Minggu, 26 Februari 2012
Azerbaijan ~An Flaming Land of Oil Bordering The Caspian Sea~
Rabu, 15 Februari 2012
Georgia ~The Beautiful Land of Kartvelians~ (Part 2 of 2)
Senin, 06 Februari 2012
Georgia ~The Beautiful Land of Kartvelians~ (Part 1 of 2)
Kebudayaan bangsa Georgia tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya yang panjang dan dipenuhi penaklukan oleh kekuasaan bangsa lain (ekspansi) seperti Kekaisaran Romawi, Arab, Mongol, Ottoman, Persia, dan terakhir Rusia (Uni Soviet). Kebudayaan bangsa lain sedikit banyak telah memberi pengaruh pada budaya Georgia. Salah satu dari dua makanan pokok Georgia, yaitu bakpau daging yang disebut Khinkali (makanan pokoknya satunya lagi adalah roti keju bernama Khachapuri), diperkirakan berasal dari bangsa Mongol yang sempat menginvasi kawasan Kaukasus. Keanekaragaman makanan di Georgia juga dipengaruhi bangsa Ottoman, Timur Tengah, dan Rusia. Selain makanan, bahasa Rusia sempat menjadi bahasa utama di Georgia dan negara-negara Kaukasus lainnya. Pengaruh arsitektur Soviet yang kental bisa terlihat pada tata kota dan bentuk-bentuk bangunan di kota-kota di Georgia.
Cara cepat menuju negara Georgia dari Istanbul adalah dengan naik pesawat maskapai biaya-rendah Pegasus Airlines dari bandara nomor dua di Istanbul, Sabiha Gokcen Airport, ke kota Tbilisi di Georgia. Tiket bisa dibeli online dengan mudah dari Jakarta melalui website maskapai tersebut. Jadwal penerbangan yang tersedia tergolong kurang nyaman, yaitu pukul 11 malam. Penerbangan ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam, dan terdapat perbedaan waktu 2 jam antara Turki dengan Georgia, sehingga pesawat mendarat di kota Tbilisi sekitar pukul 3 pagi.
Saya merupakan satu-satunya orang Asia (yang berarti satu-satunya orang Indonesia) yang berada di ruang tunggu bandara saat itu. Para penumpang pesawat yang menuju Tbilisi adalah orang Georgia, sedikit orang Turki, dan sedikit orang Rusia. Mereka berbicara dalam bahasa yang sangat asing.
Dari pengalaman saya, orang-orang Georgia sepertinya agak kurang civilized dibandingkan dengan orang-orang kelas menengah ke atas Indonesia. Ngantri masuk pesawat aja ribet, ga sabaran, dan seperti kurang mengerti aturan (perasaan ya). Kadang suka sambil teriak dan ngomel ke petugas hanya karena hal kecil. Di dalam pesawat, mereka ga kalah ribet dibanding sebelum naik pesawat, terutama urusan barang bawaan di kabin. Mereka bawa barang kabin banyak-banyak banget, dan barang-barang mereka sangat besar-besar dan (sepertinya) berat-berat. Koper besar yang hampir ga muat di kabin, kardus-kardus, dan kantong plastik besar berisi belanjaan entah apa. Satu orang membawa 2 bahkan 3 tentengan. Walhasil, tempat barang bawaan di kabin penuh oleh barang-barang mereka. Ketika beberapa penumpang terakhir masuk ke pesawat, mereka bingung mau naro barang di mana, dan malangnya mereka kebagian duduk di kursi jendela darurat, sehingga mereka ga boleh naro barang di depan kaki mereka. Lalu terjadilah adu mulut yang lumayan lama antara penumpang yang malang itu dengan pramugari yang berusaha sabar dan tenang. Sampai pesawat hampir lepas landas, penumpang di sebelah saya yang merupakan orang Rusia masih belum berhenti menggunakan telepon genggam untuk berbicara dengan entah saudara atau rekannya; sepertinya mengenai pesawatnya nyampe jam berapa dan harus dijemput jam berapa. Penumpang lain di samping si orang Rusia itu (sepertinya bukan orang Georgia maupun Rusia, karena ketika ditanya oleh si orang Rusia itu, dia hanya membalas datar, "Sorry I don't speak your language") panik dan mengingatkan si orang Rusia itu dengan ketus untuk mematikan ponselnya. Namun waktu saya perhatikan, sepertinya telepon genggamnya belum benar-benar mati deh. Duh.
Selama penerbangan saya berusaha untuk tidur (karena kapan lagi saya bisa tidur). Pukul 3 pagi, pesawat berhasil mendarat di bandara Tbilisi. Uniknya seluruh penumpang serentak bertepuk tangan dengan lega dan riang saat roda pesawat berhasil menyentuh landasan dengan aman (padahal perasaan biasa aja deh mendaratnya). Mungkin itu bagian budaya Georgia kali ya. Turun pesawat, ga pake garbarata, melainkan harus naik bis ke gedung terminal.
Saya memisahkan diri dari rombongan penumpang dan menghampiri satu-satunya konter penukaran uang (bank) yang buka di pagi buta itu. Ternyata beli visa on arrival di situ juga, jadi saya nuker uang dari USD ke Georgian Lari, sekalian 50 Lari mereka ambil untuk biaya visa. Oh ya sebelum berangkat ke Turki-Georgia-Azerbaijan, saya sudah mencari informasi mengenai bisa atau tidaknya warga negara Indonesia mengunjungi Georgia dengan visa on arrival. Menurut sebagian besar sumber sih bisa. Namun ada juga sebagian kecil sumber yang menyatakan bahwa orang Indonesia harus meng-apply visa ke kedutaan Georgia terdekat dari negaranya (yang berarti kedutaan Georgia di Jepang.. sangat tidak feasible). Tapi untuk amannya sih, saya isi semacam form aplikasi visa online (E-Visa) di website Kementerian Dalam Negeri Georgia (anehnya di website Kementerian LUAR Negeri Georgia malah nggak ada fasilitas semacam ini, dan setelah berbagai daya dan usaha yang saya lakukan, akhirnya saya berhasil menemukan online form E-Visa itu). Isi formnya secara lengkap, dan di kolom "Full name, address and phone number of the inviting institution or person", isi aja data contact person dari hotel atau hostel yang kita book untuk nginep Georgia. Saya nginepnya di hostel SkadaVeli (book dari hostelworld.com), dan kebetulan pemiliknya ramah dan welcome, dan menghubungi saya secara personal via email. Sekalian aja waktu itu saya bales dan tanya mengenai visa, kartu seluler, dan juga minta izin untuk menulis data dia di formulir visa itu. Setelah menekan tombol submit, akan muncul halaman akhir yang berisi nomor aplikasi beserta barcode. Sebenernya masih bisa dilanjutin sih ke halaman pembayaran visa, namun takutnya malah bermasalah, jadi saya tidak melanjutkan. Segera simpan dan print halaman yang berisi barcode itu supaya bisa ditunjukkan saat mengantri di pemeriksaan imigrasi di bandara Tbilisi.
Setelah itu saya kembali mengantri di pemeriksaan Imigrasi. Agak deg-degan sih. Gimana kalo ternyata orang Indonesia gak bisa masuk menggunakan Visa on Arrival? Gimana kalo entry saya ditolak? Gimana kalo saya harus dideportasi? Kalo di-deportasinya balik lagi ke Turki sih masih mending, saya masih bisa lanjutin wisata di Turki dan melanjutkan wisata ke Azerbaijan yang visanya sudah saya pegang. Tapi kalo dideportasi ke Indonesia, tamatlah :D Tapi kayaknya sih ga mungkin, karena deportasi itu kan proses yang merepotkan dan memakan banyak biaya, apalagi untuk negara Georgia yang perekonomiannya masih di bawah Indonesia. Sambil mengunyah permen karet, petugas yang terlihat agak judes dan cuek itu memeriksa paspor saya dan dokumen-dokumen saya lumayan lama. Dia bahkan menelpon temannya dari divisi lain dan bertanya mengenai perlakuan apa yang harus diberikan kepada warga negara Indonesia (sepertinya, soalnya kan jarang ada orang Indonesia masuk Georgia, apalagi untuk tujuan berwisata), sementara antrian di belakang saya (yang sebagian besarnya terdiri dari orang lokal) mulai menjadi panjang. Akhirnya dia memberi saya formulir visa lagi, dan menyuruh saya mengisi formulir itu (yang persis sama dengan formulir online yang pernah saya isi sebelum berangkat!) kemudian mengantri kembali. Cepat-cepat saya isi formulir itu di meja di belakang antrian, kemudian cepat-cepat mengantri lagi.
Akhirnya saya memang berhasil lolos dari pemeriksaan Imigrasi. Rasanya sangat melegakan, sekaligus membanggakan. Cihuy! I'm in Georgia! :D Setelah mengambil koper dari baggage claim, saya membeli kartu telepon seluler dari kios suvenir (setelah bertanya sana sini) dan menukar uang lagi (takut kurang). Menggunakan nomor Georgia yang baru saya beli, saya mengirim SMS kepada Lasha dan Giorgi, 2 orang warga lokal Tbilisi yang saya temukan di couchsurfing.org, untuk mengabarkan bahwa saya telah tiba di Tbilisi. Lalu karena haus, saya juga membeli air mineral yang bersoda dan bergas dari vending machine (sebagian besar air mineral di Georgia bersoda dan bergas). Saya juga menghampiri Tourist Information Center dan meminta peta Tbilisi (meskipun sudah punya). Waktu itu masih pukul 4 pagi, sementara menurut informasi yang saya dapat dari Airport Information Center, kereta dari bandara menuju kota baru bertolak pukul 6 pagi. Setelah menunggu sampai sekitar pukul 5.30, saya mencoba keluar dari gedung terminal namun malah dihampiri para supir taksi yang sangat memaksa. Lalu saya melarikan diri ke arah stasiun kereta bandara yang letaknya beberapa puluh meter dari terminal, namun ternyata tiap mobil taksi yang melintas dekat saya selalu berhenti dan memaksa saya untuk naik taksi. Stasiun kereta tampak belum buka, sehingga saya bingung harus berbuat apa. Saya menelpon Irakli, contact person hostel SkadaVeli, dan menurutnya saya harus menunggu sampai pukul 9 pagi agar bisa naik bis menuju pusat kota, lagipula cek in hostel baru bisa dilakukan paling cepat pukul 10 pagi. Akhirnya saya ke gedung terminal dan duduk lagi. Awalnya saya duduk di luar, namun lama-kelamaan saya tidak tahan dengan dinginnya udara. Saya masuk kembali ke dalam gedung terminal dan tidur di bangku, meski sesekali terbangun. Saat terbangun pukul 8 pagi, matahari belum juga terbit. Saya diacuhkan oleh seorang Georgia ketika bertanya kapan matahari terbit. Dia hanya menggeleng tak mengerti dan tak peduli lalu pergi :( Makanya belajar bahasa Inggris dong Mas. Kemudian saya memutuskan untuk keluar karena sudah bosan, lagipula saya melihat sedikit semburat cahaya matahari. Di luar gedung terminal, saya memang melihat beberapa bis datang dan pergi, namun saya ragu karena tidak mengerti bagaimana cara membayar bis dan bagaimana cara turun dari bis. Akhirnya karena putus asa, saya memutuskan menerima tawaran supir taksi. Dia bilang harganya 25 Lari, namun karena saya menolak, dia bilang 20. Waktu saya bilang "Main Train Station", dia hanya mengangguk dengan gembira (karena berhasil mendapatkan penumpang).
Matahari mulai terbit dan udara dipenuhi kabut yang sangat tebal. Suhu udara saat itu turun drastis dan sepertinya naik taksi merupakan pilihan yang paling nyaman, terlebih bagi turis Indonesia yang manja seperti saya. Perjalanan taksi membawa saya menempuh jalan yang melewati lahan, rumah-rumah, dan gedung-gedung kumuh yang diselubungi kabut tebal. Semuanya tampak sangat surreal. Dari pemandangan ini mungkin bisa disimpulkan bahwa sesuai reputasinya, negara ini sepertinya memang negara yang miskin. Sebelum memasuki gerbang kota, taksi berhenti sejenak untuk isi bensin, lalu jalan lagi, lalu berhenti lagi di tepi jalan. Kali ini si Bapak supir taksi melakukan panggilan telepon menggunakan HP-nya, ngobrol bahasa Georgia sejenak, lalu itu telepon disodorin gitu aja ke saya. Pas saya coba ngomong, ternyata di sana ada suara perempuan dan alhamdulillah, dia ngomong bahasa Inggris yang bagus, "What can I do for you?" Awalnya agak bingung mau ngomong apa dan maksudnya gimana, dan gw malah bilang, "Uhm, the taxi driver handed me his cell phone, and.."
"The taxi driver is my father," katanya menjelaskan. Intinya dia mau menerjemahkan perkataan saya dan menyampaikan ke ayahnya mengenai ke mana saya hendak pergi (duh kalo gak ngerti gitu kenapa tadi ngangguk-ngangguk aja). Saya bilang bahwa saya mau ke stasiun kereta utama Tbilisi (Vagzlis Moedani) sekedar untuk beli tiket kereta ke Baku, Azerbaijan, kemudian melanjutkan naik metro subway ke hostel saya. Setelah semuanya jelas, telepon saya kembalikan ke si Bapak supir taksi dan si Bapak supir taksi melanjutkan berbincang sejenak dengan anaknya dalam bahasa Georgia. Tak lama kemudian, taksi kembali bergerak melewati jalan-jalan di Tbilisi. Pemandangan Tbilisi lumayan berappeal tinggi (meski sedikit suram sih karena udara masih berkabut). Di sebelah kiri saya terdapat lembah dan sungai Mtkvari (nama lain: Kura / Cyrus) dan lereng bukit yang dipenuhi pemukiman dan bangunan-bangunan kuno atau klasik atau entah Soviet (Stalinist) di seberangnya. Saya juga melewati kolong sebuah viaduct yang terbentang di atas bukit bertebing di sebelah kanan saya.
Ketika sampai di stasiun kereta yang berarsitektur brutalis, ternyata saya kena jebak. Entah dijebak atau ada miskomunikasi sih. Jadi ketika saya ngasih 30 Lari, dia sepertinya ga ada kembalian. Dan menurutnya saya harus bayar 25 Lari. 20 yang tadi itu maksudnya 20 Euro. Kalo pake Lari ya 25. Duh gimana dong. Terus saya mengalah deh. Saya bahkan disuruh memberi 5 Lari lagi (tapi kemudian dia mengembalikan 10 Lari--pas sih jadinya). Ya sudahlah, toh abis ini saya ga bakalan naik taksi lagi. Setelah turun dari taksi, saya menyeret-nyeret koper saya di atas aspal menuju pintu utama stasiun kereta sambil menghindari pengemis-pengemis dan orang-orang yang memandang dan mengawasi saya. Begitu masuk gedung stasiun, thank God... Gedungnya bagus, bersih, dan signage-nya jelas dan dwibahasa. Pokoknya ga seperti bayangan awal yang kumuh dan suram. Tadinya saya membayangkan stasiun ini bakalan lebih jelek dari Stasiun Gambir, atau bahkan lebih jelek dari Hentian Pudu Raya yang di Kuala Lumpur, namun ternyata jauh lebih bagus dari keduanya :) Di sini bahkan ada shopping centre-nya yang menambah kesan aman.
Di lantai 2, ruangannya sih bagus dan modern, bahkan ada cafe-cafe, food court yang bersih, dan area bermain anak-anak, tapi... duh, banyak banget loket penjualan tiketnya... Ada 12 lebih. Dan di tiap loket ada antrian, eh bukan, KERUMUNAN calon penumpang. Ga begitu jelas mana loket yang khusus untuk kereta dalam negeri, mana yang untuk kereta antarnegara. Semua loketnya bertuliskan kata-kata yang ditulis dalam huruf Georgia (bisa sih baca pelan-pelan, tapi kalo lagi panik dan buru-buru ya ga bisa, hehe). Menurut buku Lonely Planet sih katanya tiket kereta ke Baku dijualnya di loket 7, tapi saya ragu juga. Kemudian saya mencoba bertanya pada 3 orang polisi yang duduk-duduk bergerombol.
Saya bertanya di loket mana saya bisa membeli tiket ke Baku, Azerbaijan. Tapi sepertinya mereka sendiri juga tidak tahu. Saya diminta menunggu, dan mereka bertanya ke sana kemari. Bahkan salah satu polisi itu menelepon ke suatu pihak menggunakan telepon umum, meski akhirnya tetap tak mendapat jawaban. Lalu dia kembali bertanya pada saya, "Sebenarnya apa yang ingin Anda ketahui mengenai kereta ke Baku Azerbaijan itu, Sir?" Lalu saya menjawab bahwa saya hanya ingin tahu loket manakah yang menjual tiket yang saya butuhkan. Lalu dia merasa lega seakan terbebas dari tugas kemudian menjawab, "Oh, kalau itu mah bisa di loket yang mana aja deh sepertinya. Kalau loketnya tidak jual, coba aja satu per satu." GYAAAAw.. Cape deh, Mas.
Akhirnya saya mencoba loket no.7, sesuai informasi yang ditulis di buku Lonely Planet. Kerumunan calon penumpang di loket ini sih gak begitu padat (cuma sekitar 4-5 calon penumpang), namun kenyataannya agak sulit untuk mencapai konter, mengingat orang Georgia ternyata tidak kenal budaya mengantri. Nyerobot sepertinya merupakan hal yang biasa di negara ini. Agar proses pembelian tiket berjalan lancar dan mudah, saya menuliskan (menggunakan huruf yang besar-besar) informasi tiket yang saya butuhkan di atas secarik kertas: #37 (ini kode kereta untuk rute Tbilisi-Baku), TBILISI - BAKU თბილისი-ბაქო (menggunakan huruf Georgia), Class SV, 28 December 2011 (dua hari dari hari ini). Oh ya sekedar untuk info, kereta dari Tbilisi ke Baku berangkat setiap hari pukul 5 sore (untuk tahun 2011-2012 sepertinya). Tapi jadwal ini bisa saja berubah bila ada kebijakan baru atau tergantung keadaan. Secarik kertas itu saya tunjukkan dengan yakin sambil menyebutkan dengan jelas tiket tujuan mana yang ingin saya beli. Si mbak-mbak petugas meminta paspor saya, dan sepertinya kesulitan mengucapkan nama saya (yang pastinya terdengar asing di telinganya). Dia bertanya, mana nama belakang, mana nama tengah, mana nama depan. Kemudian saya berusaha menjelaskan, namun ujung-ujungnya dia menyerah dan menyuruh saya pindah ke loket no.12. Duh. Setelah berhasil mencapai loket yang dimaksud, saya mengulangi yang saya lakukan di loket 7 tadi. Mbak-mbak yang ini nampaknya lebih berpengalaman. Dia dapat dengan mudah mengucapkan nama saya. Setelah membayar ongkos 107,26 Lari (harga tiket kelas 1), saya menerima tiket yang bertuliskan huruf Cyrillic. Nama penumpang yang tercantum di tiket juga harus dituliskan dalam huruf Cyrillic. Nama saya ditulis: Мики Ардиенур Гусин. Pantesan aja petugas di loker 7 menyerah :p Oh ya, istilah untuk tiket di ketiga negara (Turki-Georgia-Azerbaijan) adalah bilet. Cate~t, karena ini istilah yang sangat bermanfaat untuk diingat. Sebelum meninggalkan loket, saya sempatkan untuk bertanya di platform mana saya bisa naik kereta, namun ternyata si petugas juga tidak tahu dan menurutnya akan ada pengumuman mengenai itu menjelang keberangkatan.
Setelah mendapat tiket (legaaa, karena tadinya khawatir ga dapet tiket (bisa aja kan fully-booked), dan kalo ga dapet tiket, gimana saya mau melanjutkan perjalanan ke Azerbaijan??), saya keluar dari gedung stasiun berarsitektur brutalis ini dan berjalan sedikit ke arah kanan, ke gedung di sebelah stasiun. Di situ ada simbol huruf M besar, yang kemungkinan besar berarti Metro Station (Subway). Di sini saya sedikit bingung, namun saya sok tau aja. Saya menghampiri sebuah loket dengan simbol dan logo yang modern dan meminta kartu baru (saya bilangnya "new metro card"). Lupa sih harga pastinya, yang jelas pas beli kartu bisa sekalian minta diisiin value-nya (kalo habis bisa di-top up lagi, dan refundable). Tapi malangnya saya ngisi value-nya agak kebanyakan (5 Lari kalo ga salah), padahal sekali naik metro itu tarifnya flat hanya 0,5 Lari (dan menurut wikitravel.org, jika naik metro untuk yang kedua kalinya di hari yang sama, tarifnya berkurang menjadi 0,3 Lari, dan jika naik metro lagi setelah itu, tarifnya menjadi 0,2 Lari (dan tarif seterusnya di hari yang sama adalah 0,2 Lari)), dan selama di Georgia ternyata saya naik metro hanya dua kali! Kartu ini kabarnya bisa dipake juga untuk membayar ongkos naik bus (meskipun selama di Georgia saya tidak pernah bayar saat menggunakan bus :p).
Seperti di stasiun metro lainnya di seluruh dunia, kartu metro perlu di-tap di palang rintangan agar penumpang bisa masuk ke area kereta yang terletak sangat JAUH di bawah permukaan tanah. Saya turun menggunakan eskalator yang sangat panjang, tinggi, curam, dan berkecepatan tinggi. Stasiun Metro di negara-negara pecahan Uni Soviet memang kabarnya sengaja dirancang dan dibuat sangat dalam. Oh ya, di ketiga negara ini, saat menggunakan eskalator silakan minggir ke sebelah kanan jika tidak ingin berjalan (berlawanan dengan di Asia). Selain itu yang membedakan metro/tram di Turki-Georgia-Azerbaijan dengan di Asia adalah, di Turki-Georgia-Azerbaijan penumpang dapat langsung keluar ke area bebas setelah menggunakan metro (karena tarif yang flat), sementara di Asia penumpang harus melewati palang rintangan lainnya dan menge-tap kartunya agar dapat keluar. Satu lagi peringatan penting, yang sering diingatkan oleh buku petunjuk wisata, baik online maupun offline: DILARANG MEMOTRET di dalam stasiun Metro di negara-negara Kaukasus! Kamera CCTV dipasang di mana-mana untuk memantau aktivitas penumpang. Jangan tanya alasannya, dan sebaiknya patuhi saja kalau tidak mau berurusan dengan polisi. Meski begitu saya berhasil memotret diam-diam sih :D
Saya turun di stasiun Tavisuplebis Moedani თავისუფლების მოედანი (Freedom Square / Liberty Square), tepatnya stasiun ketiga dari stasiun metro awal (stasiun pertama yang disinggahi kereta bernama Marjanishvili, stasiun kedua bernama Rustaveli). Oh ya, FYI, Marjanishvili itu tulisannya: მარჯანიშვილი dan Rustaveli tulisannya: რუსთაველი. Stasiun Tavisuplebis ini letaknya di ujung selatan jalan Rustaveli (Rustavelis Gamziri), jalan utama terbesar di Tbilisi.
Dari situ saya berjalan ke arah hostel saya berdasarkan peta. Saya berjalan melintasi sebuah square yang paling luas dan terkenal di Tbilisi yang terletak tak jauh dari stasiun metro, yaitu Freedom Square / Liberty Square / Tavisuplebis Moedani. Ada beberapa jalan yang bermuara di square ini, salah satunya adalah jalan Rustaveli tadi. Sesuai petunjuk peta, saya masuk ke sebuah jalan yang agak kecil yang mengarah ke kawasan pemukiman tertua sekaligus terindah di Tbilisi: Old Tbilisi. Karakteristik utama dari kawasan ini adalah rumah dan bangunan yang memiliki balkon dari kayu yang diukir dan diwarnai. Menurut buku petunjuk wisata, hanya sebagian kecil rumah dan bangunan di kawasan ini yang masih asli (paling tua dari abad ke-5). Sebagian besar sudah dibangun kembali karena hancur saat invasi bangsa Persia tahun 1795.
Saya menyempatkan diri membeli dua buah roti Khachapuri di sebuah konter toko (belum sempat sarapan sedari tadi), kemudian melanjutkan perjalanan mencari hostel. Saya sempat salah masuk gang, karena peta yang saya miliki tidak menggambar jalan kecil yang saya masuki itu. Ternyata jalan yang harusnya saya masuki terletak hanya beberapa meter dari belokan gang yang tadi. Setelah berada di gang yang benar pun, saya masih kesulitan mencari hostel saya. Akhirnya saya menelpon Irakli lagi, dan dia bilang hostelnya memang tidak ber-signage, dan saya harus mencari rumah dengan nomor 27. Setelah berjalan hilir-mudik, ke sana kemari, saya memang berhasil menemukan rumah nomor 27, tapi rumah berbalkon yang terbuat dari kayu ini tampak kumuh dan lapuk.
Tiba-tiba ada suara dari atas. Ternyata dia Irakli, si pemilik hostel ini. Dia menyuruh saya mendorong pintu kayu yang lapuk itu kemudian naik ke lantai 2. Dengan sisa tenaga yang saya miliki, saya berhasil mendorong pintu itu kemudian mengangkat koper saya melewati tangga kayu yang lapuk dan kotor menuju lantai 2. Bahkan ternyata lantai 1-nya itu milik orang lain. Akhirnya saya dipersilakan masuk kamar setelah berbincang sedikit dengan Irakli yang ramah meski kadang nada bicaranya tak terduga :p Sebagian besar pembicaraan sih mengenai fasilitas yang tersedia di hostel itu: kamar mandi luar (satu kamar mandi untuk 3 kamar tamu!), dapur, mesin cuci, teh dan kopi gratis, dan yang paling penting, wifi. Dia juga menanyakan bagaimana penerbangan saya dan bagaimana perjalanan saya sampai berhasil menemukan hostelnya. Setelah sedikit berberes di kamar, saya langsung melahap sebagian Khachapuri kemudian terlelap.
Ketika terbangun sorenya, saya bermaksud defekesyen sejenak di WC (yang kosong) sekalian mandi. Tapi ternyata air mati! Coba... Pas keluar dari WC, saya berjumpa Irakli dan dia bilang bahwa air memang lagi mati dan hal ini jarang terjadi. Untuk itu, dia meminta maaf. Akhirnya saya berkemas semaksimal yang saya bisa kemudian berjalan-jalan di luar. Saya menjelajah kawasan Old Tbilisi ini, berjalan dari utara ke selatan, menyusuri Jalan Leselidze yang dipenuhi toko-toko, butik, restoran, rumah penduduk, dan gereja-gereja kuno yang berusia ratusan tahun. Seperti yang sudah saya sebutkan, kebanyakan rumah-rumah di sini memiliki balkon yang terbuat dari kayu, begitu juga hostel tempat saya menginap. Saya juga melewati jalan Shardeni, Bambis Rigi, dan Rkinis Rigi yang artistik dan berhiaskan cafe-cafe yang stylish, lengkap dengan payung-payung outdoor.
Setelah melewati semua jalan itu, saya tiba di sebuah area terbuka yang merupakan sebuah square yang ramai tempat beberapa jalan bertemu, baik jalan kecil maupun jalan raya. Kawasan ini merupakan lembah yang diapit oleh sungai Mtkvari yang indah, pemukiman Old Tbilisi, dan lereng bukit yang berhiaskan rumah, bangunan, dan gereja kuno yang indah (suasananya mirip Traverse Town di game Kingdom Hearts gitu deh *jadul). Menurut peta, tempat ini bernama Gorgasalis Moedani (Gorgasali Square). Di sebelah timur saya terdapat jembatan yang terbentang di atas sungai Mtkvari, menghubungkan sisi barat dan timur kota Tbilisi. Di seberang sungai juga menjulang tebing yang tinggi, yang berbatasan langsung dengan sungai. Di atas tebing yang memanjang sepanjang sisi timur sungai itu berdiri sebuah gereja kuno dengan sebuah patung ksatria berkuda di depannya. Nama gereja kuno itu adalah Gereja Metekhi, dan patung itu bernama Patung King Vakhtang. Pokoknya suasana di tempat itu benar-benar European deh. Lebih tepatnya gabungan early-modern dengan medieval :D
Saya bermaksud menemukan satu-satunya masjid yang masih tersisa di Tbilisi, yang bernama Tbilisi Mosque. Menurut peta, letaknya tidak jauh namun agak tersembunyi dari kawasan ini. Saya mulai menyusuri jalan sesuai yang digambarkan pada peta, namun saya malah nyasar. Jalan yang saya jalani semakin lama semakin menanjak curam, dan makin lama kecuramannya semakin ekstrim. Sudah jelas saya salah jalan, namun saya memutuskan untuk melanjutkan mendaki karena melihat beberapa turis yang mendaki dengan antusias hendak menuju penghujung jalan ini. Aduh, nanti gimana turunnya ya? Jalannya terlalu curam untuk didaki, apalagi dengan sepatu boots yang tidak dirancang untuk jalanan menanjak. Meski begitu akhirnya saya berhasil mencapai puncak sih, dan menemukan suatu objek wisata yang terkenal: Kompleks Benteng Narikala dengan Gereja St. Nicholas di dalam areanya.
Tak lama kemudian, Lasha menelpon *bahasa Inggrisnya terbata-bata juga :p Dia meminta maaf karena mendadak hari ini ada UTS, dan dia baru aja selesai dari kampus, dan sekarang dia udah bisa ketemuan *beda banget ya sama orang Indonesia--kalo orang Indonesia mungkin bilangnya, "Capek juga sih, kalo besok aja ketemunya gimana? Sori banget ya, gapapa kan?" Kita janjian ketemuan di sekitaran Gorgasalis Moedani tadi, dan dia bilang dia bakal nyampe sekitar 15 menit. Oke, saya pun menuruni jalan yang curam tadi dengan ekstra hati-hati sampai akhirnya tiba lagi di square terbuka yang tadi. Di situ saya menunggu sekitar 15 menit, celingak-celinguk, dan tak lama kemudian, dia muncul. Kami bersalaman, berpelukan... dan berlanjut sampai cipika-cipiki yang bunyi dan basah, yang rupanya adalah bentuk salam hangat khas Georgia *heu. Kita langsung ngobrol dengan lancar, sama sekali ga awkward, meskipun baru kenal dan belum pernah ketemuan sebelumnya. Orangnya juga enak sih, ramah, tulus, baik hati, dan sama sekali ga ada sifat angkuh, cuek, arogan, apalagi tengil. Awalnya ngobrolnya mau sambil jalan, tapi saya baru ingat deh bahwa saya belum makan siang (dan itu udah jam 4 atau jam 5 sore gitu). Mengetahui itu, dia buru-buru mengajak saya ke sebuah restoran khas Georgia yang terletak di square itu. Menurutnya saya harus mencoba makanan khas Georgia yang bernama Khinkali.
Kami memesan sepiring Khinkali. Satu porsi isinya delapan kalo ga salah. Lasha memesan Georgian wine, dan saya memesan Coca-Cola (dia sempat menyarankan Georgian wine, karena menurutnya minuman ini merupakan minuman khas Georgia). Oh ya ternyata makan Khinkali itu tidak semudah kelihatannya, apalagi bagi pemula seperti saya. Pertama kita harus menggigit salah satu sisinya untuk membuat lubang kecil, lalu menyedot dan meminum cairan di dalamnya sampai cairannya habis. Setelah itu, barulah kita boleh makan kulit beserta isinya yang berupa daging. Dagingnya bisa sapi atau babi *gyaa, tapi saya rekues jangan pake babi. Hihihi. Orang Georgia biasanya menyisakan kuncup/pucuk Khinkali dan tidak memakannya. Menurut buku petunjuk wisata, memakan Khinkali sampai ke kuncup-kuncupnya menandakan kemiskinan yang ekstrim.
Saya mencoba makan Khinkali sesuai yang dicontohkan oleh Lasha, namun ternyata saya kesulitan menghabiskan cairan di dalam Khinkali. Selain itu, agak sulit untuk memastikan apakah cairan di dalamnya benar-benar sudah habis atau belum. Jika cairan belum habis benar, cairan itu akan menetes, mengalir, bahkan meleber ke mana-mana saat khinkali dimakan--ke dagu, ke tangan, dan ke piring. Oh ya, rasa Khinkali ini sama sekali tidak aneh. Asing memang, namun lumayan familiar. Cairannya terasa seperti kaldu daging yang harum dan beraroma dedaunan herbs *mirip sup-sup Asia, mungkin seperti steamboat atau suki-sukian atau shabu-shabu di restoran Thailand. Rasa dagingnya sendiri enak, pas. Agak asin dan bermerica. Dan menurut Lasha, Khinkali sebaiknya segera dimakan karena makanan ini paling enak dimakan panas-panas.
Di sini kami berbincang mengenai banyak hal. Obrolan berkisar mengenai diri masing-masing, mengenai budaya masing-masing, dan mengenai rencana / itinerary yang akan dilakukan bersama. Rencananya setelah dari restoran ini dia akan mengajak saya ke gunung Mtatsminda, salah satu dari dua baris perbukitan/gunung yang mengapit dan melindungi kota Tbilisi. Usai makan, saya membayar dan melebihkan dari separuh dari total harga yang tertulis di bill *eh, ternyata saya tidak ditraktir :p Kemudian kami melanjutkan berjalan menuju pusat kota Tbilisi yang gemerlap dan berkilauan, melalui jalan-jalan yang bermandikan cahaya lampu penerangan dan warna lampu hiasan natal yang beraneka-warna.
Kami naik bus kecil (yang disebut marshrutka dalam bahasa Rusia) dari Tavisuplebis Moedani menuju ujung utara Jalan Rustaveli. Rencananya dari ujung Jalan Rustaveli, kami akan naik bus lainnya yang bernomor 124 untuk menuju puncak gunung Mtatsminda. Oh ya Jalan Rustaveli di malam hari ternyata sangat indah, apalagi saat itu ketika dipenuhi kerlap-kerlip lampu-lampu hiasan natal yang menawan. So European! Mirip Orchard saat natal tapi gedung-gedungnya lebih klasik dan menyiratkan romantisme Eropa gitu deh. Haha. Butik-butik brand terkenal juga tidak absen di sepanjang jalan ini, antara lain Swarovski, Cartier, Dior, Boss, dan Ermenegildo Zegna. Selain itu juga hadir toko-toko retail kelas menengah seperti Next dan Mothercare. Oh ya sebenarnya tadinya saya berencana menonton pertunjukan konser orkestra, opera, ballet, drama, atau musik dan tari tradisional di salah satu dari beberapa teater di jalan ini (Opera and Ballet Theater, Rustaveli Theater, atau Nabadi Theater (menurut jadwal di websitenya sih harusnya ada pertunjukan)), namun ternyata gedung Opera and Ballet Theater-nya lagi direnovasi... Gyaaa. Bangunan-bangunan lainnya yang cukup menyita perhatian di sepanjang jalan ini adalah gedung parlemen, gedung bioskop, Hotel Marriott, gereja Kashveti, National Gallery, dan tentunya restoran cepat saji McDonald's yang terletak di sebuah square di ujung jalan ini (Rustaveli Square, yang juga berdekatan dengan Republic Square atau dikenal dengan nama lain Rose Revolution Square).
Kami turun dari bus di sebuah tempat yang terletak beberapa ratus meter dari McDonald's. Oh ya, penumpang seharusnya membayar ongkos bus namun ternyata banyak penumpang memilih untuk tidak membayar, alias naik bus secara gratis, termasuk Lasha (dan juga saya)! Pertama, di dalam bus tidak ada konduktor atau kenek; kedua, pintu bus terletak di tengah sehingga jauh dari supir; dan ketiga, tidak ada yang mengawasi dan juga sepertinya tidak ada yang peduli. Menurut Lasha, jika memang ingin membayar, penumpang dapat menge-tap kartu metro subwaynya pada reader meskipun tidak membayar pun sebenarnya tidak masalah. Saya sendiri kurang jelas sih apakah biasanya dia pada kesehariannya membayar atau tidak. Saya rasa mungkin karena dia sedang menemani turis asing sehingga saat itu bisa dianggap sebagai special case.
Di tempat kami turun, terdapat bangunan besar berbentuk tabung yang ternyata adalah Tbilisi State Concert Hall. Di sini kami menunggu bus 124 namun ternyata bus yang dimaksud tak kunjung tiba. Kemudian kami mencoba berjalan kembali ke dekat McDonald's dan menunggu bus lagi, namun hasilnya sama saja. Akhirnya karena hari sudah cukup malam, kami memutuskan untuk mengakhiri hari ini. Lasha berjanji akan menemui saya lagi esok hari untuk mengantarkan saya ke Gunung Mtatsminda atau mungkin juga tempat-tempat lainnya. Kami naik bus lagi dan turun di Tavisuplebis Moedani. Sebelum berpisah, kami membeli air mineral, minuman ringan, dan persediaan makanan di sebuah swalayan di dekat situ yang bernama POPULI! (jadi inget lagunya 30 Seconds To Mars yang berjudul Vox Populi: This is a call to arms, gather soldiers. Time to go to war. This is a battle song, brothers and sisters. Time! To go! To war! :p) Pertemuan diakhiri dengan mengulang 'salam hangat' khas Georgia, kemudian saya kembali hostel untuk beristirahat. Eh tapi hostelnya kok gelap gulita gini ya? Ternyata listrik mati! Yang berarti wi-fi-nya juga ikutan mati. Gelap-gelapan deh di kamar. Untungnya air udah nyala sih. Saya segera tidur. Seingat saya listrik baru hidup kembali menjelang subuh, dan begitu menyadarinya saya segera memanfaatkan saat itu untuk update status via Twitter. *end of part 1