Tbilisi State Concert Hall
Rustaveli Square
Rose Revolution Square
Tbilisi Marriott Hotel
National Gallery
Gedung Parlemen
Film-film yang tengah diputar di bioskop
Sambil menunggu janji temu dengan Giorgi, saya kembali menjelajah jalan Rustaveli, dari Tavisuplebis Moedani sampai Tbilisi State Concert Hall. Sepanjang perjalanan, saya menyempatkan diri memotret beberapa bangunan yang berappeal tinggi. Saya juga mencoba memasuki bangunan Opera & Ballet Theatre yang tengah direnovasi, sekedar untuk menanyakan jadwal pertunjukan, namun karena ragu-ragu ditambah semua pintu tertutup rapat-rapat dan terhalang rintangan pembatas renovasi, saya mengurungkan niat. Kemudian saya mencoba menelepon kantornya dan juga kantor Rustaveli Theatre, namun ternyata panggilan tidak bisa terhubung. Masih belum putus asa, saya mencoba bertanya kepada Giorgi via sms. Menurutnya, konser-konser yang biasa diadakan untuk sementara ini dialihkan ke gedung konservatori, yang sepertinya interiornya tidak semenakjubkan gedung teater opera yang sedang direnovasi. Oleh karena itu, rencana saya menonton pertunjukan orkestra, balet, opera, ataupun tarian tradisional sudah dipastikan batal. Hiks. Sayang juga sih, padahal kan lumayan bisa menonton opera sambil duduk di kursi di balkon yang tinggi dan hanyut dalam imajinasi akan suasana era Soviet yang gloomy, sekalian mencoba teropong opera (opera glasses) yang sudah saya bawa itu di tempat yang semestinya (belinya di Jakarta, nyarinya susah karena langka *ga penting). Selama ini saya memanfaatkan teropong opera (baca: pamer) untuk digunakan saat menonton konser artis-artis luar negeri, terutama yang beraliran pop dan rock *ga nyambung.

Tbilisi Opera and Ballet Theatre

Rustaveli Theatre

Opera Glasses yang ternyata ADA di Jakarta :D
Setelah puas dan capek berkeliling, saya memutuskan untuk sarapan yang sebenarnya sekaligus makan siang (brunch--gahul euy) di McDonald's Rustaveli. Untungnya di sini ada beberapa meja yang memang dikhususkan untuk tamu yang makan seorang diri sehingga tidak terlalu awkward. Saya makan di lantai 2 yang tidak begitu ramai. Pemandangan yang nampak dari lantai 2 adalah orang-orang yang lalu lalang di taman di Rustaveli Square.
Menjelang pukul 1 siang, saya meninggalkan McD dan bergegas untuk bertemu Giorgi di Tavisuplebis Moedani. Di salah satu bagian di tepian Jalan Rustaveli, saya melihat banyak poster konser musik klasik, musik tradisional, dan pertunjukan tarian dipajang di dinding, namun ternyata tak ada satu pun yang tanggalnya pas dengan waktu kunjungan saya ke Georgia. Ketika melanjutkan berjalan, saya ternampak pasangan pebiola sedang berjalan bersama. Mungkin baru selesai latihan atau sedang menuju latihan. Pasti jago-jago banget deh, berhubung pendidikan musik di Eropa Timur dan negara-negara eks-Soviet kan keras, dan hasil didikannya bagus-bagus. Setelah mereka hilang dari pandangan, saya agak menyesal karena tidak terpikir untuk mencolek mereka lalu berfoto bersama menggunakan tripod. Padahal kan lumayan, pura-puranya habis nonton konser lalu meet & greet dengan pemain-pemainnya (tapi trauma juga sih takut dicuekin lagi, dan kalau benar dicuekin (atau ditinggal pas lagi sibuk memasang tripod) pasti akan pathetic sekali :p)
Ketika saya melintas di depan gedung parlemen, Giorgi tiba-tiba menelpon dan berkata, "Kamu di mana? Jadi ketemuan tidak?" lalu cepat-cepat saya berkata bahwa saya sudah sangat dekat, tepatnya di depan gedung parlemen. Ternyata dia bermaksud menyusul ke tempat saya. Akhirnya kami bertemu di depan gedung parlemen. Seperti halnya Lasha, Giorgi juga memberikan salam hangat khas Georgia meskipun sekedar simbolis (kecupan yang berbunyi tapi tidak sampai kena). Giorgi berbadan besar namun gerak-geriknya terkesan malas, bicaranya lamban, tampak mengantuk, dan sepertinya juga menderita lisp :p Kesan lain yang saya rasakan darinya adalah: dia tidak senyum segencar Lasha, dan dia mengenakan pakaian yang cukup tebal sambil mengantongi kedua tangannya, menandakan bahwa dia tidak begitu suka suhu dingin dan memilih bermalas-malasan di rumahnya yang hangat. Meski begitu, bahasa Inggrisnya sangat bagus dan terstruktur dibanding Lasha (mungkin karena kuliah S2 jurusan American Studies).
Saya berusaha menyesuaikan diri dengan cara memulai pembicaraan, menjawab pertanyaan, dan memberi pertanyaan hingga akhirnya percakapan kami lebih mengalir. Ternyata orangnya baik juga sih dan humoris :) Dia bertanya apakah saya akan mempertimbangkan untuk ikut kuliah umum bersamanya, namun dengan berat hati saya terpaksa menolak karena masih ada janji dengan Lasha. Dia juga bermaksud mengajak saya minum-minum miras (o-ow... sepertinya yang ini agak liberal orangnya), seperti Georgian Wine, namun kemudian saya menjelaskan bahwa saya tidak biasa minum-minum. Bukan karena alasan agama juga sih, melainkan lebih karena ga biasa aja. Kemudian dia bertanya, "Lalu kamu maunya ngapain dong?" dan saya menjawab, "Yah, jalan-jalan keliling gitu?" dan serta-merta dia tertawa dan berkomentar, "Kamu jauh-jauh datang ke Georgia hanya untuk berjalan-jalan? Oh my!". Setelah puas tertawa, dia diam untuk berpikir sejenak dan mengulang dengan lirih, "Oh my..." Dia kemudian memaklumi dan menganggap hal ini sebagai perbedaan antara budaya Barat dengan Timur. Meski demikian saya berusaha memberi pengertian bahwa saya bukan cerminan mutlak dari karakter orang Indonesia (dan Timur), dan saya juga menjelaskan bahwa bukan berarti semua orang Indonesia seperti saya--ada juga beberapa orang Indonesia yang hobi minum-minum di bar yang mewah dan berpesta :D Sambil berbincang, kami berjalan kaki (dengan lambat), lagi-lagi menuju Old Tbilisi. Sesaat sebelum mencapai Gorgasalis Moedani, Giorgi memutuskan mampir ke sebuah gereja kuno dari abad pertengahan yang bernama Sioni Cathedral dan mengajak saya masuk ke dalamnya. Sebelum melewati pintu gereja, Giorgi mampir sejenak di kios gereja untuk membeli pernak-pernik yang akan digunakannya untuk beribadah seperti lilin dan air suci.



Kuil yang dimaksud *ga nyambung :p
Ketika hampir mencapai Bridge of Peace, Giorgi berkata bahwa dia sebenarnya sangat ingin memperlihatkan dan menghadiahkan sebuah benda khas Georgia yang menurutnya unik, namun sayangnya dia tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkannya. Saat tiba di salah satu sisi Bridge of Peace, Giorgi berkata alangkah baiknya jika bisa berfoto berdua. Kemudian saya mengeluarkan tripod dari dalam ransel kecil saya dan dia terlihat takjub mengetahui saya membawa tripod. Menurutnya itu hal yang produktif dan cerdik, serta menandakan persiapan perjalanan dengan perencanaan yang matang :p
wuih keren!
BalasHapusCerita Azerbaijan nya lom ada ya.....?
BalasHapus