kecil (lorong) yang lebih authentic lagi. Di ujung jalan, kami berjumpa Masjid Raya Al-Hikmah. Saya mampir ke masjid untuk jumatan sementara sepupu saya yang wanita kembali ke hotel untuk beristirahat dan menunggu saya selesai. Oh ya, jamaah yang solat Jumat ini rata-rata bercakap bahasa Melayu lho (terdengar sama dengan bahasa Melayu Singapore dan Malaysia)… bahkan beberapa dari mereka mengenakan baju Melayu. Meski sebagian besar penduduknya adalah Melayu, entah gimana kami merasa terganggu dengan warga pendatang (selain warga Tionghoa) dari belahan bumi Nusantara lainnya (no offense lho), misalnya pendatang dari Minang, tanah Batak, dan Jawa (karena mereka cukup banyak jumlahnya dan tak cakap bahasa Melayu (yang Jawa ya medok, yang Minang ya Padang, yang Batak ya Batak), jadi sedikit banyak mengurangi authenticity kota Tanjung Pinang :p). Di samping itu, bahasa resmi di kota ini adalah bahasa Indonesia, sehingga kosakata yang digunakan pada pengumuman, iklan, dsb. kebanyakan adalah kosakata bahasa Indonesia.


interior Masjid Raya Al-Hikmah

Usai Jumatan, saya kembali ke hotel untuk menjemput sepupu saya lalu kami memulai petualangan untuk menjelajah kota ini lebih jauh :D Kami menelusuri lorong-lorong authentic di Jalan Pos dan Jalan Pasar Ikan. Makin ke dalam, makin berasa suasana Chinatown-nya. Di Jalan Pos kami mampir ke Bintan Plaza untuk melihat-lihat. Di persimpangan di penghujung Jalan Pos, kami menemukan Hotel Tanjungpinang yang nampak sangat tua. Di dekat sini juga terdapat jalan kecil menuju dermaga Pelantar 1, yang merupakan dermaga untuk naik perahu menuju perkampungan Senggarang. Dari sini kami berjalan menyusuri Jalan Pasar Ikan yang authentic dan berbelok di ujung jalan untuk menuju Pelantar 2 yang juga authentic. Di ujung Jalan Pelantar 2, terdapat dermaga yang authentic yang bahkan dilengkapi dengan sebuah kuil Cina (cetiya) tepi laut. Dermaga ini juga tampaknya bila malam tiba akan berubah menjadi sebuah hawker centre tepi laut. Cihuy! So Singaporean / Malaysian.

interior Bintan Plaza

Jalan Pasar Ikan

Jalan Pelantar 1

kuil tepi laut: Cetiya Bodhi Sasana


Akau Laut Jaya Pelantar 2

Selepas itu kami berjalan ke arah sebaliknya dan menemukan sebuah kuil tua (Vihara Bahtra Sastra), yang merupakan salah satu wihara tertua di jantung kota Tanjung Pinang. Authentic gitu deh. Oh iya, wihara ini terletak di ujung Jalan Merdeka, yang mana jalan tersebut yang menjelma menjadi sebuah alun-alun kota (square) dan terminal angkot dengan 3 lane. Di tempat ini kami berjumpa kedai kopi yang tadi lagi, dan kali ini kami mencoba Kedai Kopi Pagi Sore yang katanya legendaris yang terletak persis di sebelah kedai kopi itu. Di sini kami memesan menu yang sama: Roti Prata dan Es Teh Tarik. Roti Pratanya gak seenak yang tadi, terlebih lagi rasa kuah karinya lebih mirip kuah gulai Padang daripada kari. Ngek! Doesn’t mean I hate Padangnese food, but we’ve come all this way from Jakarta to seek for the real flavor of Malay food. Meski begitu, es teh tariknya, woow… juara banget. Rasanya hampir mirip es teh tarik yang di Malaysia dan Singapore! Bisa dibilang kombinasi keduanya lah. Takarannya pas, buihnya tumpah-ruah, dan yang penting: ada rasa ITU-nya! Setelah puas, kami kembali menuju hotel untuk beristirahat.

terusan Jalan Pelantar 2


terusan Jalan Pelantar 2

 
town square

 
es teh tarik Kedai Kopi Pagi Sore

Menjelang petang, kami berjalan menuju Ocean Corner, di mana terdapat sebuah pedestrian plaza tepi laut dan sebuah monumen. Kalau malam tempat ini juga akan berubah menjadi sebuah hawker centre :D Di sepanjang jalan di tepi laut juga terdapat banyak gerobak yang menjual jajanan dan juga minuman dingin (es teh tarik, ice Milo, kopi) yang dilengkapi kursi-kursi yang disusun di pantai. Kami memutuskan untuk rehat sejenak di sini sambil menengadah menatap langit senja, selonjoran, dan minum segelas ice Milo. Oh ya, ice Milo-nya yummy banget deh! Dan ada rasa ITU-nya :p Latar pemandangan yang terhampar di hadapan kami adalah Pulau Penyengat. Masjid Putih Telur yang merupakan salah satu situs wisata bersejarah juga tampak jelas di pantai pulau itu. Ketika hari makin gelap, layar-layar tancap mulai dipasang agar orang dapat menonton acara TV sambil menyantap makanan ringan dan minum minuman yang menyegarkan.

Ocean Corner

Ice Milo

 
  
Pulau Penyengat


layar tancap


Setelah sekian lama beristirahat, kami meneruskan perjalanan menempuh jalan yang berlumpur menuju Monumen Fisabilillah yang di dasarnya terdapat pasar malam yang meriah dengan wahana permainan anak yang berwarna-warni. Tak jauh dari sini, kami juga berjumpa dengan hawker centre lainnya yang cukup termasyhur yang bernama Melayu Square. Kami memutuskan untuk mencicipi makanan-makanan di Melayu Square ini. Oh ya, begitu duduk di sini, jangan kaget bila semua vendor tiba-tiba berdatangan dan menyodorkan menu mereka masing-masing. Take your time, bersikap tenang saja, pilih-pilih dengan santai dan leluasa, kemudian putuskan mau pesan yang mana. Kami memesan seporsi laksa goreng, seporsi sotong bakar dengan nasi putih, seporsi roti prata kosong dengan kuah kari, dan tentunya es teh tarik lagi (gak bosen-bosen). Laksa gorengnya lumayan enak sih, dan mau makan seberapa banyak pun, tetap gak bikin eneg. Seandainya saja kita bener-bener lagi laper banget, pastinya nikmat banget deh makan itu. Sotong bakarnya… Gurih, enak, spicy, bumbunya menyerap sempurna, dan gak alot. Tapi gak selegit cumi tinta yang dimasak selama 3 jam juga sih. Roti prata kosongnya lumayan, cuma sayang kuahnya cenderung seperti gulai, bukan kuah kari. Tapi enak sih, gak seperti prata ‘nanggung’ yang di kedai kopi Pagi Sore tadi. Sepupu saya bahkan menyatakan bahwa sejauh ini, roti prata ini adalah yang paling disukainya. Dan es teh tariknya, wow! Yang ini lebih mirip Malaysia gitu deh.

pasar malam


Melayu Square

 
roti prata, laksa goreng, es teh tarik

 
sotong bakar

Setelah puas, kami naik angkot dari Melayu Square menuju Akau Potong Lembu, sebuah hawker centre paling termasyhur dan paling legendaris di Tanjung Pinang (bahkan di Kepulauan Riau mungkin). Naik angkot di sini gak perlu bingung. Tinggal tanya pengemudinya aja, lewat atau nggak. Seandainya nggak lewat pun, biasanya si bapak pengemudi akan mengiyakan dan akan sengaja menyimpang keluar dari trayek resmi untuk melewati tempat yang dimaksud, mengingat kawasan inti kota Tanjung Pinang ini memang tidak begitu luas. Jangan khawatir, karena tambangnya tetap Rp3000 per orang. Hanya perlu waktu 5 menit, dan kami tiba di mulut lorong yang diapit ruko yang merupakan jalan masuk menuju Akau Potong Lembu. Begitu kami tiba, wow… Hawker centre ini memang sangat ramai, authentic, meriah, semarak, riuh, spektakuler, dan berbagai kata lainnya yang dapat mendeskripsikan tempat ini. Bahkan menurut saya tempat ini jauh lebih meriah daripada hawker centre Jalan Alor di Kuala Lumpur ataupun Lau Pa Sat di Singapore. Meja-meja bundar lengkap dengan kursi-kursi plastik bertebaran di seluruh penjuru alun-alun yang diapit kompleks ruko-ruko tua yang authentic. Ratusan warga lokal memenuhi meja untuk makan besar ataupun ngemil sembari bercengkerama dengan bahagia bersama keluarga, kerabat, kawan, ataupun rekan mereka. Berpuluh-puluh food stall mengelilingi alun-alun ini, antara lain sate, lou mie, o luak, mie goreng, mie rebus, nasi ayam Hainam, aneka seafood, gonggong (siput laut khas Kepulauan Riau), minuman, dan bahkan dessert berupa pisang goreng keju susu yang yummy banget (setelah kami selidiki, ternyata karena menggunakan susu krimer kental manis impor bermerk Dairy Champ)! Sayangnya kami sudah kenyang, sehingga kami hanya dapat mencoba sebahagian kecil dari sekian banyak makanan yang tersedia di akau ini. Menurut referensi yang kami peroleh dari internet, gonggong terlezat di akau ini dijual oleh kakek-kakek tua bungkuk. Kami berkeliling untuk mencari kakek yang dimaksud dan ketika menemukan orang yang dimaksud, kami mengintai kakek itu sejenak. Sepupu saya yang sedari tadi memerhatikan seluruh pedagang di tempat yang luas itu bahkan meyakinkan saya, “Bang, kayaknya memang benar itu deh, karena cuma dia satu-satunya pedagang yang bungkuk. Dan dia jualan gonggong. Yang sebelah sana itu kakek-kakek juga tapi gak terlalu bungkuk dan dagangan utamanya gonggong.” Kami mencoba gonggong (isi 20 buah) dan pisang goreng keju susu yang sangat yummy tadi itu. Oh ya, gonggong itu baunya agak-agak amis air laut gitu deh (bayangkan bau air laut di dekat perkampungan nelayan), tapi begitu kami mencungkil dan mencoba isinya, ternyata rasanya lumayan juga, apalagi bila dicocol ke sausnya. Bagian yang paling enak itu yang bagian yang lunak dan slimy-nya (yang justru terlihat menjijikkan), sementara bagian yang kenyal di dekat kaki berduri dari zat kitin atau entah zat kapur itu, cenderung kenyal dan sulit digigit seperti halnya getah dan juga cenderung agak amis, seperti halnya cumi/sotong yang belum masak benar. Begitu disajikan, sedapat mungkin segera habiskan gonggong ini, karena kalau kelamaan akan berasa amis bila dimakan. Overall, kami tidak sampai tergolong doyan makanan ini (meski katanya banyak juga yang ketagihan mau coba makan lagi), tapi setidaknya kami telah menuntaskan salah satu dari beberapa objectives yang katanya wajib dilakukan di Tanjung Pinang: makan gonggong.

suasana hawker centre AKAU POTONG LEMBU yang semarak lagi authentic

Gonggong, siput laut khas KepRi

pisang goreng keju susu

Setelah puas menikmati suasana akau yang sesuatuk itu, kami naik ojek (tambang Rp5000 per ojek) yang mangkal di mulut lorong akau untuk kembali ke hotel tempat kami menginap. Agak-agak mengerikan sih, karena begitu kedua ojek yang kami tumpangi meluncur, kok sepupu saya dibawa melesat ke arah yang berlawanan gitu, memasuki kawasan gang yang gelap yang diapit-apit ruko, ngebut pula. Mana perempuan, sendirian lagi. Dan ketika saya nyampe di hotel, belum ada tanda bahwa sepupu saya akan tiba. Beberapa sepeda motor berlalu di jalan namun tak ada satu pun yang ditumpangi sepupu saya. Tapi untunglah akhirnya dia tiba setelah beberapa menit, kalo nggak kan, gila aja, gimana pertanggungjawabannya ini :P Gak lagi deh naik ojek malem-malem di Tanjung Pinang, daripada diculik. Mana ongkosnya cuma lima rebu lagi, bukankah tidak menutup kemungkinan si tukang ojeknya akan meminta ‘lebih’.

Minggu, 26 Februari 2012

Azerbaijan ~An Flaming Land of Oil Bordering The Caspian Sea~

Setelah berbagai hal yang terjadi di Georgia, kini tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Azerbaijan, negeri tertimur di daratan Caucasus, sekaligus negara paling timur di benua Eropa :) Negeri yang sudah lama ingin kutapaki :p

Di hari terakhir di Georgia, saya mengirim sms perpisahan ke Lasha dan juga Giorgi. Mereka membalas dengan pujian dan kesan mereka, juga pesan agar saya berhati-hati selama perjalanan dan dapat berjumpa kembali dengan mereka suatu hari nanti. Giorgi bahkan menelepon balik dan mengungkapkan bahwa dia merasa bersalah karena menurutnya dia tidak berhasil menjadi host yang baik.

Sebelum check out, saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat di Old Tbilisi untuk terakhir kalinya, antara lain masjid Tbilisi, pemandian Tbilisi, dan sebuah square yang indah di sisi utara Old Tbilisi. Square itu dikelilingi cafe-cafe yang masih sepi dan di salah satu sudutnya terdapat sebuah gereja Anchiskhati Basilica yang dilengkapi menara lonceng. Sebelum kembali ke hostel, saya sempatkan diri untuk membeli 3 buah khachapuri sebagai bekal selama perjalanan menuju Azerbaijan (perjalanan dengan kereta akan memakan waktu 17 jam). Ketika akan meninggalkan hostel, saya bertemu Irakli untuk yang terakhir kalinya dan membayar biaya menginap kepadanya. Di saat yang sama, ternyata ada 3 orang tamu yang baru tiba di hostel itu, dan mereka baru saja tiba dari Azerbaijan! Mereka sedang duduk-duduk beristirahat di balkon ketika Irakli menyapa mereka dan memperkenalkan saya pada mereka. Irakli berkata, "Kalian baru tiba dari Azerbaijan, dan sebaliknya dia akan berangkat hari ini menuju Baku, Azerbaijan." Salah seorang dari mereka, yang sudah berusia paruh baya, menghampiri saya untuk berbicara sejenak. Sepertinya dia seorang old traveler yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dia berpesan seakan sedang memberi wasiat, "Remember son, whenever you're lost, just take bus number 65.. In Baku, Azerbaijan. It will always be your savior". Teman-teman lainnya yang masih belia menambahkan dari jauh, "Besides, it's cheap. Only 20 qapiks". Saya pun membalas dengan penuh apresiasi, "Okay, I'll keep that in mind. Thank you very much for the information. I better get going now".

Namun saat saya sedang membalikkan badan untuk berangkat, tiba-tiba dia berseru, "Wait!" Saya kembali memandangnya dan serta-merta dia mengajukan suatu pertanyaan absurd dengan wajah heran sekaligus penasaran, "Are you MONGOLIAN?" Gyaaaaaw.. plis deh. Saya menyangkalnya lalu menjelaskan bahwa saya berasal dari Indonesia. Sejenak mereka tampak terkesan dengan Indonesia. "Take care, have a nice trip," kata mereka dan Irakli akhirnya.

Lagi-lagi saya harus menenteng koper saya menuruni undakan tangga hostel, dan bisa ditebak saat-saat berikutnya saya lalui dengan berjalan menempuh perjalanan panjang sambil menyeret-nyeret koper berat saya melewati trotoar, jalan raya, dan stasiun subway, sambil memikul tas ransel saya yang tak kalah beratnya (isinya kebanyakan botol plastik kosong khas Georgia, kan sayang kalo dibuang *krik). Duh pasti keadaan saya saat itu sangat pathetic sampai mengundang simpati dari orang-orang yang melihat deh. Setelah berbagai daya dan upaya menempuh dinginnya udara sambil membawa semua barang bawaan, akhirnya saya sampai di stasiun Tbilisi. Pertama saya mencari tempat duduk terlebih dahulu. Oh ya kalo ga salah saat itu waktu baru menunjukkan pukul 12 atau entah 1 siang, dan kereta ke Azerbaijan baru bertolak pukul 5 sore.. So what should I do next? Yaah akhirnya duduk-duduk dulu sejenak sekitar setengah jam atau entah satu jam di lantai 2 (ruang tunggu penumpang yang nyaman), sambil mengamati orang hilir-mudik, lalu-lalang. Sebagian besar dari mereka adalah penumpang kereta lokal yang akan pulang kampung ke desa mereka yang masih berada di wilayah Georgia. Hampir semuanya bepergian secara berombongan, umumnya bersama keluarga. Kakek-kakek, nenek-nenek, atau keluarga muda yang baru dikaruniai anak bayi atau balita. Mungkin sebenarnya ini mirip dengan yang di Indonesia, cuma bedanya yang di Indonesia orangnya agak-agak lusuh sementara di sini mereka mengenakan baju dingin berwarna gelap yang lumayan fashionable (bahkan orang-orang lanjut usia-nya mengenakan topi berbulu khas Rusia) dan paras mereka European :p Oh ya, rupanya di sini ada wifi yang bisa diakses secara gratis. Lumayanlah untuk update status Twitter dan membunuh waktu, meski lama-lama bosan juga.

Setelah bosan, saya turun ke lantai 1 untuk sekedar menukar uang Georgia yang tersisa. Ga ditukar habis sih, karena sisanya mau disimpan untuk kenang-kenangan. Dan saya ga terlalu peduli berapa rate-nya, karena sebaik apa pun rate-nya tetap saja perjalanan ini secara keseluruhan sudah lumayan menguras uang (harga tiket pesawatnya). Sekitar pukul 2 atau 2.30, saya naik lagi ke lantai 2 dan lanjut ke lantai 3. Di sini ada food court yang menyediakan makanan dengan berbagai pilihan: Georgian, Italian, Pastries, Turkish, Fast Food, dll. Sebenarnya saya ga begitu nafsu makan, tapi karena saya harus makan siang dan juga harus menunggu jam keberangkatan yang masih lama, akhirnya saya menghampiri counter Italian dan memesan Pizza Margherita (setelah bertanya secara lengkap mengenai perbedaan beberapa pizza dan calzone, yang dijawab oleh mbak-mbaknya yang berambut pirang menggunakan bahasa Inggris yang fasih). Setelah bayar, saya disuruh duduk dan menunggu pizza yang ternyata baru diantar 30 atau 45 menit kemudian (lumayan lah mengulur waktu). Mbak-mbaknya sempat minta maaf singkat sih. Langsung saja kuambil satu juring dari pizza yang tampak sedikit bertabur daging itu, lalu kumakan. Rasanya ya lebih ke keju dan tomat gitu, ga asing, seperti pizza di restoran-restoran sejenis Pizza Marzano, Pizza e Birra, atau Marche mungkin. Pizza di sini juga disajikan dengan saus tomat sachetan yang terpisah, kayak di Indonesia gitu deh (ternyata budaya menyocol makanan dengan saus tomat dan sambal bukan cuma di Indonesia aja ya :D). Setelah melahap 2 juring, saya baru teringat: "Ini daging apa ya?" Meski begitu situasi ini seharusnya bisa dimaklumi, karena situasinya darurat kan ya? Haha.. Salah seorang teman me-reply status saya, "Udah, hajar aja! Gak tau ini. Yang penting enaaak :D"

Setelah melahap habis pizza itu, saya tetap duduk di food court sampai waktu menunjukkan pukul 16.30 lalu beranjak menuruni undakan menuju peron (masih menenteng koper). Tidak begitu sulit mencari kereta tujuan Azerbaijan yang tengah parkir di platform berhubung tidak terlalu banyak kereta yang sedang parkir. Kereta ini berwarna hijau dan bertuliskan ТБИЛИСИ - БАКУ (Tbilisi-Baku). Oh ya, penumpang kereta, apalagi yang terlihat berbeda dan mencolok seperti saya, mungkin akan mengalami gangguan dari bocah-bocah pengemis saat melintasi platform. Jumlahnya gak banyak sih, cuma mereka maksa banget dan terus-menerus menengadahkan dan menyodorkan telapak tangan mereka tanpa rasa malu dan tanpa ragu-ragu sedikit pun, bahkan sambil senyum-senyum dan ketawa-ketiwi. Saya ga ngasih sama sekali, abisnya mereka ga terlihat membutuhkan sih, lagipula saya juga nggak sedia duit kecil di kantong. Saya berusaha berjalan tanpa mempedulikan mereka dan kemudian sampai di pintu gerbong kereta. Sebenarnya saya tidak begitu yakin gerbong mana yang harus saya masuki, karena sepertinya tidak ada nomor yang tertera pada dinding luar gerbong. Namun tepat saat saya tiba di depan pintu, seorang petugas kereta--wanita Georgia atau entah Azeri hampir-paruh-baya yang tambun--muncul dan saya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyodorkan tiket saya. Tak lama, dia juga meminta paspor saya dan membenarkan gerbong itu. Saya mengangkat koper ke dalam gerbong dan mengikuti petugas kereta melalui koridor kereta menuju kompartemen/kamar saya.

Segera saya meletakkan barang-barang di dalam kompartemen dan duduk sejenak untuk beristirahat. Kompartemen itu cukup luas untuk 2 orang, dan terdiri dari 2 tempat tidur lipat, yang terletak bersebrangan. Tidak begitu banyak penumpang kereta yang akan menuju Azerbaijan kala itu, sehingga kompartemen saya hanya dihuni oleh saya sendiri :) Tak lama kemudian, petugas kereta kembali ke kompartemen saya untuk mengembalikan paspor. Dia juga menambahkan sebuah formulir bea cukai untuk diisi. "Fill it. For Azerbaijan border," ujarnya datar. Tapi entah mengapa, kata-kata itu dan caranya menyampaikan kata-kata itu menyiratkan peringatan yang sangat penting dan anjuran untuk berwaspada saat melintasi perbatasan di sisi Azerbaijan. Dalam bayangan saya, dia terdengar seperti berkata, "Isilah formulir itu, sebagai bekal untuk melintasi perbatasan Azerbaijan. Kau benar-benar akan memerlukannya nanti. Mungkin akan sulit Nak, namun kita semua pasti bisa melaluinya bersama-sama."

Pukul 5 sore tepat, peluit berbunyi dan kereta mulai bergerak perlahan namun gaduh dan penuh guncangan (yang sangat signifikan sehingga agak sulit menjaga keseimbangan saat berdiri). Tak lama, petugas kembali datang dan membagikan seprai dan sarung bantal yang dibungkus plastik. Segera saya membuka bungkusnya dan memasang semuanya. Setelah selesai, saya keluar dari kompartemen dan menjelajah koridor kereta sejenak.

Rabu, 15 Februari 2012

Georgia ~The Beautiful Land of Kartvelians~ (Part 2 of 2)

Teater Nabadi

Tbilisi State Concert Hall

Rustaveli Square

Rose Revolution Square

Tbilisi Marriott Hotel

National Gallery

Gedung Parlemen

Film-film yang tengah diputar di bioskop

Di hari kedua saya di Georgia, saya bermaksud bertemu dengan teman couchsurfing lainnya yang bernama Giorgi Rostiashvili (sehari sebelum hari ini dia bilang dia masih di desa dan belum nyampe Tbilisi (sehingga belum bisa ketemuan), tapi malam harinya di hari yang sama, dia bilang dia udah sampe kota dan ngajak ketemuan di McD malem-malem, coba.. Dan dengan berat hati terpaksa saya tolak karena saya sudah pewe di hostel malam itu). Setelah melaksanakan segala aktivitas rutin di pagi buta (defekesyen, mandi, dan menyeduh teh gratis di saat semua orang masih terlelap), saya mengirim sms ke Giorgi untuk mastiin lagi janjian ketemuannya jam berapa, dan melalui sms balasannya, dia bilang ketemuannya jam 12 siang. Tak lama setelah itu, matahari terbit dan saya melahap sebagian sisa Khachapuri untuk sarapan.

Sambil menunggu janji temu dengan Giorgi, saya kembali menjelajah jalan Rustaveli, dari Tavisuplebis Moedani sampai Tbilisi State Concert Hall. Sepanjang perjalanan, saya menyempatkan diri memotret beberapa bangunan yang berappeal tinggi. Saya juga mencoba memasuki bangunan Opera & Ballet Theatre yang tengah direnovasi, sekedar untuk menanyakan jadwal pertunjukan, namun karena ragu-ragu ditambah semua pintu tertutup rapat-rapat dan terhalang rintangan pembatas renovasi, saya mengurungkan niat. Kemudian saya mencoba menelepon kantornya dan juga kantor Rustaveli Theatre, namun ternyata panggilan tidak bisa terhubung. Masih belum putus asa, saya mencoba bertanya kepada Giorgi via sms. Menurutnya, konser-konser yang biasa diadakan untuk sementara ini dialihkan ke gedung konservatori, yang sepertinya interiornya tidak semenakjubkan gedung teater opera yang sedang direnovasi. Oleh karena itu, rencana saya menonton pertunjukan orkestra, balet, opera, ataupun tarian tradisional sudah dipastikan batal. Hiks. Sayang juga sih, padahal kan lumayan bisa menonton opera sambil duduk di kursi di balkon yang tinggi dan hanyut dalam imajinasi akan suasana era Soviet yang gloomy, sekalian mencoba teropong opera (opera glasses) yang sudah saya bawa itu di tempat yang semestinya (belinya di Jakarta, nyarinya susah karena langka *ga penting). Selama ini saya memanfaatkan teropong opera (baca: pamer) untuk digunakan saat menonton konser artis-artis luar negeri, terutama yang beraliran pop dan rock *ga nyambung.

Tbilisi Opera and Ballet Theatre

Rustaveli Theatre

Opera Glasses yang ternyata ADA di Jakarta :D

Setelah puas dan capek berkeliling, saya memutuskan untuk sarapan yang sebenarnya sekaligus makan siang (brunch--gahul euy) di McDonald's Rustaveli. Untungnya di sini ada beberapa meja yang memang dikhususkan untuk tamu yang makan seorang diri sehingga tidak terlalu awkward. Saya makan di lantai 2 yang tidak begitu ramai. Pemandangan yang nampak dari lantai 2 adalah orang-orang yang lalu lalang di taman di Rustaveli Square.

Oh ya, ketika saya sedang menjelajahi Jalan Rustaveli tadi, Giorgi sempat mengabarkan bahwa janji temunya diundur jadi jam 1, entah karena alasan apa. Sepertinya sih karena dia baru bangun deh. Selain itu dia menambahkan bahwa nanti sekitar jam 4 kita bisa ikut seminar atau kuliah umum profesor dari Amerika (tidaaak), lengkap dengan after-party-nya sih katanya. Menurutnya kuliahnya sangat menarik, bagus untuk menambah pengalaman untuk ditambahkan di CV, dan tentunya sangat bermanfaat untuk karier masa depan (gyaaa). Udah menempuh ribuan kilometer demi berwisata di Georgia, malah diajakin kuliah (berhubung agak anti dengan kegiatan bermanfaat yang berbau akademis/edukatif). Tapi saya baru ingat bahwa hari ini saya juga ada janji temu dengan Lasha. Buru-buru saya sms balik ke Giorgi bahwa saya gak bisa ikut kuliahnya, karena masih ada janji dengan teman Couchsurfing lainnya (pasti dia merasakan diduakan deh). Saya juga mengirim sms ke Lasha untuk mengabarkan bahwa saya baru bisa bertemu dengannya agak sore sekitar jam 3 (karena sebelumnya harus beramah-tamah dengan Giorgi terlebih dahulu).

Menjelang pukul 1 siang, saya meninggalkan McD dan bergegas untuk bertemu Giorgi di Tavisuplebis Moedani. Di salah satu bagian di tepian Jalan Rustaveli, saya melihat banyak poster konser musik klasik, musik tradisional, dan pertunjukan tarian dipajang di dinding, namun ternyata tak ada satu pun yang tanggalnya pas dengan waktu kunjungan saya ke Georgia. Ketika melanjutkan berjalan, saya ternampak pasangan pebiola sedang berjalan bersama. Mungkin baru selesai latihan atau sedang menuju latihan. Pasti jago-jago banget deh, berhubung pendidikan musik di Eropa Timur dan negara-negara eks-Soviet kan keras, dan hasil didikannya bagus-bagus. Setelah mereka hilang dari pandangan, saya agak menyesal karena tidak terpikir untuk mencolek mereka lalu berfoto bersama menggunakan tripod. Padahal kan lumayan, pura-puranya habis nonton konser lalu meet & greet dengan pemain-pemainnya (tapi trauma juga sih takut dicuekin lagi, dan kalau benar dicuekin (atau ditinggal pas lagi sibuk memasang tripod) pasti akan pathetic sekali :p)

Sesaat sebelum tiba di tujuan, saya mampir sejenak di sebuah toko suvenir yang direkomendasikan buku Lonely Planet. Pemilik tokonya menyebutkan "Soekarno" dan "Soeharto" begitu mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia. Meski begitu, itu tidak banyak membantu karena suvenir-suvenir yang dipajang di toko ini harganya sangat mahal dan pastinya tidak sesuai budget. Oleh karena itu, saya berencana hanya membeli kartu pos bergambar. Ketika bertanya berapa harga selembar kartu pos yang dipajang itu, salah seorang penjaga toko lain menjawab bahwa harganya 20 Lari (Rp120.000,-). Karena tidak yakin (masa sih harganya semahal itu, salah dengar mungkin), saya mengulang pertanyaan saya dan memastikan, "Bukan 2 Lari?". Namun ternyata jawabannya sama. Hyaa. Setelah itu saya meninggalkan toko itu dengan canggung, ditambah lagi 2 orang pemilik toko yang ramah tadi menghalangi pintu sehingga saya berdiri mematung. Kemudian mereka hanya menunjuk gagang pintu sebagai isyarat agar saya membuka sendiri pintu untuk keluar (tidak dibukakan). Saat melangkah keluar, saya mendengar salah seorang dari mereka tertawa deh (mungkin karena mengira saya tidak mengerti bagaimana cara membuka pintu). Heu.

Ketika saya melintas di depan gedung parlemen, Giorgi tiba-tiba menelpon dan berkata, "Kamu di mana? Jadi ketemuan tidak?" lalu cepat-cepat saya berkata bahwa saya sudah sangat dekat, tepatnya di depan gedung parlemen. Ternyata dia bermaksud menyusul ke tempat saya. Akhirnya kami bertemu di depan gedung parlemen. Seperti halnya Lasha, Giorgi juga memberikan salam hangat khas Georgia meskipun sekedar simbolis (kecupan yang berbunyi tapi tidak sampai kena). Giorgi berbadan besar namun gerak-geriknya terkesan malas, bicaranya lamban, tampak mengantuk, dan sepertinya juga menderita lisp :p Kesan lain yang saya rasakan darinya adalah: dia tidak senyum segencar Lasha, dan dia mengenakan pakaian yang cukup tebal sambil mengantongi kedua tangannya, menandakan bahwa dia tidak begitu suka suhu dingin dan memilih bermalas-malasan di rumahnya yang hangat. Meski begitu, bahasa Inggrisnya sangat bagus dan terstruktur dibanding Lasha (mungkin karena kuliah S2 jurusan American Studies).

Saya berusaha menyesuaikan diri dengan cara memulai pembicaraan, menjawab pertanyaan, dan memberi pertanyaan hingga akhirnya percakapan kami lebih mengalir. Ternyata orangnya baik juga sih dan humoris :) Dia bertanya apakah saya akan mempertimbangkan untuk ikut kuliah umum bersamanya, namun dengan berat hati saya terpaksa menolak karena masih ada janji dengan Lasha. Dia juga bermaksud mengajak saya minum-minum miras (o-ow... sepertinya yang ini agak liberal orangnya), seperti Georgian Wine, namun kemudian saya menjelaskan bahwa saya tidak biasa minum-minum. Bukan karena alasan agama juga sih, melainkan lebih karena ga biasa aja. Kemudian dia bertanya, "Lalu kamu maunya ngapain dong?" dan saya menjawab, "Yah, jalan-jalan keliling gitu?" dan serta-merta dia tertawa dan berkomentar, "Kamu jauh-jauh datang ke Georgia hanya untuk berjalan-jalan? Oh my!". Setelah puas tertawa, dia diam untuk berpikir sejenak dan mengulang dengan lirih, "Oh my..." Dia kemudian memaklumi dan menganggap hal ini sebagai perbedaan antara budaya Barat dengan Timur. Meski demikian saya berusaha memberi pengertian bahwa saya bukan cerminan mutlak dari karakter orang Indonesia (dan Timur), dan saya juga menjelaskan bahwa bukan berarti semua orang Indonesia seperti saya--ada juga beberapa orang Indonesia yang hobi minum-minum di bar yang mewah dan berpesta :D Sambil berbincang, kami berjalan kaki (dengan lambat), lagi-lagi menuju Old Tbilisi. Sesaat sebelum mencapai Gorgasalis Moedani, Giorgi memutuskan mampir ke sebuah gereja kuno dari abad pertengahan yang bernama Sioni Cathedral dan mengajak saya masuk ke dalamnya. Sebelum melewati pintu gereja, Giorgi mampir sejenak di kios gereja untuk membeli pernak-pernik yang akan digunakannya untuk beribadah seperti lilin dan air suci.

Suasana di dalam gereja benar-benar mirip latar pada adegan dalam film-film yang berlatar abad pertengahan (medieval). Temaram. Tidak ada deretan bangku panjang seperti gereja pada umumnya. Keadaan cukup sunyi. Terdengar retihan api dari lilin-lilin yang menyala. Tiap langkah kaki bergaung di dalam ruangan. Kadang terdengar gaung dari bisikan dan pembicaraan lirih yang dilakukan oleh beberapa pengunjung yang melaksanakan ibadah secara personal. Pastor atau entah pendeta (priest? oracle? minister? reverend?) dengan pakaian peribadatan nasrani Georgia sesekali muncul dari ruangan yang tersembunyi di balik altar dan tampak sibuk melayani beberapa umat yang ingin melakukan pengakuan dosa. Suasana ini sedikit banyak mengingatkan saya akan kuil-kuil temaram yang bernuansa religius yang diterangi cahaya obor di dalam game-game :D Di tengah suasana itu, Giorgi melaksanakan ritual ibadah dari satu titik ke titik lainnya di dalam gereja. Sambil beribadah, sesekali dia menjelaskan kepada saya mengenai sejarah gereja ini dan juga mengenai agama Nasrani yang dianutnya, yaitu Georgian Orthodox. Dia sendiri mengaku bahwa dia sudah lama (berbulan-bulan) tidak beribadah ke gereja. Akhirnya setelah menyelesaikan seluruh prosesi ibadah, dia menyingkir ke tepian dan beristirahat sejenak di sebuah bangku panjang. Saya turut duduk di sampingnya. Napasnya terdengar tidak teratur. Dia tampak agak kelelahan dan kedinginan. Kami berbincang sejenak mengenai beberapa hal (terutama mengenai agama dan budaya Georgia). Sepertinya dia masih ingin duduk dan tampak enggan melanjutkan berjalan mengunjungi tempat-tempat lainnya di Tbilisi. Meski begitu, akhirnya setelah beberapa menit, dia beranjak keluar dan saya mengikutinya. Tujuan kami berikutnya adalah Bridge of Peace dan juga gereja katedral Holy Trinity Sameba yang terletak di lereng bukit di sebarang sungai Mtkvari.

Kuil yang dimaksud *ga nyambung :p

Ketika hampir mencapai Bridge of Peace, Giorgi berkata bahwa dia sebenarnya sangat ingin memperlihatkan dan menghadiahkan sebuah benda khas Georgia yang menurutnya unik, namun sayangnya dia tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkannya. Saat tiba di salah satu sisi Bridge of Peace, Giorgi berkata alangkah baiknya jika bisa berfoto berdua. Kemudian saya mengeluarkan tripod dari dalam ransel kecil saya dan dia terlihat takjub mengetahui saya membawa tripod. Menurutnya itu hal yang produktif dan cerdik, serta menandakan persiapan perjalanan dengan perencanaan yang matang :p

Setelah menyeberangi Bridge of Peace, kami tiba di sisi timur lembah Tbilisi, di mana terdapat hamparan taman yang luas. Tepian jauh dari taman ini dibatasi oleh tebing yang panjang dan menjulang tinggi. Di sini lagi-lagi Giorgi duduk dan beristirahat di sebuah bangku -_-

Beberapa menit kemudian, kami melanjutkan mendaki undakan anak tangga yang dipahat di sisi tebing. Setelah mencapai puncak tebing, kami melanjutkan berjalan mendaki jalan menanjak yang terletak di antara rumah-rumah penduduk yang kotor dan berdebu. Sekitar 5 atau 10 menit kemudian, kami tiba di gerbang katedral Holy Trinity Sameba.

balik naik mrt. ke mcd. dompet & ketemu dosen. ketemu lasha. naik bus ke mtatsminda. turun dan makan roti. duduk. beli oleh2. populi. tidur