Rabu, 15 Februari 2012

Georgia ~The Beautiful Land of Kartvelians~ (Part 2 of 2)

Teater Nabadi

Tbilisi State Concert Hall

Rustaveli Square

Rose Revolution Square

Tbilisi Marriott Hotel

National Gallery

Gedung Parlemen

Film-film yang tengah diputar di bioskop

Di hari kedua saya di Georgia, saya bermaksud bertemu dengan teman couchsurfing lainnya yang bernama Giorgi Rostiashvili (sehari sebelum hari ini dia bilang dia masih di desa dan belum nyampe Tbilisi (sehingga belum bisa ketemuan), tapi malam harinya di hari yang sama, dia bilang dia udah sampe kota dan ngajak ketemuan di McD malem-malem, coba.. Dan dengan berat hati terpaksa saya tolak karena saya sudah pewe di hostel malam itu). Setelah melaksanakan segala aktivitas rutin di pagi buta (defekesyen, mandi, dan menyeduh teh gratis di saat semua orang masih terlelap), saya mengirim sms ke Giorgi untuk mastiin lagi janjian ketemuannya jam berapa, dan melalui sms balasannya, dia bilang ketemuannya jam 12 siang. Tak lama setelah itu, matahari terbit dan saya melahap sebagian sisa Khachapuri untuk sarapan.

Sambil menunggu janji temu dengan Giorgi, saya kembali menjelajah jalan Rustaveli, dari Tavisuplebis Moedani sampai Tbilisi State Concert Hall. Sepanjang perjalanan, saya menyempatkan diri memotret beberapa bangunan yang berappeal tinggi. Saya juga mencoba memasuki bangunan Opera & Ballet Theatre yang tengah direnovasi, sekedar untuk menanyakan jadwal pertunjukan, namun karena ragu-ragu ditambah semua pintu tertutup rapat-rapat dan terhalang rintangan pembatas renovasi, saya mengurungkan niat. Kemudian saya mencoba menelepon kantornya dan juga kantor Rustaveli Theatre, namun ternyata panggilan tidak bisa terhubung. Masih belum putus asa, saya mencoba bertanya kepada Giorgi via sms. Menurutnya, konser-konser yang biasa diadakan untuk sementara ini dialihkan ke gedung konservatori, yang sepertinya interiornya tidak semenakjubkan gedung teater opera yang sedang direnovasi. Oleh karena itu, rencana saya menonton pertunjukan orkestra, balet, opera, ataupun tarian tradisional sudah dipastikan batal. Hiks. Sayang juga sih, padahal kan lumayan bisa menonton opera sambil duduk di kursi di balkon yang tinggi dan hanyut dalam imajinasi akan suasana era Soviet yang gloomy, sekalian mencoba teropong opera (opera glasses) yang sudah saya bawa itu di tempat yang semestinya (belinya di Jakarta, nyarinya susah karena langka *ga penting). Selama ini saya memanfaatkan teropong opera (baca: pamer) untuk digunakan saat menonton konser artis-artis luar negeri, terutama yang beraliran pop dan rock *ga nyambung.

Tbilisi Opera and Ballet Theatre

Rustaveli Theatre

Opera Glasses yang ternyata ADA di Jakarta :D

Setelah puas dan capek berkeliling, saya memutuskan untuk sarapan yang sebenarnya sekaligus makan siang (brunch--gahul euy) di McDonald's Rustaveli. Untungnya di sini ada beberapa meja yang memang dikhususkan untuk tamu yang makan seorang diri sehingga tidak terlalu awkward. Saya makan di lantai 2 yang tidak begitu ramai. Pemandangan yang nampak dari lantai 2 adalah orang-orang yang lalu lalang di taman di Rustaveli Square.

Oh ya, ketika saya sedang menjelajahi Jalan Rustaveli tadi, Giorgi sempat mengabarkan bahwa janji temunya diundur jadi jam 1, entah karena alasan apa. Sepertinya sih karena dia baru bangun deh. Selain itu dia menambahkan bahwa nanti sekitar jam 4 kita bisa ikut seminar atau kuliah umum profesor dari Amerika (tidaaak), lengkap dengan after-party-nya sih katanya. Menurutnya kuliahnya sangat menarik, bagus untuk menambah pengalaman untuk ditambahkan di CV, dan tentunya sangat bermanfaat untuk karier masa depan (gyaaa). Udah menempuh ribuan kilometer demi berwisata di Georgia, malah diajakin kuliah (berhubung agak anti dengan kegiatan bermanfaat yang berbau akademis/edukatif). Tapi saya baru ingat bahwa hari ini saya juga ada janji temu dengan Lasha. Buru-buru saya sms balik ke Giorgi bahwa saya gak bisa ikut kuliahnya, karena masih ada janji dengan teman Couchsurfing lainnya (pasti dia merasakan diduakan deh). Saya juga mengirim sms ke Lasha untuk mengabarkan bahwa saya baru bisa bertemu dengannya agak sore sekitar jam 3 (karena sebelumnya harus beramah-tamah dengan Giorgi terlebih dahulu).

Menjelang pukul 1 siang, saya meninggalkan McD dan bergegas untuk bertemu Giorgi di Tavisuplebis Moedani. Di salah satu bagian di tepian Jalan Rustaveli, saya melihat banyak poster konser musik klasik, musik tradisional, dan pertunjukan tarian dipajang di dinding, namun ternyata tak ada satu pun yang tanggalnya pas dengan waktu kunjungan saya ke Georgia. Ketika melanjutkan berjalan, saya ternampak pasangan pebiola sedang berjalan bersama. Mungkin baru selesai latihan atau sedang menuju latihan. Pasti jago-jago banget deh, berhubung pendidikan musik di Eropa Timur dan negara-negara eks-Soviet kan keras, dan hasil didikannya bagus-bagus. Setelah mereka hilang dari pandangan, saya agak menyesal karena tidak terpikir untuk mencolek mereka lalu berfoto bersama menggunakan tripod. Padahal kan lumayan, pura-puranya habis nonton konser lalu meet & greet dengan pemain-pemainnya (tapi trauma juga sih takut dicuekin lagi, dan kalau benar dicuekin (atau ditinggal pas lagi sibuk memasang tripod) pasti akan pathetic sekali :p)

Sesaat sebelum tiba di tujuan, saya mampir sejenak di sebuah toko suvenir yang direkomendasikan buku Lonely Planet. Pemilik tokonya menyebutkan "Soekarno" dan "Soeharto" begitu mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia. Meski begitu, itu tidak banyak membantu karena suvenir-suvenir yang dipajang di toko ini harganya sangat mahal dan pastinya tidak sesuai budget. Oleh karena itu, saya berencana hanya membeli kartu pos bergambar. Ketika bertanya berapa harga selembar kartu pos yang dipajang itu, salah seorang penjaga toko lain menjawab bahwa harganya 20 Lari (Rp120.000,-). Karena tidak yakin (masa sih harganya semahal itu, salah dengar mungkin), saya mengulang pertanyaan saya dan memastikan, "Bukan 2 Lari?". Namun ternyata jawabannya sama. Hyaa. Setelah itu saya meninggalkan toko itu dengan canggung, ditambah lagi 2 orang pemilik toko yang ramah tadi menghalangi pintu sehingga saya berdiri mematung. Kemudian mereka hanya menunjuk gagang pintu sebagai isyarat agar saya membuka sendiri pintu untuk keluar (tidak dibukakan). Saat melangkah keluar, saya mendengar salah seorang dari mereka tertawa deh (mungkin karena mengira saya tidak mengerti bagaimana cara membuka pintu). Heu.

Ketika saya melintas di depan gedung parlemen, Giorgi tiba-tiba menelpon dan berkata, "Kamu di mana? Jadi ketemuan tidak?" lalu cepat-cepat saya berkata bahwa saya sudah sangat dekat, tepatnya di depan gedung parlemen. Ternyata dia bermaksud menyusul ke tempat saya. Akhirnya kami bertemu di depan gedung parlemen. Seperti halnya Lasha, Giorgi juga memberikan salam hangat khas Georgia meskipun sekedar simbolis (kecupan yang berbunyi tapi tidak sampai kena). Giorgi berbadan besar namun gerak-geriknya terkesan malas, bicaranya lamban, tampak mengantuk, dan sepertinya juga menderita lisp :p Kesan lain yang saya rasakan darinya adalah: dia tidak senyum segencar Lasha, dan dia mengenakan pakaian yang cukup tebal sambil mengantongi kedua tangannya, menandakan bahwa dia tidak begitu suka suhu dingin dan memilih bermalas-malasan di rumahnya yang hangat. Meski begitu, bahasa Inggrisnya sangat bagus dan terstruktur dibanding Lasha (mungkin karena kuliah S2 jurusan American Studies).

Saya berusaha menyesuaikan diri dengan cara memulai pembicaraan, menjawab pertanyaan, dan memberi pertanyaan hingga akhirnya percakapan kami lebih mengalir. Ternyata orangnya baik juga sih dan humoris :) Dia bertanya apakah saya akan mempertimbangkan untuk ikut kuliah umum bersamanya, namun dengan berat hati saya terpaksa menolak karena masih ada janji dengan Lasha. Dia juga bermaksud mengajak saya minum-minum miras (o-ow... sepertinya yang ini agak liberal orangnya), seperti Georgian Wine, namun kemudian saya menjelaskan bahwa saya tidak biasa minum-minum. Bukan karena alasan agama juga sih, melainkan lebih karena ga biasa aja. Kemudian dia bertanya, "Lalu kamu maunya ngapain dong?" dan saya menjawab, "Yah, jalan-jalan keliling gitu?" dan serta-merta dia tertawa dan berkomentar, "Kamu jauh-jauh datang ke Georgia hanya untuk berjalan-jalan? Oh my!". Setelah puas tertawa, dia diam untuk berpikir sejenak dan mengulang dengan lirih, "Oh my..." Dia kemudian memaklumi dan menganggap hal ini sebagai perbedaan antara budaya Barat dengan Timur. Meski demikian saya berusaha memberi pengertian bahwa saya bukan cerminan mutlak dari karakter orang Indonesia (dan Timur), dan saya juga menjelaskan bahwa bukan berarti semua orang Indonesia seperti saya--ada juga beberapa orang Indonesia yang hobi minum-minum di bar yang mewah dan berpesta :D Sambil berbincang, kami berjalan kaki (dengan lambat), lagi-lagi menuju Old Tbilisi. Sesaat sebelum mencapai Gorgasalis Moedani, Giorgi memutuskan mampir ke sebuah gereja kuno dari abad pertengahan yang bernama Sioni Cathedral dan mengajak saya masuk ke dalamnya. Sebelum melewati pintu gereja, Giorgi mampir sejenak di kios gereja untuk membeli pernak-pernik yang akan digunakannya untuk beribadah seperti lilin dan air suci.

Suasana di dalam gereja benar-benar mirip latar pada adegan dalam film-film yang berlatar abad pertengahan (medieval). Temaram. Tidak ada deretan bangku panjang seperti gereja pada umumnya. Keadaan cukup sunyi. Terdengar retihan api dari lilin-lilin yang menyala. Tiap langkah kaki bergaung di dalam ruangan. Kadang terdengar gaung dari bisikan dan pembicaraan lirih yang dilakukan oleh beberapa pengunjung yang melaksanakan ibadah secara personal. Pastor atau entah pendeta (priest? oracle? minister? reverend?) dengan pakaian peribadatan nasrani Georgia sesekali muncul dari ruangan yang tersembunyi di balik altar dan tampak sibuk melayani beberapa umat yang ingin melakukan pengakuan dosa. Suasana ini sedikit banyak mengingatkan saya akan kuil-kuil temaram yang bernuansa religius yang diterangi cahaya obor di dalam game-game :D Di tengah suasana itu, Giorgi melaksanakan ritual ibadah dari satu titik ke titik lainnya di dalam gereja. Sambil beribadah, sesekali dia menjelaskan kepada saya mengenai sejarah gereja ini dan juga mengenai agama Nasrani yang dianutnya, yaitu Georgian Orthodox. Dia sendiri mengaku bahwa dia sudah lama (berbulan-bulan) tidak beribadah ke gereja. Akhirnya setelah menyelesaikan seluruh prosesi ibadah, dia menyingkir ke tepian dan beristirahat sejenak di sebuah bangku panjang. Saya turut duduk di sampingnya. Napasnya terdengar tidak teratur. Dia tampak agak kelelahan dan kedinginan. Kami berbincang sejenak mengenai beberapa hal (terutama mengenai agama dan budaya Georgia). Sepertinya dia masih ingin duduk dan tampak enggan melanjutkan berjalan mengunjungi tempat-tempat lainnya di Tbilisi. Meski begitu, akhirnya setelah beberapa menit, dia beranjak keluar dan saya mengikutinya. Tujuan kami berikutnya adalah Bridge of Peace dan juga gereja katedral Holy Trinity Sameba yang terletak di lereng bukit di sebarang sungai Mtkvari.

Kuil yang dimaksud *ga nyambung :p

Ketika hampir mencapai Bridge of Peace, Giorgi berkata bahwa dia sebenarnya sangat ingin memperlihatkan dan menghadiahkan sebuah benda khas Georgia yang menurutnya unik, namun sayangnya dia tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkannya. Saat tiba di salah satu sisi Bridge of Peace, Giorgi berkata alangkah baiknya jika bisa berfoto berdua. Kemudian saya mengeluarkan tripod dari dalam ransel kecil saya dan dia terlihat takjub mengetahui saya membawa tripod. Menurutnya itu hal yang produktif dan cerdik, serta menandakan persiapan perjalanan dengan perencanaan yang matang :p

Setelah menyeberangi Bridge of Peace, kami tiba di sisi timur lembah Tbilisi, di mana terdapat hamparan taman yang luas. Tepian jauh dari taman ini dibatasi oleh tebing yang panjang dan menjulang tinggi. Di sini lagi-lagi Giorgi duduk dan beristirahat di sebuah bangku -_-

Beberapa menit kemudian, kami melanjutkan mendaki undakan anak tangga yang dipahat di sisi tebing. Setelah mencapai puncak tebing, kami melanjutkan berjalan mendaki jalan menanjak yang terletak di antara rumah-rumah penduduk yang kotor dan berdebu. Sekitar 5 atau 10 menit kemudian, kami tiba di gerbang katedral Holy Trinity Sameba.

balik naik mrt. ke mcd. dompet & ketemu dosen. ketemu lasha. naik bus ke mtatsminda. turun dan makan roti. duduk. beli oleh2. populi. tidur

2 komentar: