Setelah berbagai hal yang terjadi di Georgia, kini tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Azerbaijan, negeri tertimur di daratan Caucasus, sekaligus negara paling timur di benua Eropa :) Negeri yang sudah lama ingin kutapaki :p
Di hari terakhir di Georgia, saya mengirim sms perpisahan ke Lasha dan juga Giorgi. Mereka membalas dengan pujian dan kesan mereka, juga pesan agar saya berhati-hati selama perjalanan dan dapat berjumpa kembali dengan mereka suatu hari nanti. Giorgi bahkan menelepon balik dan mengungkapkan bahwa dia merasa bersalah karena menurutnya dia tidak berhasil menjadi host yang baik.
Sebelum check out, saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat di Old Tbilisi untuk terakhir kalinya, antara lain masjid Tbilisi, pemandian Tbilisi, dan sebuah square yang indah di sisi utara Old Tbilisi. Square itu dikelilingi cafe-cafe yang masih sepi dan di salah satu sudutnya terdapat sebuah gereja Anchiskhati Basilica yang dilengkapi menara lonceng. Sebelum kembali ke hostel, saya sempatkan diri untuk membeli 3 buah khachapuri sebagai bekal selama perjalanan menuju Azerbaijan (perjalanan dengan kereta akan memakan waktu 17 jam). Ketika akan meninggalkan hostel, saya bertemu Irakli untuk yang terakhir kalinya dan membayar biaya menginap kepadanya. Di saat yang sama, ternyata ada 3 orang tamu yang baru tiba di hostel itu, dan mereka baru saja tiba dari Azerbaijan! Mereka sedang duduk-duduk beristirahat di balkon ketika Irakli menyapa mereka dan memperkenalkan saya pada mereka. Irakli berkata, "Kalian baru tiba dari Azerbaijan, dan sebaliknya dia akan berangkat hari ini menuju Baku, Azerbaijan." Salah seorang dari mereka, yang sudah berusia paruh baya, menghampiri saya untuk berbicara sejenak. Sepertinya dia seorang old traveler yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dia berpesan seakan sedang memberi wasiat, "Remember son, whenever you're lost, just take bus number 65.. In Baku, Azerbaijan. It will always be your savior". Teman-teman lainnya yang masih belia menambahkan dari jauh, "Besides, it's cheap. Only 20 qapiks". Saya pun membalas dengan penuh apresiasi, "Okay, I'll keep that in mind. Thank you very much for the information. I better get going now".
Namun saat saya sedang membalikkan badan untuk berangkat, tiba-tiba dia berseru, "Wait!" Saya kembali memandangnya dan serta-merta dia mengajukan suatu pertanyaan absurd dengan wajah heran sekaligus penasaran, "Are you MONGOLIAN?" Gyaaaaaw.. plis deh. Saya menyangkalnya lalu menjelaskan bahwa saya berasal dari Indonesia. Sejenak mereka tampak terkesan dengan Indonesia. "Take care, have a nice trip," kata mereka dan Irakli akhirnya.
Lagi-lagi saya harus menenteng koper saya menuruni undakan tangga hostel, dan bisa ditebak saat-saat berikutnya saya lalui dengan berjalan menempuh perjalanan panjang sambil menyeret-nyeret koper berat saya melewati trotoar, jalan raya, dan stasiun subway, sambil memikul tas ransel saya yang tak kalah beratnya (isinya kebanyakan botol plastik kosong khas Georgia, kan sayang kalo dibuang *krik). Duh pasti keadaan saya saat itu sangat pathetic sampai mengundang simpati dari orang-orang yang melihat deh. Setelah berbagai daya dan upaya menempuh dinginnya udara sambil membawa semua barang bawaan, akhirnya saya sampai di stasiun Tbilisi. Pertama saya mencari tempat duduk terlebih dahulu. Oh ya kalo ga salah saat itu waktu baru menunjukkan pukul 12 atau entah 1 siang, dan kereta ke Azerbaijan baru bertolak pukul 5 sore.. So what should I do next? Yaah akhirnya duduk-duduk dulu sejenak sekitar setengah jam atau entah satu jam di lantai 2 (ruang tunggu penumpang yang nyaman), sambil mengamati orang hilir-mudik, lalu-lalang. Sebagian besar dari mereka adalah penumpang kereta lokal yang akan pulang kampung ke desa mereka yang masih berada di wilayah Georgia. Hampir semuanya bepergian secara berombongan, umumnya bersama keluarga. Kakek-kakek, nenek-nenek, atau keluarga muda yang baru dikaruniai anak bayi atau balita. Mungkin sebenarnya ini mirip dengan yang di Indonesia, cuma bedanya yang di Indonesia orangnya agak-agak lusuh sementara di sini mereka mengenakan baju dingin berwarna gelap yang lumayan fashionable (bahkan orang-orang lanjut usia-nya mengenakan topi berbulu khas Rusia) dan paras mereka European :p Oh ya, rupanya di sini ada wifi yang bisa diakses secara gratis. Lumayanlah untuk update status Twitter dan membunuh waktu, meski lama-lama bosan juga.
Setelah bosan, saya turun ke lantai 1 untuk sekedar menukar uang Georgia yang tersisa. Ga ditukar habis sih, karena sisanya mau disimpan untuk kenang-kenangan. Dan saya ga terlalu peduli berapa rate-nya, karena sebaik apa pun rate-nya tetap saja perjalanan ini secara keseluruhan sudah lumayan menguras uang (harga tiket pesawatnya). Sekitar pukul 2 atau 2.30, saya naik lagi ke lantai 2 dan lanjut ke lantai 3. Di sini ada food court yang menyediakan makanan dengan berbagai pilihan: Georgian, Italian, Pastries, Turkish, Fast Food, dll. Sebenarnya saya ga begitu nafsu makan, tapi karena saya harus makan siang dan juga harus menunggu jam keberangkatan yang masih lama, akhirnya saya menghampiri counter Italian dan memesan Pizza Margherita (setelah bertanya secara lengkap mengenai perbedaan beberapa pizza dan calzone, yang dijawab oleh mbak-mbaknya yang berambut pirang menggunakan bahasa Inggris yang fasih). Setelah bayar, saya disuruh duduk dan menunggu pizza yang ternyata baru diantar 30 atau 45 menit kemudian (lumayan lah mengulur waktu). Mbak-mbaknya sempat minta maaf singkat sih. Langsung saja kuambil satu juring dari pizza yang tampak sedikit bertabur daging itu, lalu kumakan. Rasanya ya lebih ke keju dan tomat gitu, ga asing, seperti pizza di restoran-restoran sejenis Pizza Marzano, Pizza e Birra, atau Marche mungkin. Pizza di sini juga disajikan dengan saus tomat sachetan yang terpisah, kayak di Indonesia gitu deh (ternyata budaya menyocol makanan dengan saus tomat dan sambal bukan cuma di Indonesia aja ya :D). Setelah melahap 2 juring, saya baru teringat: "Ini daging apa ya?" Meski begitu situasi ini seharusnya bisa dimaklumi, karena situasinya darurat kan ya? Haha.. Salah seorang teman me-reply status saya, "Udah, hajar aja! Gak tau ini. Yang penting enaaak :D"
Setelah melahap habis pizza itu, saya tetap duduk di food court sampai waktu menunjukkan pukul 16.30 lalu beranjak menuruni undakan menuju peron (masih menenteng koper). Tidak begitu sulit mencari kereta tujuan Azerbaijan yang tengah parkir di platform berhubung tidak terlalu banyak kereta yang sedang parkir. Kereta ini berwarna hijau dan bertuliskan ТБИЛИСИ - БАКУ (Tbilisi-Baku). Oh ya, penumpang kereta, apalagi yang terlihat berbeda dan mencolok seperti saya, mungkin akan mengalami gangguan dari bocah-bocah pengemis saat melintasi platform. Jumlahnya gak banyak sih, cuma mereka maksa banget dan terus-menerus menengadahkan dan menyodorkan telapak tangan mereka tanpa rasa malu dan tanpa ragu-ragu sedikit pun, bahkan sambil senyum-senyum dan ketawa-ketiwi. Saya ga ngasih sama sekali, abisnya mereka ga terlihat membutuhkan sih, lagipula saya juga nggak sedia duit kecil di kantong. Saya berusaha berjalan tanpa mempedulikan mereka dan kemudian sampai di pintu gerbong kereta. Sebenarnya saya tidak begitu yakin gerbong mana yang harus saya masuki, karena sepertinya tidak ada nomor yang tertera pada dinding luar gerbong. Namun tepat saat saya tiba di depan pintu, seorang petugas kereta--wanita Georgia atau entah Azeri hampir-paruh-baya yang tambun--muncul dan saya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyodorkan tiket saya. Tak lama, dia juga meminta paspor saya dan membenarkan gerbong itu. Saya mengangkat koper ke dalam gerbong dan mengikuti petugas kereta melalui koridor kereta menuju kompartemen/kamar saya.
Segera saya meletakkan barang-barang di dalam kompartemen dan duduk sejenak untuk beristirahat. Kompartemen itu cukup luas untuk 2 orang, dan terdiri dari 2 tempat tidur lipat, yang terletak bersebrangan. Tidak begitu banyak penumpang kereta yang akan menuju Azerbaijan kala itu, sehingga kompartemen saya hanya dihuni oleh saya sendiri :) Tak lama kemudian, petugas kereta kembali ke kompartemen saya untuk mengembalikan paspor. Dia juga menambahkan sebuah formulir bea cukai untuk diisi. "Fill it. For Azerbaijan border," ujarnya datar. Tapi entah mengapa, kata-kata itu dan caranya menyampaikan kata-kata itu menyiratkan peringatan yang sangat penting dan anjuran untuk berwaspada saat melintasi perbatasan di sisi Azerbaijan. Dalam bayangan saya, dia terdengar seperti berkata, "Isilah formulir itu, sebagai bekal untuk melintasi perbatasan Azerbaijan. Kau benar-benar akan memerlukannya nanti. Mungkin akan sulit Nak, namun kita semua pasti bisa melaluinya bersama-sama."
Pukul 5 sore tepat, peluit berbunyi dan kereta mulai bergerak perlahan namun gaduh dan penuh guncangan (yang sangat signifikan sehingga agak sulit menjaga keseimbangan saat berdiri). Tak lama, petugas kembali datang dan membagikan seprai dan sarung bantal yang dibungkus plastik. Segera saya membuka bungkusnya dan memasang semuanya. Setelah selesai, saya keluar dari kompartemen dan menjelajah koridor kereta sejenak.
Kawan..
BalasHapusCerita selanjutnya (Azerbaijan) aku cari tidak ada..
Rencana saya 2014 mau menuju Turki, Georgia dan Azerbaijan..
nb : Menarik sekali.. perjalanan anda..
thanks.. kawan.. nambah ilmunya
iya belum ditulis kakaaak... tiba2 kehilangan mood dan sampe skrg belum sempet nulis :( Mudah2an masih inget detil2nya, hehe... Mau ke sana taun depan? Waw... share2 dong persiapan dan itinerarynya.. Boleh via Fb (Micky Ardhienoor Husin) atau Twitter @mikashiro hehe
BalasHapus