Di hari kedua di Turki, saya berencana melintasi jembatan Galata yang termasyhur itu untuk mengunjungi daratan Galata di utara. Oleh karena itu, kuseberangi lagi Hippodrome itu di pagi yang dingin dan sepi. Hujan masih turun rintik-rintik dan kabut masih menyelimuti kota. Seorang penjual buku yang sedari tadi mengincar para turis yang keluar dari persembunyian menghampiri dan memaksa saya membeli barang dagangannya (buku-buku panduan wisata berjudul 'Istanbul'). Agak sulit menolak paksaan si penjual itu, karena dia mengikuti saya kemana pun saya melangkah dan baru menyerah setelah mengikuti mangsanya beberapa puluh meter.
Saya naik tram dan turun di stasiun Eminonu, stasiun terakhir sebelum tram menyeberang selat Golden Horn menuju daratan Galata di utara. Untuk mengagumi pemandangan 360 derajat yang mengagumkan dan merasakan suasana kota Istanbul yang sebenarnya, saya berjalan kaki meniti jembatan Galata menuju daratan Galata. Sesekali saya mencoba mengambil gambar dengan hati-hati, menyadari banyak orang yang, sebagian memancing dan sebagian melakukan entah apa, di sepanjang tepian jembatan. Tak lama kemudian, saya tiba di sisi lain jembatan. Di sini saya masih menimbang antara melanjutkan perjalanan dengan tram menuju Medan Taksim di utara atau mendaki bukit Galata dan memanjat menara Galata di puncaknya atau mencari stasiun funikular bawah tanah tertua di Eropa yang kabarnya terletak di dekat situ, untuk mencapai ujung terselatan dari Jalan Istiklal yang juga termasyhur. Setelah berpikir sejenak, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan naik tram dari stasiun Karakoy yang terletak persis di situ menuju stasiun tram terakhir: Kabatas, kemudian melanjutkan perjalanan dengan funikular bawah tanah modern menuju Medan Taksim. Dari Medan Taksim saya bisa berjalan kaki menjelajah Jalan Istiklal dan menelusurinya ke ujung selatannya untuk memanjat Menara Galata.
Sampe juga di Medan Taksim yang termasyhur—pusat aktivitas orang di Istanbul, baik penduduk maupun turis liberal yang gemar dengan dunia malam: clubbing, berpesta, mabuk-mabukan, dan main wanita. Medan (square) yang terletak di atas bukit ini cukup luas, dan merupakan sebuah titik pertemuan banyak jalan, baik lorong kecil maupun jalan raya. Setelah saya hitung berdasarkan peta, ada 6 jalan besar dan 6 lorong yang bermuara di medan ini. Berdasarkan peta itu juga, untuk menuju ke Jalan Istiklal yang termasyhur itu, saya harus menuju arah selatan. Kompas saya terkubur jauh di dasar tas sehingga saya merasa malas untuk mengambilnya. Lagipula sedikit mengerikan untuk mengubek-ngubek tas di tengah keramaian. Akhirnya dengan bermodalkan peta saya yang sudah luntur itu, saya mencoba mencari pangkal dari Jalan Istiklal. Namun ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Saya sempat masuk ke jalan yang saya kira Jalan Istiklal (abis dekorasinya bagus sih :p) lalu berjalan jauh ke dalamnya. Namun setelah cukup jauh berjalan, saya merasa kurang yakin lalu memutuskan berbelok dan menemukan jalan lainnya yang serupa. Mungkin ada kali setengah jam saya habiskan cuma untuk hilir-mudik menjelajah hanya untuk berputar-putar dan mendapati tempat yang sama lagi. Ditambah lagi, di kawasan ini sangat susah mencari petunjuk nama jalan. Akhirnya daripada membuang waktu, saya memutuskan untuk kembali lagi ke medan dan merunut kembali satu per satu jalan yang ada. Di arah yang saya yakini sebagai selatan, ada sebuah jalan raya yang cukup besar. Karena tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Jalan Istiklal, saya mencoba jalan raya itu, namun ternyata saya salah lagi. Aduh, pokoknya keadaan saat itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya setelah keliling-keliling selama beberapa menit, saya nyampe juga di pangkal dari Jalan Istiklal. Ternyata letaknya agak kepojok dan sangat tersembunyi.
Doner, Ayran, Whirling Dervishes, Galata Tower, Hodjanpasha, Eminonu, Egyptian Bazaar, Rustem Pasha Mosque, Museum Militer, Nisantasi, Burger King, Hostel, Sema Dance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar